Aspek Hukum terhadap Nama Domain di Internet
Kolom

Aspek Hukum terhadap Nama Domain di Internet

Permasalahan mengenai tindakan penggunaan Nama Domain (Domain Name) yang berlawanan dengan hukum akhir-akhir ini sedang marak. Tampaknya, perlu diluruskan kembali pemahaman masyarakat mengenai aspek-aspek hukum yang berkenaan dengan keberadaan suatu Domain Name. Sebenarnya secara substansiil, Domain Name sangat berbeda dengan keberadaan suatu merek dalam lingkup perdagangan dan industri.

Bacaan 2 Menit
Aspek Hukum terhadap Nama Domain di Internet
Hukumonline

keberadaan  suatu Nama Domain  hanyalah  keberadaan suatu alamat dalam  suatu jaringan  komputer global  (Internet). Dalam  jaringan  komputer global tersebut,  tidak ada  suatu  otoritas  pusat  atau pun  kewenangan  tersentral  yang berfungsi  sebagaimana layaknya  suatu  pemerintahanan. Ia dibangun berdasarkan  atas kaidah  kebebasan  berinformasi (freedom  of information) dan  kebebasan  berkomunikasi  (free flow of information) dari para pihak  yang menggunakannya.

Jadi  keberadaannya semula adalah medium  komunikasi  global  (network of networks) untuk saling tukar menukar informasi. Namun  dalam perkembangannya, seiring  dengan  perubahan perilaku  masyarakat  penggunanya (social  behaviour), maka  berubahlah intensitasnya  menjadi  sarana untuk  transaksi  perdagangan.

Dengan  semakin  semaraknya  komersialisasi  di internet, maka semakin  bernilai ekonomis lah keberadaaan domain name  tersebut di kalangan masyarakat. Terlebih lagi  mengingat  keberadaan domain name  secara  teknis  haruslan  unique. Maka, semua  pengguna  berupaya  sedapat mungkin  untuk memperoleh  nama domain  yang lebih  intuitif dengan nama  dirinya  ataupun  produknya.

Bahkan,  sekarang cenderung  keberadaannya dikatakan  sebagai suatu  intangible  asset sebagaimana layaknya  Intellectual  Property  dalam lingkup  industri  dan perdagangan. Pernyataan  tersebut  sebenarnya  tidak sepenunya  tepat jika  kita  mempelajari  kaedah-kaedah  hukum yang mendasarinya  dalam networking.

Maka,  keberadaan Nama Domain sebenarnya  adalah  suatu  amanat  ("trust") yang diberikan  oleh sistem  komunikasi  yang  terselenggara secara otomatis untuk kepentingan  penggunanya. Dalam  hal  ini  adalah  masyarakat  hukum pengguna internet ("Internet Global  Community").

Struktur  dan  delegasi  pemberian  nama domain

Sistem  pemberian  Nama Domain  (Internet  domain  name system  structure and  delegation) telah diarur sebagaimana  telah  dinyatakan  dalam  Request  for  Comment ("RFC") nomor 1591 yang secara jelas telah dicantumkan  dalam policy yang digariskan  ole IANA (Internet Assignet Number and Adresses) ataupun  ICANN (Internet Corporation  for Assigned Names and Number). Dapat  dikatakan  bahwa  sebenarnya  telah  ada ketentuan hukum ataupun  kaedah  hukum  yang mengikat  kepada  semua  pengguna sebagai  anggota  masyarakat  hukum  penguna  internet.

Nama  Domain  dinyatakan  oleh  sistem,  terdri  atas  IP Address (contoh:  200.102.20) dan  Alphanumeric Addresses (Domain Name). Secara  garis  besarnya, semua  jenis  Nama Domain  yang  disediakan  pada hakekatnya  adalah  bersifat  terbuka  dan akan  terus  berkembang sesuai  dengan  perkembangan  teknologi yang  ada. Hanya  mengingat  kepentingan  hukum para pihak, maka ia  dibedakan  dalam  dua  klasifikasi, yakni: (a) generic Top  Level  Domain  (gTLD,s) dan  (b) Country Code  Top  Level  Domain  (ccTLD,s).

Terhadap  penyelenggaraan  gTLD,s selanjutnya  sistem  membedakan  atas dua  jenis yakni  yang bersifat  open  (contoh :   .com, .org, .net), dan yang  bersifat restricted (contoh ;  .edu,  . gov,  . mil). Sementara itu, terhadap  penyelenggaraan Country Code  Top  Level  Domain  (ccTLD's) yang  dapat  dikatakan  berfungsi  sebagaimana layaknya  indikasi   geografis dari  suatu  nama  domain  (indications to the  countery). Namun  tentunya  hal tersebut pada  hakekatnya  adalah  bersifat  restricted.

Dalam  lingkup perolehan Nama  Domain  ini, para pihak  yang meminta  domain  tersebut  (selanjutnya  disebut  "Registrant") secara sistem  dinyatakan  bahwa  secara  pribadi  adalah  bertanggung jawab  dan menjamin bahwa pernmintaan pendaftaran.  Nama Domain  yang  dilakukannya adalah  didasari  dengan  itikad baik  dan tidak  akan merugikan  kepentingan  pihak-pihak  lain  yang secara hukum  berkepentingan atas keberadaan Nama  Domain  yang  dipintakannya  tersebut. Oleh  karena itu, wajarlah  jka  asas yang mendasari adalah  "First Come  First Served".

Dalam  hal ini, wajarlah  internet  dibangun  berdasarkan   technology neutrality.  Maka,  tentunya  adalah  hal yang wajar  sekiranya  amanat 'untuk beritikad baik"  dibebankan  kepada  anggota  masyarakat itu sendiri, dan  si penyelengara sistem  dibebaskan  dari semua  implikasi  hukum yang dtimbulkannya.

Semua  itu, terhadap  para pihak  yang diberikan  amanat/kewenangan  oleh sistem  untuk  bertugas  mengelola   pendaftaran Nama Domain  tersebut  (selanjutnya  disebut  "Registrar"),  telah  diberikan   arahan  bahwa  "Concerns about 'rights' and 'owwnership' of domain  are inappropriate, it is appropriate to be concerned about 'resposibilities' and 'service' to  'service' to  the  community". Selain  itu, Registrar  tidak akan  bertanggung jawab  terhadap  segala  implikasi  hukum  yang berkenaan  dengan Nama Domain  tersebut, kecuali  yang diakibatkan  karena kelalaiannya dalam  mengemban  amanat  tersebut.

Dalam melakukan  tugasnya, pihak Registers diamanatkan  harus  mentaati rule-rule yang  diberikan, yakni  antara  lain  berkewajiban  mengidentifikasi kejelasan  status subjek  hukum  dari  si Registrant. Hal  ini akan   terwujud  dengan  kejelasan  status  subjek  hukum  si orang tersebut  berikut  dalam  e-mailnya  yang tercantum  pada NIC handle (administration contac, technical-contact dan  biling  contact) yang dikuasainya.

Hal  ini tentunya sangat mudah  dipahami, karena tidak akan  mungkin  ada suatu  perbuatan  hukum yang ada  dimintakan pertanggungjawabannya sekiranya   tidak jelas  siapa orang ataupun subjek hukumnya. Kelalaian  terhadap ini akan  berakibat   ditariknya  amanat  tersebut  dan dapat  dialihkan  kepada  pihak  Registrar yang lain  yang mampu  mengemban  amanat tersebut.

Konflik Kepentingan atas Nama Domain

Dalam  perkembangan selanjutnya, ternyata banyak pihak  yang  memperebutkan  keberadaan  Nama  Domain  yang lebih  intuitif dengan nama  si penggunanya tersebut. Sementara itu,  tidak semua  pihak dengan  sigap  dan cepat  menyadari  dan menanggapi  kemajuan  teknologi  tersebut  dengan cara  masuk  sebagai masyarakat  pengguna  internet.

Tidak heran bila  ada  pihak-pihak yang  mencoba  mencari keuntungan  dengan cara mendahului  mendaftarkan  nama-nama  yang  diketahuinya  telah  populer  dimasyarakat. Tujuannya,  untuk menjualnya kembali  kepada  pihak  yang  berkepentingan  atas nama  tersebut   di atas  harga perolehannya. Dengan  kata lain,  hal ini  adalah  tindakan  mencari  keuntungan dengan cara  penyerobotan  Nama Domain  yang dituju  oleh pihak lain  (cybersquatting).

Bahkan,  ada  pihak-pihak  tertentu  yang juga  secara tidak etis  ingin  mengambil  keuntungan terhadap  Nama  Domain  dengan  cara memanfaatkan  reputasi  ataupun  popularitas  dari  keberadaan  nama-nama  yang sudah  popular (well known) dan telah   komersil  sebelumnya.

Dengan kata lain, penggunaan Nama Domain  yang telah popular  untuk situs  informasi  (web-sites) yang dikelolanya  paling  tidak  akan dapat  mencuri  pasar yang dimiliki  oleh orang lain  ataupun  membonceng reputasi nama  pihak lain  tersebut (predatory action).

Paling  tidak, ia  mencoba  untuk  mendapatkan  nama-nama  yang hampir sama dengan  nama  yang sudah  terkenal tersebut  (dilution action). Sebagai  contoh  adalah  penggunaan nama  domain coca-coli.com yang dimiliki  oleh perusahaan  permen  yang mempunyai rasa  cola   yang hampir sama dengan  rasa  dari  soft-drink coca-cola  tersebut. Hal  ini selanjutnya  lebih dikenal  dengan istilah  typosquatting.

Hal  lain  yang hampir  serupa  dilakukan  oleh para pihak  yang saling  berkompetisi, adalah  dengan melakukan penahanan  Nama Domain oleh  seseorang dengan tujuan  menghambat  kompetitornya  agar tidak dapat  menggunakan  nama yang lebih  intuitif dengan  nama  kompetitor itu sendiri.

Hal ini jelas paling  tidak  akan mengurangi  popularitasnya  di internet  akibat Nama Domain  tersebut tidak  sesuai dengan nama perusahaannya  atau  nama produknya. Pasalnya, sudah  barang  tentu tidak sepopuler jika ia menggunakan nama yang  telah dikenal  secara umum oleh  masyarakat tersebut. Jadi ringkasnya   nuansa pemikirannya, hanyalah  untuk  menghambat  keleluasaan  bergerak  pihak  kompetitiornya  dalam jalan raya  informasi  internet.

Dengan  melihat  uaian di atas,  sepatutnya menjadi fokus  perhatian adalah  itikad tidak  baik  (bad faith) dari  si registrant dalam memperoleh  Nama Domain  ataupun  penggunaan  Nama Domain   yang dilakukan  secara  tidak patut (improperly used). Bukan  mengatakan   bahwa  keberadaan  Domain  Name adalah  dianggap  berfungsi  sebagaimana layaknya  merek dalam  lingkup  perdagangan  dan industri. Kedua  pernyataan  ini jelas  harus  dibedakan  karena penekanan  dan pokok permasalahannya  sangatlah  berbeda  konstruksi  hukumnya  ataupun  nuansa  hukum yang mendasarinya (legal  sense).

 

Nama Domain

Merek

          Eksistensinya  adalah  sebagai  alamat  dan nama  dalam  sistem  jaringan  komputerisasi  dan  telekomunikasi.

          Lebih  bersifat  sebagai  amanat  yang diberikan  oleh  masyarakat  hukum pengguna  internet, ketimbang sebagai  suatu  property.

          Asasnya adalah  berlaku  universal  yakni  "First Come First Served Basis"

          Tidak ada pemeriksaan  subtantif.

          Sepanjang tidak dapat  dibuktikan  beritikad tidak baik, maka perolehan  nama Domain  bukanlah  tindak  pidana.

          Eksistensi adalah  berfungsi  sebagai  daya  pembeda dalam lingkup  perindustrian  dan  perdagangan.

          Lebih  bersifat  sebagai  property  karena merupakan  kreasi  intelektual  manusia  yang dimintakan  haknya  kepada negara untuk  kepentingan  industri & perdagangan.

          Asasnya dan  yang menganut  First to  Filed" dan ada  yang menganut  "First to Used".

          Harus  ada  pemeriksaan  substantif.

          Sepanjang  tidak diberikan  lisensi  oleh  yang berhak  maka penggunaan merek  adalah pelanggaran

Jadi seharusnya  dalam  hal ini pendekatanya adalah  sangat  kasuistis. Jika  seseorang ingin  mengajukan  Nama  Domain, ia cukup melaksanakan  kewajiban  formilnya saja. Kewajiban  substansiil yang  harus  dilakukannya hanyalah  terbatas  kepada  kejelasan  status  subyek  hukumnya  (legal identiy) saja, bukan  kepada pemeriksaan  berhak  atau  tidaknya  orang tersebut  atas  Nama  Domain  yang  dipintakannya.

Oleh  karena tu, adalah  tidak relevan  jika seseorang harus  memenuhi  pemeriksaan  subtansiil  sebagaimana  layaknya  pemerikasaan  merek atau  mencoba menarik  koneksi  perolehan  Nama Domain dengan  pemeriksaannya  ke dalam  database  merek  ataupun  sebaliknya. Hal  tersebut  adalah  bersifat  terlalu  berlebihan  dan salah  kaprah.

Sekiranya, hal tersebut  terus dilakukan  maka  tentunya  para  Registrant  akan pergi   ke Registrar lain. Jika  ia  adalah  ccTLD's di suatu  negara, maka  dapat  dibayangkan  kecenderungan  warga negara itu akan  lebih menyukai  Registrar diluar  ketimbang Registrar dalam negeri. Selain  itu,  sepatutnya  si Registrar secara hukum akan dapat  dimintakan  pertanggungjawabannya  atas kelalaiannya jika  ternyata di belakang hari  ada keberadaan Domain  Name yang  bertentangan  dengan merek. Hal  ini  tentunya  harus  diperhitungkan  untung  dan ruginya  oleh  si Registrar itu sendiri.

Selain  semua  penyalahgunan  tersebut  di atas,  sebenarnya  masih ada  satu  lagi  tindakan  yang lebih  tidak  etis lagi,  yakni perampasan Nama  Domain  (Domain Hijcking) yang telah  dimiliki oleh  orang lain. Modus  operandinya  adalah  dengan   cara menipu  pihak  Registrar yang seolah-olah  si perampas  bertindak  sebagai si Registrar  dan kemudian  ia mengubah  status  penguasaan atas domain  (NIC Handle).

Dengan  berubahnya  NIC Handle  tersebut,  maka berubahlah  status kepemilikan atas Doman Name tersebut. Sekarang ini, hal  tersebut  tampaknya suatu ancaman  yang akan  menjadi  semakin  sulit  untuk dilacak  akibat  begitu banyaknya Registrar yang ada  dewasa ini.

Dapat  dibayangkan  bagaimana  rumitnya  jika domain tersebut  dirampas/dibajak  dan  dialih-alihkan dari  satu  Registrar ke Registrar lainya. Tindakan  ini jelas  dapat dikategorikan  sebagai tindakan  kejahatan. Kasus  ini  sebenarnya   pernah marak  di Indonesia  beberapa  bulan lalu,  tetepi  sepertinya  para pihak  yang berkepentingan  tidak  ingin  menampilkannya  kepermukaan  publik karena  merasa  lebih  baik  meredamnya  agar  keberadaan  reputasi tetap  terjaga   dan situsnya  tetap dapat  dipercaya  oleh publik.

Tindakan  Preventif

Untuk menghadapi itikad  tidak baik   tersebut, maka  sebagai  tindakan preventif banyak orang melakukan  tindakan   prophylactic measures, yakni dengan mendaftarkan  keberadaan  nama  perusahaannya  ataupun  merek  dagangnya  ke dalam  semua jenis  nama  domain   yang tersedia. Sayangnya,  hal ini   jelas akan  mengakibatkan  pengeluaran  yang  cukup  besar  untuk  biaya  adminstrasi  pendaftran  Nama Domain  tersebut.

Selain  itu, sebenarnya  para pihak  dapat juga menggunakan  langkah-langkah yang ditawarkan  oleh ICANN dalam  Uniform Dispute Resulation Policy ("UDRP"), yang  pada hakekatnya  memberikan  keleluasaan  kepada para pihak  itu sendiri, untuk  menempuh alternatif penyelesaian sengketa yang dipilihnya  sendiri, yakni  dapat  menyelesaikannya  dengan musyawarah  untuk  mufakat (resolved by the parties themselves), mekanisme  peradilan umum  (the courts) atau  lembaga-lembaga pengambilan keputusan  keadilan  lainnya yang dikenal  secara hukum.

 

Edmon Makarim, SH, Skom adalah Ketua Harian Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT) FHUI dan staf pengajar Hukum dan Komputer dan Hak Milik Intelektual FHUI

Tags: