Aturan DHE Terbit, Bagaimana Nasib Pelaku Usaha yang Sudah Berkontrak?
Utama

Aturan DHE Terbit, Bagaimana Nasib Pelaku Usaha yang Sudah Berkontrak?

Kontrak dapat direvisi dengan catatan adanya kesepakatan kedua belah pihak, atau adanya klausul yang mengatur tentang penyesuaian kontrak tergantung kepada perkembangan regulasi.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Disebutkan dalam PP itu, setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa. Namun khusus Devisa berupa Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam, wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia.

 

Kewajiban eksportir untuk memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia sebagaimana dimaksud, dilakukan melalui penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA pada Bank Yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing. Penempatan DHE SDA dalam Rekening DHE SDA sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, wajib dilaksanakan paling lama pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean Ekspor.

 

Menanggapi beleid baru ini, Act. Executive Director Indonesian Mining Assocoation (IMA) Djoko Widajatno menegaskan bahwa pihaknya mendukung kebijakan pemerintah terkait penempatan DHE pada sistem keuangan di Indonesia. Hanya saja, Djoko meminta pemerintah memberikan dispensasi bagi anggota IMA yang masih memegang pinjaman Luar Negeri (LN) untuk alat dan infrastruktur dan menahan DHE dalam mata uang dolar, agar dapat melakukan pembayaran dengan mudah.

 

“IMA pada dasarnya mendukung program Pemerintah, hanya untuk   anggota IMA  yang masih memegang pinjaman LN untuk alat dan infrastruktur sebaiknya diberi dispensasi untuk menahan DHE nya dalam USD, agar dapat membayarnya dengan mudah,” kata Djoko lewat pesan singkat kepada hukumonline, Jumat (25/1).

 

Menurut Djoko, hal yang perlu dilakukan pemerintah selanjutnya adalah penyempurnaan prosedur investasi di sektor pertambangan agar lebih menarik. Apalagi, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sektor pertambangan di tahun 2018 tercatat mengalami perbaikan.

 

Terkait dispensasi yang dimaksud oleh IMA, menarik untuk dibahas apakah pengusaha yang telah melakukan kontrak sebelum terbitnya PP DHE wajib mengikuti aturan ini? Terlebih, PP DHE tidak memuat pasal penyesuaian implementasi PP DHE.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggodo, menyampaikan bahwa pada dasarnya PP tidak boleh mengatur secara surut atau retroaktif. Dalam tataran aturan perundang-undangan, lanjutnya, hanya peraturan setingkat UU saja yang boleh mengatur secara surut, disertai dengan pertimbangan dan alasan yang jelas. Hal tersebut jelas diatur dalam tataran perundang-undangan di Indonesia.

 

Jika ternyata PP tidak memuat pasal penyesuaian, bukan berarti bahwa aturan tersebut berlaku bagi pihak-pihak yang telah meneken perjanjian sebelum PP terbit. Biasanya, PP dinyatakan berlaku saat diterbitkan, artinya aturan-aturan yang tertulis berlaku saat PP diterbitkan dan ke depan.

 

“Aturan perundang-undangan jelas disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan setingkat PP tidak berlaku surut. Sejak PP dinyatakan berlaku, maka aturan berlaku saat itu dan ke depan,” kata Bayu.

 

(Baca Juga: PP 1/2019 Terbit, Devisa Hasil Ekspor SDA Wajib Masuk Sistem Keuangan Indonesia)

 

Pihak-pihak yang sudah melakukan kontrak sebelum PP terbit, tidak memiliki kewajiban untuk menyesuaikan terhadap PP, kecuali perjanjian yang masuk pada ranah hukum publik. Jika perjanjian yang dilakukan adalah bersifat privat, maka tak ada kewajiban untuk melakukan penyesuaian. Para pihak tetap menjalankan isi kontrak sampai kontrak tersebut berakhir. Terkecuali jika di dalam kontrak terdapat klausul penyesuaian sesuai perkembangan regulasi.

 

“Tapi ingat, hal ini juga tergantung klausul di dalam kontrak. Kontrak bisa saja direvisi jika di dalam kontrak terdapat klausul penyesuaian sesuai perkembangan regulasi. Atau kedua belah pihak menyepakati untuk melakukan revisi terhadap kontrak,” tegas Bayu.

 

Sementara itu, Ahli Hukum Pertambangan Ahmad Redi mengatakan bahwa langkah pemerintah menerbitkan PP DHE sudah benar. Selama ini investor hanya menjadikan Indonesia sebagai lahan eksploitasi minerba, namun uang hasil produksi disimpan pada bank-bank asing. Karena alasan itu pula, uang hasil pertambangan harus ditempatkan di Indonesia dan menjadi devisa di dalam negeri.

 

“Bila devisa Indonesia bertambah, maka akan membentu pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.

 

Diakui Ahmad Redi, di satu sisi kebijakan ini akan sedikit memberatkan pelaku usaha. Pasalnya ada kekhawatiran akan potensi masalah domestic yang akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional, dan tentu akan mengganggu penempatan dana para pelaku usaha di dalam negeri. Namun demikian, Ahmad Redi menegaskan bahwa kepentingan nasional harus menjadi prioritas.

 

“Terhadap industri pertambangan, menurut saya tidak akan terdampak. Toh ketentuan DHE ini berlaku secara luas. Pelaku usaha tetap bisa menempatkan DHE-nya di luar negeri melalui bank-bank BUMN yang ada di luar negeri,” tutur Ahmad Redi.

 

Terkait kebijakan ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara memastikan adanya pelonggaran terkait pengenaan pajak penghasilan untuk bunga deposito yang dananya berasal dari rekening khusus devisa hasil ekspor sumber daya alam.

 

"Tarifnya masih sama, cuma yang baru, ada beberapa pelonggaran lagi. Misalnya kalau deposito diperpanjang boleh mendapatkan fasilitas yang sama, atau pindah dari satu bank ke bank yang lain," ujar Suahasil seperti dilansir Antara di Jakarta, Kamis (24/1).

 

Suahasil menegaskan hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru yang merupakan peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan atau pengolahan sumber daya alam.

 

Ia menjelaskan PMK ini nantinya akan didukung oleh peraturan turunan lainnya yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan memudahkan sektor perbankan dalam memilah dana devisa hasil ekspor dari sektor sumber daya alam dengan yang bukan.

 

"Nanti ada PMK yang mengatur tarif, tapi nanti juga ada PBI yang mengatur bagaimana perbankan itu menatanya, supaya jangan tercampur sama dolar yang biasa. Ini khusus untuk devisa hasil ekspor dari sumber daya alam," ujar Suahasil.

 

Selain itu, ia memastikan terdapat PMK lainnya yang mengatur mengenai pemberian sanksi administratif bagi eksportir yang tidak mau menempatkan devisa hasil ekspor di rekening khusus bank di dalam negeri paling lama pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor.

 

Dalam PP telah tercantum pemberian sanksi administratif kepada eksportir yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut yaitu pemberian denda administratif, tidak dapat melakukan ekspor dan pencabutan izin usaha.

 

Meski demikian, PMK itu akan mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, penetapan tarif, tata cara pengenaan, pemungutan dan penyetoran sanksi administratif berupa denda administratif kepada pemerintah.

 

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan kebijakan yang mewajibkan devisa hasil ekspor dari sumber daya alam agar kembali ke sistem keuangan Indonesia untuk memperkuat neraca transaksi berjalan yang selama ini masih mengalami defisit.

 

Devisa hasil ekspor ini berasal dari sektor sumber daya alam terutama pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan serta wajib ditempatkan dalam rekening khusus pada bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait