keberadaan suatu Nama Domain hanyalah keberadaan suatu alamat dalam suatu jaringan komputer global (Internet). Dalam jaringan komputer global tersebut, tidak ada suatu otoritas pusat atau pun kewenangan tersentral yang berfungsi sebagaimana layaknya suatu pemerintahanan. Ia dibangun berdasarkan atas kaidah kebebasan berinformasi (freedom of information) dan kebebasan berkomunikasi (free flow of information) dari para pihak yang menggunakannya.
Jadi keberadaannya semula adalah medium komunikasi global (network of networks) untuk saling tukar menukar informasi. Namun dalam perkembangannya, seiring dengan perubahan perilaku masyarakat penggunanya (social behaviour), maka berubahlah intensitasnya menjadi sarana untuk transaksi perdagangan.
Dengan semakin semaraknya komersialisasi di internet, maka semakin bernilai ekonomis lah keberadaaan domain name tersebut di kalangan masyarakat. Terlebih lagi mengingat keberadaan domain name secara teknis haruslan unique. Maka, semua pengguna berupaya sedapat mungkin untuk memperoleh nama domain yang lebih intuitif dengan nama dirinya ataupun produknya.
Bahkan, sekarang cenderung keberadaannya dikatakan sebagai suatu intangible asset sebagaimana layaknya Intellectual Property dalam lingkup industri dan perdagangan. Pernyataan tersebut sebenarnya tidak sepenunya tepat jika kita mempelajari kaedah-kaedah hukum yang mendasarinya dalam networking.
Maka, keberadaan Nama Domain sebenarnya adalah suatu amanat ("trust") yang diberikan oleh sistem komunikasi yang terselenggara secara otomatis untuk kepentingan penggunanya. Dalam hal ini adalah masyarakat hukum pengguna internet ("Internet Global Community").
Struktur dan delegasi pemberian nama domain
Sistem pemberian Nama Domain (Internet domain name system structure and delegation) telah diarur sebagaimana telah dinyatakan dalam Request for Comment ("RFC") nomor 1591 yang secara jelas telah dicantumkan dalam policy yang digariskan ole IANA (Internet Assignet Number and Adresses) ataupun ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Number). Dapat dikatakan bahwa sebenarnya telah ada ketentuan hukum ataupun kaedah hukum yang mengikat kepada semua pengguna sebagai anggota masyarakat hukum penguna internet.
Nama Domain dinyatakan oleh sistem, terdri atas IP Address (contoh: 200.102.20) dan Alphanumeric Addresses (Domain Name). Secara garis besarnya, semua jenis Nama Domain yang disediakan pada hakekatnya adalah bersifat terbuka dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada. Hanya mengingat kepentingan hukum para pihak, maka ia dibedakan dalam dua klasifikasi, yakni: (a) generic Top Level Domain (gTLD,s) dan (b) Country Code Top Level Domain (ccTLD,s).
Terhadap penyelenggaraan gTLD,s selanjutnya sistem membedakan atas dua jenis yakni yang bersifat open (contoh : .com, .org, .net), dan yang bersifat restricted (contoh ; .edu, . gov, . mil). Sementara itu, terhadap penyelenggaraan Country Code Top Level Domain (ccTLD's) yang dapat dikatakan berfungsi sebagaimana layaknya indikasi geografis dari suatu nama domain (indications to the countery). Namun tentunya hal tersebut pada hakekatnya adalah bersifat restricted.
Dalam lingkup perolehan Nama Domain ini, para pihak yang meminta domain tersebut (selanjutnya disebut "Registrant") secara sistem dinyatakan bahwa secara pribadi adalah bertanggung jawab dan menjamin bahwa pernmintaan pendaftaran. Nama Domain yang dilakukannya adalah didasari dengan itikad baik dan tidak akan merugikan kepentingan pihak-pihak lain yang secara hukum berkepentingan atas keberadaan Nama Domain yang dipintakannya tersebut. Oleh karena itu, wajarlah jka asas yang mendasari adalah "First Come First Served".
Dalam hal ini, wajarlah internet dibangun berdasarkan technology neutrality. Maka, tentunya adalah hal yang wajar sekiranya amanat 'untuk beritikad baik" dibebankan kepada anggota masyarakat itu sendiri, dan si penyelengara sistem dibebaskan dari semua implikasi hukum yang dtimbulkannya.
Semua itu, terhadap para pihak yang diberikan amanat/kewenangan oleh sistem untuk bertugas mengelola pendaftaran Nama Domain tersebut (selanjutnya disebut "Registrar"), telah diberikan arahan bahwa "Concerns about 'rights' and 'owwnership' of domain are inappropriate, it is appropriate to be concerned about 'resposibilities' and 'service' to 'service' to the community". Selain itu, Registrar tidak akan bertanggung jawab terhadap segala implikasi hukum yang berkenaan dengan Nama Domain tersebut, kecuali yang diakibatkan karena kelalaiannya dalam mengemban amanat tersebut.
Dalam melakukan tugasnya, pihak Registers diamanatkan harus mentaati rule-rule yang diberikan, yakni antara lain berkewajiban mengidentifikasi kejelasan status subjek hukum dari si Registrant. Hal ini akan terwujud dengan kejelasan status subjek hukum si orang tersebut berikut dalam e-mailnya yang tercantum pada NIC handle (administration contac, technical-contact dan biling contact) yang dikuasainya.
Hal ini tentunya sangat mudah dipahami, karena tidak akan mungkin ada suatu perbuatan hukum yang ada dimintakan pertanggungjawabannya sekiranya tidak jelas siapa orang ataupun subjek hukumnya. Kelalaian terhadap ini akan berakibat ditariknya amanat tersebut dan dapat dialihkan kepada pihak Registrar yang lain yang mampu mengemban amanat tersebut.
Konflik Kepentingan atas Nama Domain
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata banyak pihak yang memperebutkan keberadaan Nama Domain yang lebih intuitif dengan nama si penggunanya tersebut. Sementara itu, tidak semua pihak dengan sigap dan cepat menyadari dan menanggapi kemajuan teknologi tersebut dengan cara masuk sebagai masyarakat pengguna internet.
Tidak heran bila ada pihak-pihak yang mencoba mencari keuntungan dengan cara mendahului mendaftarkan nama-nama yang diketahuinya telah populer dimasyarakat. Tujuannya, untuk menjualnya kembali kepada pihak yang berkepentingan atas nama tersebut di atas harga perolehannya. Dengan kata lain, hal ini adalah tindakan mencari keuntungan dengan cara penyerobotan Nama Domain yang dituju oleh pihak lain (cybersquatting).
Bahkan, ada pihak-pihak tertentu yang juga secara tidak etis ingin mengambil keuntungan terhadap Nama Domain dengan cara memanfaatkan reputasi ataupun popularitas dari keberadaan nama-nama yang sudah popular (well known) dan telah komersil sebelumnya.
Dengan kata lain, penggunaan Nama Domain yang telah popular untuk situs informasi (web-sites) yang dikelolanya paling tidak akan dapat mencuri pasar yang dimiliki oleh orang lain ataupun membonceng reputasi nama pihak lain tersebut (predatory action).
Paling tidak, ia mencoba untuk mendapatkan nama-nama yang hampir sama dengan nama yang sudah terkenal tersebut (dilution action). Sebagai contoh adalah penggunaan nama domain coca-coli.com yang dimiliki oleh perusahaan permen yang mempunyai rasa cola yang hampir sama dengan rasa dari soft-drink coca-cola tersebut. Hal ini selanjutnya lebih dikenal dengan istilah typosquatting.
Hal lain yang hampir serupa dilakukan oleh para pihak yang saling berkompetisi, adalah dengan melakukan penahanan Nama Domain oleh seseorang dengan tujuan menghambat kompetitornya agar tidak dapat menggunakan nama yang lebih intuitif dengan nama kompetitor itu sendiri.
Hal ini jelas paling tidak akan mengurangi popularitasnya di internet akibat Nama Domain tersebut tidak sesuai dengan nama perusahaannya atau nama produknya. Pasalnya, sudah barang tentu tidak sepopuler jika ia menggunakan nama yang telah dikenal secara umum oleh masyarakat tersebut. Jadi ringkasnya nuansa pemikirannya, hanyalah untuk menghambat keleluasaan bergerak pihak kompetitiornya dalam jalan raya informasi internet.
Dengan melihat uaian di atas, sepatutnya menjadi fokus perhatian adalah itikad tidak baik (bad faith) dari si registrant dalam memperoleh Nama Domain ataupun penggunaan Nama Domain yang dilakukan secara tidak patut (improperly used). Bukan mengatakan bahwa keberadaan Domain Name adalah dianggap berfungsi sebagaimana layaknya merek dalam lingkup perdagangan dan industri. Kedua pernyataan ini jelas harus dibedakan karena penekanan dan pokok permasalahannya sangatlah berbeda konstruksi hukumnya ataupun nuansa hukum yang mendasarinya (legal sense).
Nama Domain | Merek |
� Eksistensinya adalah sebagai alamat dan nama dalam sistem jaringan komputerisasi dan telekomunikasi. � Lebih bersifat sebagai amanat yang diberikan oleh masyarakat hukum pengguna internet, ketimbang sebagai suatu property. � Asasnya adalah berlaku universal yakni "First Come First Served Basis" � Tidak ada pemeriksaan subtantif. � Sepanjang tidak dapat dibuktikan beritikad tidak baik, maka perolehan nama Domain bukanlah tindak pidana. | � Eksistensi adalah berfungsi sebagai daya pembeda dalam lingkup perindustrian dan perdagangan. � Lebih bersifat sebagai property karena merupakan kreasi intelektual manusia yang dimintakan haknya kepada negara untuk kepentingan industri & perdagangan. � Asasnya dan yang menganut First to Filed" dan ada yang menganut "First to Used". � Harus ada pemeriksaan substantif. � Sepanjang tidak diberikan lisensi oleh yang berhak maka penggunaan merek adalah pelanggaran |
Jadi seharusnya dalam hal ini pendekatanya adalah sangat kasuistis. Jika seseorang ingin mengajukan Nama Domain, ia cukup melaksanakan kewajiban formilnya saja. Kewajiban substansiil yang harus dilakukannya hanyalah terbatas kepada kejelasan status subyek hukumnya (legal identiy) saja, bukan kepada pemeriksaan berhak atau tidaknya orang tersebut atas Nama Domain yang dipintakannya.
Oleh karena tu, adalah tidak relevan jika seseorang harus memenuhi pemeriksaan subtansiil sebagaimana layaknya pemerikasaan merek atau mencoba menarik koneksi perolehan Nama Domain dengan pemeriksaannya ke dalam database merek ataupun sebaliknya. Hal tersebut adalah bersifat terlalu berlebihan dan salah kaprah.
Sekiranya, hal tersebut terus dilakukan maka tentunya para Registrant akan pergi ke Registrar lain. Jika ia adalah ccTLD's di suatu negara, maka dapat dibayangkan kecenderungan warga negara itu akan lebih menyukai Registrar diluar ketimbang Registrar dalam negeri. Selain itu, sepatutnya si Registrar secara hukum akan dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kelalaiannya jika ternyata di belakang hari ada keberadaan Domain Name yang bertentangan dengan merek. Hal ini tentunya harus diperhitungkan untung dan ruginya oleh si Registrar itu sendiri.
Selain semua penyalahgunan tersebut di atas, sebenarnya masih ada satu lagi tindakan yang lebih tidak etis lagi, yakni perampasan Nama Domain (Domain Hijcking) yang telah dimiliki oleh orang lain. Modus operandinya adalah dengan cara menipu pihak Registrar yang seolah-olah si perampas bertindak sebagai si Registrar dan kemudian ia mengubah status penguasaan atas domain (NIC Handle).
Dengan berubahnya NIC Handle tersebut, maka berubahlah status kepemilikan atas Doman Name tersebut. Sekarang ini, hal tersebut tampaknya suatu ancaman yang akan menjadi semakin sulit untuk dilacak akibat begitu banyaknya Registrar yang ada dewasa ini.
Dapat dibayangkan bagaimana rumitnya jika domain tersebut dirampas/dibajak dan dialih-alihkan dari satu Registrar ke Registrar lainya. Tindakan ini jelas dapat dikategorikan sebagai tindakan kejahatan. Kasus ini sebenarnya pernah marak di Indonesia beberapa bulan lalu, tetepi sepertinya para pihak yang berkepentingan tidak ingin menampilkannya kepermukaan publik karena merasa lebih baik meredamnya agar keberadaan reputasi tetap terjaga dan situsnya tetap dapat dipercaya oleh publik.
Tindakan Preventif
Untuk menghadapi itikad tidak baik tersebut, maka sebagai tindakan preventif banyak orang melakukan tindakan prophylactic measures, yakni dengan mendaftarkan keberadaan nama perusahaannya ataupun merek dagangnya ke dalam semua jenis nama domain yang tersedia. Sayangnya, hal ini jelas akan mengakibatkan pengeluaran yang cukup besar untuk biaya adminstrasi pendaftran Nama Domain tersebut.
Selain itu, sebenarnya para pihak dapat juga menggunakan langkah-langkah yang ditawarkan oleh ICANN dalam Uniform Dispute Resulation Policy ("UDRP"), yang pada hakekatnya memberikan keleluasaan kepada para pihak itu sendiri, untuk menempuh alternatif penyelesaian sengketa yang dipilihnya sendiri, yakni dapat menyelesaikannya dengan musyawarah untuk mufakat (resolved by the parties themselves), mekanisme peradilan umum (the courts) atau lembaga-lembaga pengambilan keputusan keadilan lainnya yang dikenal secara hukum.
Edmon Makarim, SH, Skom adalah Ketua Harian Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT) FHUI dan staf pengajar Hukum dan Komputer dan Hak Milik Intelektual FHUI