Aset Kripto Kena PPN, Begini Penjelasan DJP
Terbaru

Aset Kripto Kena PPN, Begini Penjelasan DJP

Berdasarkan aturan Bappebti, kripto dikategorikan sebagai komoditas sehingga masuk ke dalam Barang Kena Pajak tidak berwujud.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pemerintah tidak hanya menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nila (PPN), tetapi juga melakukan penyesuaian terhadap sektor-sektor yang sebelumnya tidak diatur dalam UU PPN. Salah satu sektor yang kini wajib membayar PPN adalah aset kripto. Pengenaan PPN terhadap aset kripto diatur dalam PMK Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) tegas menyampaikan bahwa seluruh bentuk aset kripto tidak diakui sebagai alat tukar. Lalu bagaimana DJP melakukan pemajakan terhadap aset kripto?

Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bonarsius Sipayung menjelaskan latar belakang dibalik pengenaan PPN aset kripto.  Menurut penjelasan Bonarsius, DJP melakukan pengujian terhadap cryptocurrency sebelum memberlakukan PPN. Kripto memang tidak berfungsi sebagai alat tukar ataupun dokumen berharga. Namun berdasarkan aturan Bappebti kripto dikategorikan sebagai komoditas sehingga masuk ke dalam Barang Kena Pajak tidak berwujud.

Baca:

Dalam konteks perdagangan, lanjut Bonarsius, kripto memiliki kekhususan tersendiri dimana penjual dan pembeli tidak terlihat layaknya perdagangan biasa. Hal ini membuat mekanisme pengenaan PPN terjadi pergeseran. Sehingga tarif PPN yang berlaku didasarkan pada pergerakan aset meskipun jual beli terjadi secara anonim.

Titik terutang PPN pada aset kripto berlaku ketika pergerakan aset terjadi dari satu akun ke akun lain entah dalam bentuk jual beli secara cash atau utang. Pengenaan PPN sekaligus akan dimasukkan ke dalam biaya transaksi atas perpindahan aset dengan besaran tarif 0,11 persen untuk yang terdaftar di Bappebti dan 0,22 persen untuk yang tidak terdaftar di Bappebti. Penarikan tarif PPN akan dilakukan oleh marketplace selaku pihak yang memfasilitasi komoditas tersebut.

“Dalam konteks kripto, ini dunia digital maka kita harus perhatikan kalau pakai mekanisme normal tidak akan bisa dipajakan karena tidak ketahuan transaksinya. Tetapi ada wujud transaksi dalam market itu. Di Bappebti itu ada 12 sampai 13 yang terdaftar sebagai pihak yang memfasilitasi komoditas kripto. Yang dilihat itu pergerakan asetnya” kata Bonarsius, Rabu (6/4).

Selain itu PPN pada aset kripto juga berlaku untuk transaksi tukar menukar. Saat terjadi tukar menukar aset kripto di market, maka PPN berlaku untuk kedua belah pihak. Bonarsius menegaskan bahwa pengenaan PPN tersebut tidak dilakukan dua kali, namun konsep PPN berlaku untuk tiap penyerahan barang dimana proses tukar menukar terjadi dua kali.

“Kalau tukar menukar sama dengan analogi barang biasa. Ketika saya jadi pengusaha jual mobil bekas atas mobil bekas yang saya jual kena PPN karena saya pengusaha, tapi kalau orang piribadi tidak, sebagai pengusaha jual mobil bekas wajib PPN. Lalu saya melakukan transaksi dengan pengusaha alroji mahal. Karena tidak ada uang cash, maka disepakati pembayaran mobil bekas dengan alroji. Ketika tukar menukar itu terjadi maka jadi kena PPN. Jadi di waktu yang sama saya sebagai penjual dan pembeli produk alroji, begitu juga pengusaha alroji. UU PPN mengatur seperti itu,” jelas Bonarsius.

Bonarsius menjelaskan pengenaan PPN atas aset kripto berlaku mulai 1 Mei mendatang. Selama masa transisi, DJP akan melakukan sosialisasi dan literasi kepada seluurh masyarakat dan tentunya para exchanger membutuhkan masa penyesuaian, termasuk untuk marketplace yang memfasilitasi jual beli aset kripto.

“Dalam konteks ini kami selalu komunikasi dalam satu bulan ini sekaligus menyiapkan infrastruktur dan komunikasi dengan pelaku pasar,” tandasnya.

Untuk diketahui PMK 68/2022 mengatur beberapa hal pokok terkait pengenaan PPN untuk aset kripto. Yakni penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) yang memfasilitasi transaksi perdagangan Aset Kripto (exchanger atau Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di BAPPEBTI dan penyelenggara jasa dompet elektronik Aset Kripto) ditetapkan sebagai pemungut PPN atas penyerahan Aset Kripto oleh penjual kepada pembeli.

PPN yang terutang atas perdagangan kripto dipungut dan disetor oleh PPMSE dengan besaran tertentu (Pasal 9A UU PPN) sebesar: 1) 1% dari tarif PPN atau 0,11% dikali dengan nilai transaksi Aset Kripto, dalam hal PPMSE merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK); 2) 2% dari tarif PPN atau 0,22% dikali dengan nilai transaksi Aset Kripto, dalam hal PPMSE bukan merupakan PFAK.

Jasa penyediaan sarana elektronik untuk memfasilitasi transaksi Aset Kripto (jasa exchange dan dompet elektronik) merupakan JKP dan dikenai mekanisme umum PPN, jasa mining aset kripto (verifikasi transaksi aset kripto) merupakan JKP yang dipungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 10% dari tarif PPN atau 1,1% dikali nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima penambang (miner).

fAtas penghasilan yang diterima atau diperoleh: 1) Penjual aset kripto dikenai PPh 22 final dengan tarif 0,1% dari nilai transaksi untuk PFAK; dan 0,2% dari nilai transaksi untuk selain PFAK. 2) Penambang aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1% dari nilai transaksi. 3) PPMSE atas penyelenggaraan perdagangan kripto dikenai PPh dengan tarif umum, atas transaksi aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1% dari nilai transaksi.

Tags:

Berita Terkait