Aspek Hukum Cross Border Insolvency Dalam Undang-undang Kepailitan
Ricardo Simanjuntak(*)

Aspek Hukum Cross Border Insolvency Dalam Undang-undang Kepailitan

Undang-undang No.4/1998 tentang Kepailitan (UUK) mengatur ketentuan tentang tata cara penyelesaian secara hukum konflik utang-piutang antara kreditur dan debitur melalui Pengadilan Niaga di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

Prinsip universal dari UUK

Pasal 19 UUK tidak secara tegas diatur sampai sejauh mana wilayah keberlakuan dari status sita umum terhadap harta debitur pailit tersebut berlaku, begitu juga dalam bagian penjelasannya. Akan tetapi, asas universalitas dari putusan pailit yang diputuskan oleh Pengadilan Niaga Indonesia tercermin dari pasal 202 sampai dengan pasal 204 UUK. Pasal tersebut menunjukkan bahwa wilayah keberlakuan sita umum terhadap harta pailit --yang akan diurus dan dibereskan oleh kurator untuk kepentingan kreditur konkuren debitur pailit berdasarkan pasal 1132 KUH perdata-– tidak terbatas hanya terhadap harta debitur yang berada dalam wilayah hukum  Indonesia saja akan tetapi juga  termasuk terhadap harta debitur pailit yang berada di luar negeri.

Azas sovereignty, memang membuat prinsip universal yang dianut oleh UUK tersebut tidak secara otomatis dapat diikuti oleh negara asing. Dengan kalimat lain, putusan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Indonesia tidak otomatis dapat dilaksanakan di luar negeri. Kecuali bila antara negara Indonesia dengan negara dimana aset debitur tersebut berada telah terdapat kesepakatan untuk saling mengakui dan melaksanakan putusan pailit dari  pengadilan negara masing-masing (mutual recognition and enforcement of court decision of contracting countries). Putusan pengadilan tersebut paling hanya diberlakukan sebagai bukti  terhadap upaya relitigasi (relitigation) yang dilakukan di pengadilan negara asing dimana aset debitur tersebut berada.

Sebagai konsekuensi dari tidak diakuinya putusan pailit suatu negara (dalam konteks ini negara Indonesia) di negara asing, maka kurator sebagai bagian dari putusan yang diberikan hak untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit berdasarkan pasal 12 UUK, juga tidak berwenang  untuk melakukan upaya pengurusan dan pemberesan aset. Termasuk juga  langkah relitigasi atau permohonan kembali pernyataan pailit debitur yang telah dinyatakan pailit di Indonesia tersebut di luar negeri. Penyebabnya, debitur yang dinyatakan  telah dinyatakan pailit di Indonesia tersebut  masih dianggap tidak pailit di luar negeri.

Untuk saat ini pemberlakukan asas universalitas hanya diwajibkan terhadap kreditur-kreditur yang (perorangan ataupun badan hukum) berkewarganegaraan Indonesia dan juga kreditur asing yang berada dan beraktivitas dalam wilayah Indonesia.

Dalam pasal 202, pasal 203 dan pasal 204 UUK secara lebih khusus mengatur sebagai berikut:

Pasal 202 UUK:

Para berpiutang yang setelah pernyataan pailit, seluruhnya atau sebagian masing-masing untuk diri sendiri telah mengambil pelunasan piutang-piutang mereka dari barang-barang seorang berutang yang dinyatakan pailit di Indonesia, yang terletak diluar wilayah Indonesia, yang tidak diperikatkan kepada mereka dengan hak untuk didahulukan, diwajibkan mengganti kepada harta pailit segala apa yang mereka dengan hak untuk didahulukan, diwajibkan diperolehnya secara demikian tadi

Pasal ini  berupaya mencegah tindakan sepihak yang mungkin saja secara praktek dapat dilakukan oleh kreditur konkuren debitur pailit melalui aksesnya di luar negeri. Misalnya melalui hubungan internal antara pemegang saham, ataupun hubungan koruptif antara pihak kreditur konkuren tersebut dengan pihak-pihak diluar negeri. Atau, dapat juga dengan membawa surat kuasa sepihak dari debitur pailit yang dianggap seolah-olah belum pailit ataupun diberikan pada saat dipastikan debitur pailit tidak akan mampu membayar utang-utangnya lagi, ataupun dalam keadaan debitur pailit tersebut sedang dimohonkan pailit, dimana debitur tersebut telah melihat bahwa tidak ada kemungkinan untuk dapat lepas dari jerat pailit tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, walaupun dalam pelaksanaanya asas universalitas yang dianut oleh kepailitan Indonesia tidak diakui oleh negara asing, akan tetapi tindakan kreditur konkuren tersebut adalah pelanggaran terhadap asas universalitas yang membuat  kreditur telah bertindak secara melawan hukum untuk menguasai harta debitur melebihi hak-hak yang seharusnya didapat berdasarkan pasal 1132 KUH Perdata.

Halaman Selanjutnya:
Tags: