Astra Honda Motor Lepas dari Jerat Perkara Persaingan Usaha
Berita

Astra Honda Motor Lepas dari Jerat Perkara Persaingan Usaha

Majelis Komisi menilai tujuan dari perjanjian antara AHM dan main dealer, serta perjanjian main dealer dan dealer memberikan dampak positif yakni untuk menjaga kualitas, reputasi, dan layanan purna jual kepada konsumen.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES

KPPU baru saja memutuskan perkara Nomor 31/KPPU/2019 dengan termohon PT Astra Honda Motor (AHM). Dalam sidang putusan pada Kamis, (25/2), Majelis Komisi yang terdiri dari Chandra Setiawan selaku Ketua Majelis, dan Kurnia Toha, Yudi Hidayat masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi, memutuskan bahwa AHM tidak terbukti melanggar Pasal 15 ayat 2 terkait perjanjian pembelian bersyarat atau tying agreement dan Pasal 15 ayat 3 terkait perjanjian potongan harga bersyarat atau bundling agreement dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atas penjualan pelumas sepeda motor.

Pasal 15 ayat (2) menyatakan, Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Sementara ayat (3) menyebutkan, Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Perkara ini berawal dari penelitian inisiatif dan ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan mengenai dugaan perjanjian pembelian bersyarat dan perjanjian potongan harga dalam penjualan pelumas sepeda motor, khususnya pelumas dengan spesifikasi teknis SAE 10W-30, JASO MB, API SG atau lebih tinggi, yang dilakukan oleh PT Astra Honda Motor di Pulau Jawa. (Baca: KPPU Tangani Perkara Dugaan Perjanjian Tertutup Bisnis Pelumas)

Perkara ini merupakan pengembangan kasus kartel skuter matik di tahun 2016. Dalam proses penyelidikan, KPPU menemukan adanya dugaan pelanggaran perjanjian ekslusif yang dilakukan AHM. Perjanjian ekslusif melibatkan perjanjian antara main dealer dan/atau bengkel Astra Honda Authorized Service Station (AHASS) dengan AHM yang memuat persyaratan bahwa siapa pun yang ingin memiliki bengkel AHASS harus menerima peralatan minimal awal (strategic tools) dari AHM, dan wajib membeli suku cadang lain (antara lain pelumas) dari AHM. Selain itu, juga terdapat perjanjian eksklusif yang berkaitan dengan potongan harga suku cadang (termasuk pelumas) yang diperoleh pemilik bengkel AHASS, jika mereka hanya menjual suku cadang asli dari AHM dan/atau tidak menjual pelumas merek lain.

Pada proses persidangan, Majelis Komisi menemukan fakta-fakta, melakukan penilaian, dan menyimpulkan bahwa unsur potongan harga bersyarat (bundling) dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sementara unsur perjanjian pembelian bersyarat (tying) secara per se dapat terpenuhi dan AHM terbukti melanggar Pasal 15 ayat (2).

Namun Majelis Komisi berpendapat bahwa berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup), Pasal 15 ayat (2) dapat diperiksa berdasarkan rule of reason, karena perjanjian tying dapat berdampak negatif dan dapat pula berdampak positif bagi persaingan usaha dan masyarakat.

Majelis menilai bahwa tujuan dari perjanjian antara AHM dan main dealer, serta perjanjian main dealer dan dealer adalah untuk menjaga kualitas, reputasi, dan pelayanan purna jual terhadap konsumennya.

Memperhatikan manfaat positif perjanjian tersebut, dan sejalan dengan salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang, yakni untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Majelis Komisi menilai perbuatan AHM tersebut dapat dibenarkan.

Berdasarkan hal tersebut, Majelis Komisi menyimpulkan bahwa AHM tidak terbukti melanggar Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Perkara ini berangkat dari inisiatif KPPU yang menemukan adanya indikasi kesulitan pemasaran pelumas merek lain di jaringan bengkel milik AHM pada Januari tahun lalu. Deputi Penegakan Hukum KPPU, Hadi Sutanto, mengatakan dari informasi yang telah dikumpulkan oleh pihaknya, ada fenomena di mana produsen pelumas di Indonesia mengalami kesulitan untuk memasarkan produknya di bengkel-bengkel jaringan AHM yang tersedia hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Pihaknya pun sudah melakukan penggalian data dan informasi serta bersinergi dengan tim kajian KPPU yang fokus pada beberapa produk pelumas kendaraan bermotor.

“Kita gali terus dan minta data dan informasi, sinergi dengan tim kajian. Kemudian melakukan penelitian inisiatif yang fokus di beberapa produk dan aspek mana yang kemudian sangat signifikan dan berpengaruh ke konsumen terhadap oli-oli tertentu yang sering dipakai konsumen,” kata Hadi dalam jumpa pers di Kantor KPPU Jakarta, Januari 2020 lalu.

Dalam perkara ini, lanjut Hadi, KPPU hanya menyasar kepada jenis pelumas untuk kendaraan skutermatic. Adapun tindakan dari AHM ini diduga melanggar Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Namun Hadi belum bisa memastikan kapan perkara ini akan masuk ke persidangan.

“Relatif kasusnya seperti itu, ada hambatan masuk selain oli Honda, selain merk Honda. KPPU coba validasi data, gali informasi dan mengerucut adanya dugaan pelanggaran persaingan usaha. Pasal 15, perkara inisiatif, ini sudah cukup lama, dan terlapor cuma AHM,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait