Aturan Baru Fee Kurator Dinilai Cacat
Utama

Aturan Baru Fee Kurator Dinilai Cacat

Pasal 2 ayat (1) huruf c Permenkumhan dinilai bertentangan dengan UU Kepailitan. Terbuka kemungkinan untuk direvisi.

HAPPY RAYNA STEPHANY
Bacaan 2 Menit
Program 'Talk! Hukumonline' tentang Fee Kurator. Foto: Project
Program 'Talk! Hukumonline' tentang Fee Kurator. Foto: Project

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin menerbitkan Peraturan Menteri No. 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus. Kisruh pembayaran fee kurator kasus Telkomsel menjadi semacam test case bagi regulasi yang terbit pada 11 Januari 2013 ini. Telkomsel menolak membayar fee kuratornya dengan berlindung pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut.

Tak pelak, beleid Pak Menteri menuai pro kontra, termasuk di kalangan kurator. Ada yang menduga Permenkumham No. 01 Tahun 2013 terbit untuk melindungi Telkomsel yang saat itu dipailitkan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat.

Sinyalemen itu antara lain disampaikan Ketua DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Pusat, Jamaslin Purba. Menurut pria yang juga berprofesi sebagai kurator ini, aturan baru fee kurator, terutama pasal 2 ayat (1) huruf c, diduga keras dimasukkan untuk melindungi kepentingan Telkomsel.

Pasal ini menyebutkan ‘dalam hal permohonan pernyataan pailit ditolak di tingkat kasasi atau peninjauan kembali, banyaknya imbalan ditetapkan oleh hakim dan dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit’.

James, begitu Jamaslin biasa disapa, berpendapat Permenkumham tentang fee kurator cacat dan menjadi ancaman serius bagi Pengadilan Niaga, khususnya kurator. Ia menengarai ada beberapa hal yang tak dipertimbangkan tim perumus peraturan menteri tersebut. Untuk melihat masalah tersebut, perlu diperbandingkan regulasi imbalan kurator tahun 1998 dan 2013.

Ketentuan

Regulasi 1998

Regulasi 2013

Besarnya imbalan jasa bagi Pengurus jika PKPU berakhir dengan perdamaian

Paling tinggi 3 % dari nilai harta debitor (Pasal 4 ayat (1))

Paling banyak 10% dari nilai utang yang harus dibayar oleh debitor (Pasal 4 huruf a)

Besarnya imbalan jasa bagi pengurus jika PKPU berakhir tanpa perdamaian

Paling tinggi 5% dari nilai harta debitor (Pasal 4 ayat (22))

Paling banyak 15% dari nilai utang yang harus dibayar debitor (Pasal 4 huruf b)

Besarnya imbalan jasa bagi kurator dalam hal permohonan pernyataan pailit ditolak di tingkat kasasi atau peninjauan kembali

Paling tinggi 2% dari harta debitor (Pasal 2 ayat (2))

Ditentukan berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan, tingkat kerumitan, kemampuan, dan tarif kerja dari pengurus yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (2))

Pihak yang dibebankan jika pernyataan pailit ditolak

Dibebankan kepada debitor dan pemohon (Pasal 2 ayat (1) huruf c)

Dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit (Pasal 2 ayat (1) huruf c)

James menilai Pasal 2 ayat (1) huruf c Permenkumham 2013 harus dinyatakan batal demi hukum karena telah melanggar peraturan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 17 ayat (2) juncto Pasal 17 ayat (3) juncto Pasal 76 (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang(PKPU).

Dalam Pasal 76 tersebut dinyatakan bahwa peraturan menteri hanya bisa mengatur mengenai besaran imbalan jasa. Pasal 76 tidak memberikan kewenangan kepada peraturan menteri untuk mengatur mengenai siapa yang membayar jika permohonan pailit berakhir karena kasasi.

Kewenangan menentukan siapa yang membayar imbalan kurator dan biaya kepailitan yang berakhir karena kasasi ada di tangan majelis kasasi. Cuma, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 76 UU Kepailitan telah merumuskan pihak yang membayar adalah pemohon atau pemohon dan debitor. Atas hal ini, James menilai peraturan menteri telah mengorupsi bunyi pasal aturan yang lebih tinggi.

“Mengenai besarannya berapa, itu baru domainnya permenkumham. Sedangkan mengenai siapa yang membayar, itu bukan kewenangan eksekutif. Sudah ada aturannya di undang-undang,” tutur James dalam diskusi hukumonline di Jakarta, Rabu (06/3).

Atas hal ini, James melihat Permenkumham menciderai rasa keadilan karena orang akan menjadi takut mengajukan permohonan pailit karena pemohon akan menanggung biaya kepailitan dan fee kurator jika pailitnya dibatalkan di tingkat kasasi atau PK. Padahal, setiap orang berhak mengajukan upaya hukum tanpa ada sanksi negara. Alhasil, pemohon pailit akan rugi dua kali, yaitu utang tidak dibayar dan pemohon harus membayar fee kurator. “Akhirnya, pemohon pailit sendiri,” ucap James lagi.

Menanggapi pernyataan James, Kepala Seksi Balai Harta Peninggalan Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, Dulyono,mengatakan lahirnya permenkumham ini bukan karena Telkomsel semata. Permenkumham, kata dia,dibuat karena kebutuhan yang mendesak. Banyaknya pengaduan dari masyarakat yang terus meningkat setiap tahun menjadi sebab lahirnya peraturan ini.

Namun menurut Dulyono, tidak ada perubahan signifikan dari kedua peraturan ini. Materi Permenkumham sebagian besar merujuk pada Kepmenkumham 1998. Yang berubah antara lain pada persentase nilai imbalan.

Terkait patokan pembebanan imbalan adalah nilai utang bukan lagi nilai aset, Dulyono menjelaskan landasan filosofisnya. Menurutnya, kinerja kurator dinilai berdasarkan pekerjaan yang dilakukan. Jika status pailit dicabut di tingkat kasasi, tugas kuratorhanyalah membereskan utang-utang debitor.

Jika ada pihak yang ingin mempersoalkan Permenkumham ke jalur hukum, Kementerian mempersilakan. Bisa saja peraturan imbalan kurator terbaru itu direvisi. “Undang-undang saja bisa diubah apalagi Peraturan Menteri,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait