Asosiasi Fintech Susun Pedoman Teknis Demi Lindungi Konsumen
Berita

Asosiasi Fintech Susun Pedoman Teknis Demi Lindungi Konsumen

OJK kembali menekankan agar pelaku usaha industri fintech menerapkan prinsip transparansi demi memberi perlindungan bagi konsumen.

CR-26
Bacaan 2 Menit
OJK menyerahkan penyusunan aturan berupa market code of conduct industri fintech kepada pelaku usaha. Foto: CR-26
OJK menyerahkan penyusunan aturan berupa market code of conduct industri fintech kepada pelaku usaha. Foto: CR-26

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta aturan main berupa market code of conduct (CoC) mengenai industri jasa keuangan berbasis digital atau financial technology (fintech) sebagian besar diserahkan kepada para pelaku usaha. OJK beralasan dinamika bisnis fintech mudah berubah-ubah, sehingga pelaku usaha yang lebih mengetahui bagaimana pedoman teknis ini bisa dijalankan demi melindungi konsumen. 

 

Sementara peran OJK sebagai lembaga pengawas jasa keuangan tetap akan menyusun payung hukum mengenai fintech secara keseluruhan (umum), seperti peer to peer lending, crowd funding, pembayaran elektronik, investasi hingga asuransi elektronik. Aturan tersebut nantinya hanya bersifat umum. Baca Juga: OJK Segera Terbitkan Aturan Main Fintech

 

Sedangkan, regulasi yang sifatnya teknis, OJK menyerahkan kepada pelaku industri melalui asosiasi fintech sebagai penyelenggara bisnis model ini. Saat ini, salah satu yang tercatat sebagai asosiasi adalah Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech). Nantinya, OJK meminta Aftech menyusun pedoman teknis berupa market code of conduct  (CoC) yang harus dipatuhi secara bersama bagi para pelaku industri fintech

 

Poin penting dari CoC tersebut adalah penyusunan aturan yang mampu memberi perlindungan bagi konsumen yakni investor atau kreditor dan nasabah atau debitur. Saat ini, pelaku industri fintech terus mengalami pertumbuhan signifikan. Tercatat, jumlah perusahaan fintech yang tergabung dalam Asosiasi ini sebanyak 135 perusahaan. Jumlah tersebut terus meningkat hingga 10 kali lipat dalam setahun terakhir.

 

Satu hal yang ditekankan OJK dalam CoC tersebut adalah prinsip transparansi pengelolaan dana perusahaan fintech, khususnya soal bunga yang dibebankan kepada nasabah (debitur) dan return yang diperoleh investor (kreditur). “Kami ingin market code of conduct memberi informasi yang terbuka selebar-lebarnya. Kami tidak ingin konsumen rugi karena ada harga-harga yang tidak wajar,” kata Analis Eksekutif Senior pada Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK, Fithri Hadi dalam acara konferensi pers di kantornya, Jumat (13/4/2018).

 

Fithri melanjutkan pihaknya tidak ragu menegur perusahaan fintech yang mengabaikan prinsip transparansi tersebut. Dia mengatakan pihaknya akan mengawasi secara rutin agar perusahaan fintech patuh pada prinsip tersebut. “Kami akan memaksa pemilik platform untuk membuka informasi sejelas-jelasnya kepada konsumen. Nanti, konsumen sendiri yang bebas menentukan pilihannya,” kata Fithri.

 

Pernyataan Fithri tersebut sangat beralasan karena fintech khususnya pada segmen peer to peer lending memiliki tingkat suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan jasa keuangan lain. Sebab, muncul kekhawatiran segmen ini dikenal istilah “rentenir digital”.

 

Ketua OJK, Wimboh Santoso bahkan pernah menyatakan suku bunga fintech mencapai 19-20 persen per tahun. Nilai tersebut lebih tinggi daripada jasa keuangan sektor perbankan yang mencapai sekitar 10-11 persen per tahun. Karenanya, prinsip transparansi tersebut diharapkan OJK dapat menurunkan tingkat suku bunga di industri fintech yang saat ini berorientasi pada pendanaan usaha mikro.

 

Penyerahan market code of conduct kepada asosiasi menjadi tantangan tersendiri. Wakil Ketua Umum Aftech, Adrian Asharyanto Gunadi mengatakan pihaknya sedang menyusun aturan tersebut. Dia menjelaskan pihaknya akan menyusun aturan dengan merujuk pada negara-negara yang telah berpengalaman dalam praktik industri fintech ini.

 

“Untuk kompartemen lending, kami akan menerbitkan code of conduct dengan benchmark dari US, Cina dan Australia. Kami lihat mereka merupakan negara telah berpengalaman dalam segmen tersebut,” kata Adrian.

 

Sehubungan permasalahan transparansi dan tata kelola usaha, Adrian menyatakan kesiapannya agar seluruh perusahaan fintech yang tergabung dalam Aftech menerapkan prinsip tersebut. Dia menilai dengan penerapan prinsip-prinsip tersebut dapat memberi pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat.

 

“Masalah transparansi, good corporate governancedan perlindungan konsumen, kami ingin memastikan semuanya harus seragam dalam penerapannya. Kami ingin masyarakat dapat informasi dan teredukasi secara utuh. Saat ini, kami sedang matangkan (aturan) dan next step kami bisa sosialisasikan,” kata Adrian yang juga merupakan CEO PT Investree Radhika Jaya (Investree).

 

Lebih lanjut, Adrian menjelaskan tantangan lain dalam menyusun CoC tersebut adalah model bisnis fintech yang beragam. Sehingga, dia ingin memastikan penyusunan pedoman teknis tersebut nantinya diharapkan dapat diterapkan di seluruh segmen fintech.

 

“Kami melihat fintech beda dengan lembaga keuangan (konvensional). Bisnis model ini sangat bergantung pada inovasi dan lintas sektoral. Bahkan, kami melihat ada potensi P2P (peer to peer lending) bisa kerja sama dengan pembayaran digital, bahkan bank. Ini perlu pendekatan khusus,” lanjutnya.

 

Andrian juga menyambut baik tawaran dari OJK yang memberi keleluasaan bagi pelaku usaha untuk menetapkan aturan main industri terutama menyangkut penetapan suku bunga. Sayangnya, dia belum bisa mentargetkan tenggat waktu penerbitan CoC yang menjadi pedoman bagi perusahaan fintech.

 

Meski menyerahkan penyusunan CoC kepada asosiasi, OJK menegaskan tetap melakukan koordinasi dengan pelaku usaha industri ini. OJK meminta dan mendorong seluruh pelaku usaha fintech memenuhi perizinan dan aturan main yang berlaku secara umum.    

Tags:

Berita Terkait