Aturan Hukum Polisi Diperbolehkan Menembak
Terbaru

Aturan Hukum Polisi Diperbolehkan Menembak

Senjata api hanya boleh dipergunakan dalam keadaan saat membela diri dari ancaman luka berat atau kematian dan mencegah terjadinya kejahatan berat.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Sering kita dengar tindakan penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam upaya melakukan pengamanan. Namun, tak jarang pula kita temukan kasus penembakan yang dilakukan kepolisian terhadap warga sipil dengan dalih membela diri.

Hal itu seperti yang dilakukan Aparat Polres Sumenep, Jawa Timur, menembak mati seorang begal yang hendak merampas sepeda motor warga dan menyandera korban dengan menggunakan senjata tajam jenis celurit baru-baru ini.

Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 16 menjelaskan hal yang menjadi wewenang kepolisian yaitu melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dan kewenangan lainnya.

Mengenai penggunaan senjata api, tertuang dalam Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri kemudian turut diatur dalam Peraturan Kapolri No.1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.

Secara spesifik, merujuk dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 disebutkan bahwa penggunaan senjata api hanya boleh dilakukan untuk melindungi nyawa manusia. Di dalam Peraturan Kapolri, turut diatur syarat-syarat lebih lanjut bahwa senjata api hanya boleh dipergunakan dalam keadaan saat membela diri dari ancaman luka berat atau kematian dan mencegah terjadinya kejahatan berat.

Baca Juga:

Sebelum menggunakan senjata api, polisi perlu memberi peringatan dengan ucapan yang jelas kepada sasaran untuk berhenti dan menunggu agar peringatan diindahkan. Namun, dalam beberapa kondisi, peringatan tidak perlu diberikan ketika kejadian yang berlangsung berada dalam jarak dekat sehingga tidak bisa lagi untuk menghindar.

Kepolisian juga memiliki kewenangan diskresi, yaitu keputusan atau tindakan yang ditetapkan dan atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan atau adanya stagnasi pemerintah.

Kewenangan diskresi ini terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L UU No.2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Adapun persayaratan melakukan tindakan lain yang dinyatakan dalam pasal tersebut di antaranya adalah:

  1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
  2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan
  3. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya
  4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan
  5. Menghormati hak asasi manusia.

Namun polisi tidak bisa dan dilarang mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang diduga melakukan tindakan pidana, hal ini termasuk di dalamnya tindak pidana perampokan dan terorisme. Eksekusi mati hanya bisa dilakukan oleh regu penembak yang ditentukan oleh undang-undang dan hanya bisa dilaksanakan setelah ada putusan pidana mati yang berkekuatan hukum tetap, serta telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Menembak mati pelaku tindak pidana dapat dibenarkan apabila dilakukan dalam rangka menjalankan tugas seperti penangkapan dan dilakukan dalam keadaan  terpaksa atau pembelaan terpaksa. Pembelaan terpaksa harus sesuai dengan PAsal 49 KUHP dimana pembelaan terpaksa tersebut dilakukan untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

Apabila pihak keluarga merasa bahwa penembakan hingga mati terhadap anggota keluarganya yang dilakukan polisi dalam rangka menjalankan tugas penangkapan tersebut melanggar hukum, maka pihak keluarga dapat menempuh upaya hukum praperadilan yang diajukan kepada ketua pengadilan negeri sesuai dalam Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP.

Tags:

Berita Terkait