Asosiasi Pengajar HKI Soroti Lemahnya Regulasi Hak Kekayaan Intelektual
Berita

Asosiasi Pengajar HKI Soroti Lemahnya Regulasi Hak Kekayaan Intelektual

Saat pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) Indonesia akan semakin tinggi ketergantungannya dengan produk-produk farmasi dan alat-alat kesehatan yang berasal dari negara luar.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kekayaan intelektual. BAS
Ilustrasi kekayaan intelektual. BAS

Hubungan antara hak kekayaan intelektual (HKI) dengan kemajuan ekonomi negara sangat erat. Semakin kuat suatu negara melindungi HKI pelaku usaha maka akan kokoh pula perekonomian negara tersebut. Sebaliknya, semakin ketergantungan suatu negara terhadap asing maka melemahkan ekonomi negara tersebut karena HKI memiliki nilai ekonomis yang sangat berharga.

Ketua Asosiasi Pengajar HKI, Prof OK Saidin mengatakan HKI merupakan isu strategis yang harus selalu diperhatikan karena aktivitas kehidupan manusia tidak lepas dari permasalahan HKI. Dia mencontohkan berbagai produk seperti sabun, makanan, minuman, kacamata, buku, musik, lagu, obat-obatan, sepatu, pakaian, mobil, pesawat terbang, alat-alat perang sangat berhubungan dengan HKI.

Dalam pemahaman ekonomi, HKI merupakan salah satu modal atau aset tak berwujud yang memiliki pengaruh besar dalam lalu lintas pedagangan barang dan jasa. Saidin mengatakan HKI akan menjadi instrumen dalam percaturan politik ekonomi global sehingga para pemenang dalam pertarungan ekonomi global ini akan berada dalam genggaman negara-negara pemilik HKI.

“Jika Indonesia tidak mengantisipasimnya secara tepat, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan tergilas dalam arus kemenangan kapitalis dalam pertarungan ekonomi global. Padahal etika politik internasional atau kekuatan keberlakuan instrumen hukum internasional akan dapat dikesampingkan jika secara tegas pengaturannya  dalam hukum nasional yang memuat ketentuan bahwa hukum internasional itu bertentangan dengan kaedah hukum nasional.  Konvensi Internasional tidak dapat dipaksaklan berlakunya, jika bertentangan dengan hukum nasional,” jelas Saidin, Rabu (18/6).

Dia menyatakan saat kondisi pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) Indonesia akan semakin tinggi ketergantungannya dengan produk-produk farmasi dan alat-alat kesehatan yang berasal dari negara luar. Atas hal tersebut, Saidin mengingatkan pemerintah harus melakukan penguatan dari dalam dengan berani melakukan terobosan dengan memanfaatkan potensi ketersediaan sumber daya alam.

“Tanpa covid-19 pun bangsa ini sedang menghadapi suituasi ketergantungan kepada negara- negara Industri maju yang notabene adalah negara-negara industri pemegang dan sekaligus pemilik HKI.  Pembelajaran seperti apa yang akan kita dapatkan dari situasi ini,” jelas Saidin.

Di sisi lain, diplomasi memegang peranan penting, untuk mengecualikan keberlakuan beberapa ketentuan dari Kesepakatan Internasional Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Duta Besar LBBP Ottawa Kanada, Abdul Kadir Jailani menjelaskan Article 73 TRIPs Agreementmembuka peluang bagi Indonesia umntuk mengatur dalam Undang Undang mengenai pengecualian pemberklakuan ketentuan TRIPs Agreement.

Dia mencontohkan Indonesia dapat menggunakan produk-produk dalam bidang farmasi khusus untuk vaksin Covid-19, jika telah ditemukan. Article 27 (1)  juga membuka peluang agar Indonesia dapat memanfaatkan paten obat-obatan atau farmasi. (Baca Juga: Ironis, dari Ribuan Potensi Indikasi Geografis Indonesia Baru 67 Terdaftar di DJKI)

“Sayangnya hal demikian tidak ditemukan dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten Indonesia,” jelas Jailani.

Dia melanjutkan, Marakesh Convention ditentukan pula bahwa apabila seluruh menteri perdagangan negara-negara yang tergabung dalam WTO berkumpul dan sepakat untuk menyimpangi pemberlakuan TRIPs Agreement, maka TRIPs Agreement boleh disimpangi. Bahkan jika mereka sepakat TRIPs Agreement itupun boleh diamaendemen.

“Intinya adalah TRIPs Agreement memiliki banyak memuat fleksibelitas. TRIPs Agreement sebenarnya banyak menguntungkan negara-negara berkembang. Sayangnya itu tidak dimanfaatkan oleh legislatif kita. Peluang fleksibilitas yang ditawarkan oleh TRIPs Agreement tidak digunakan secara optimal oleh pembuat UU Indonesia,” jelasnya.

Jailani juga menyampaikan permasalahan UU belum mempersiapkan norma-norma yang melindungi kepentingan nasionalnya. “Pembuat UU Paten, gagal memanfaatkan peluang yang disediakan oleh TRIPs Agreement dan Marakesh Convention. Belum ada pasal-pasal penjaga kepentingan nasional. Semua peraturan yang ada mestinya harus menjamin keselematan kehidupan bersama manusia,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait