Atasi Kejahatan Seksual, Ini Solusi Komnas Perempuan
Utama

Atasi Kejahatan Seksual, Ini Solusi Komnas Perempuan

Dibandingkan dengan usulan menghukum pelaku kejahatan dan kekerasan seksual dengan hukuman kebiri, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih dinilai solutif.

CR19
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi yang diadakan di kampus UI, Depok, Kamis (5/11). Foto: CR19
Suasana diskusi yang diadakan di kampus UI, Depok, Kamis (5/11). Foto: CR19

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai, gagasan pemberian hukuman kebiri (kastrasi) bagi pelaku perkosaan merupakan sebuah kemunduran. Sebab, hukuman kebiri dikategorikan sebagai bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Oleh karena itu, Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menilai bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi langkah paling solutif dalam rangka mengatasi kasus kejahatan dan kekerasan seksual di Indonesia.

” RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah sebagai sebuah solusi. Di sini kami ingin menawarkan, mari sama-sama mendorong RUU ini,” ujar Mariana dalam sebuah di Kampus UI Depok, Kamis (5/11).

Menurut Mariana, seharusnya pemerintah melakukan penanganan yang komprehensif, sistemik, dan terpadu. Bukan malah mengambil kebijakan dengan memberi sanksi berupa hukuman kebiri. Ia menilai, pemberian hukuman kebiri itu merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena sejak tahun 1998, Indonesia telah merativikasi UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Ia menjelaskan, melalui RUU Penghapusan dan Kekerasan Seksual berbagai upaya bisa masuk di dalamnya. Mulai dari pencegahan dengan mengubahpandangan masyarakat, memodifikasi perilaku, dan melindungi kelompok rentan mengalami kekerasan seksual. Upaya perlindungan dengan memastikan tersedianya layanan bagi korban dan tidak terulangnya kekerasan kepada korban. 

Langkah penuntutan dan penyidikan dengan memastikan semua pelaku diajukan ke pengadilan untuk dikenai dakwaan dan tuntutan. Penghukuman dengan memastikan setiap pelaku dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi perbuatannya. Serta pemulihan, termasuk memastikan restitusi dan kompensasi.

Atas dasar itu, Mariana mengatakan, RUU Penghapusan dan Kekerasan Seksual menjadi kebutuhan yang mendesak lantaran peraturan perundang-undangan yang ada tidak banyak mengatur atau mengatur secara terbatas mengenai kekerasan seksual. Misalnya, perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimaknai sebatas pada penetrasi penis ke vagina. Sementara itu, dalam hal pembuktian, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga dinilai lebih condong membebankan pembuktian kepada pihak korban.

Hal lainnya, tindakan pelecehan seksual juga belum diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan. Paling tidak, terhadap tindakan pelecehan seksual itu hanya bisa dilakukan penegakan hukum dengan menggunakan pasal terkait perbuatan tidak menyenangkan. Terhadap tindak kejahatan lainnya, seperti penyiksaan dan perbudakan seksual juga belum diperkenalkan dalam hukum pidana umum di Indonesia.

Penyiksaan dan perbudakan seksual memang masuk dalam kategori hukum pidana khusus, dalam hal ini genosida dan kejahatan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. ”Pemerintah dan parlemen memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas tambahan 2015-2019 sebagai lex specialist untuk mencegah kekerasan seksual dan menjamin terpenuhinya hak-hak korban,” kata Mariana.

Dari segi substansi, lanjutnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual nantinya akan mengatur sejumlah bentuk-bentuk kekerasan seksual secara lebih menyeluruh (holistik). Mariana menyebutkan, bentuk-bentuk itu antara lain pelecehan seksual, kontrol seksual, perkosaan, ekspolitasi seksual, penyiksaan seksual, perlakuan atau penghukuman lain yang tidak manusiawi yang menjadikan seksualitas sebagai sarana dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan.

Selain itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga akan mengatur mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, siapa pelaku kekerasan seksual, apa saja bentuk-bentuk tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan perlindungan dan hak saksi serta korban, pemulihan korban, acara peradilan pidana kekerasan seksual, restitusi sebagai bagian pemidanaan, rehabilitasi pelaku sebagai bagian dari pemidanaan, kewajiban negara, dan peran serta masyarakat.

”RUU ini nantinya akan melindungi setiap orang terutama perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya,” tandasnya.

Senada dengan Mariana, Guru Besar Kriminolog FISIP UI, Muhammad Mustofa, juga menolak hukuman kebiri untuk mengatasi kejahatan dan kekerasan seksual. Menurutnya, cara penghukuman dengan melakukan kebiri  merupakan kebijakan yang paradoks. Dimana, kejahatan dan kekerasan seksual dilawan dengan kekerasan yakni hukuman kebiri.

Sebab secara empiris, kata Mustofa, penghukuman tidak pernah membuktikan bahwa pelaku yang telah melakukan kejahatan akan menjadi jera dan calon pelaku yang mungkin akan melakukan kejahatan akan gentar dengan hukuman itu. ”Pengebirian tidak menyelesaikan masalah,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait