Aset BUMN Bagian Kekayaan Negara
Berita

Aset BUMN Bagian Kekayaan Negara

Tetap mempertimbangkan risiko bisnis.

FNH
Bacaan 2 Menit
Aset BUMN Bagian Kekayaan Negara
Hukumonline

Perdebatan tentang UU Keuangan Negara yang menyatakan aset BUMN menjadi bagian dari kekayaan negara masih terus bergulir. Diskusi-diskusi terkait UU Keuangan Negara pun kerap dilakukan guna mencari kejelasan unsur kekayaan Negara dalam UU Keuangan Negara. Saat ini Mahkamah Konstitusi pun sedang menyidangkan permohonan judicial reviewUU Keuangan Negara.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Erik Satria Wardana memandang pengajuan judicial review atas UU Keuangan Negara tersebut sah-sah saja dilakukan. Namun, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai ketika judicial review ini diajukan ke MK.

Dalam rapat koordinasi bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Komplek Senayan Jakarta, Selasa (3/9), Erik mengatakan, BPK menemukan kesalahan aturan dalam proses pengajuan uji materi tersebut. Salah satu pihak yang mengajukan judicial review adalah Kepala Biro Hukum salah satu perusahaan BUMN.

“Itu salah, karena dia menjadi bagian dari pemerintah, bersama-sama membahas dengan DPR soal UU, jadi tidak boleh pembuat UU mengajukan judicial review. Itu harus ditindak,” kata Erik.

Terkait wacana pemisahan aset BUMN dari kekayaan negara, Erik menilai hal tersebut tidak tepat. Ia mengatakan, aset BUMN adalah aset negara, terutama perusahaan yang seluruh modalnya seratus persen berasal dari negara melalui mekanisme Penyertaan Modal Negara (PNM).

Ia khawatiran, jika MK mengabulkan judicial review  atas UU Keuangan Negara, maka BPK tidak memiliki akses untuk melakukan audit terhadap perusahaan BUMN. Erik menegaskan, perusahaan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagaimana perusahaan swasta.

Frasa ‘kekayaan negara’ yang dipisahkan, menurut Erik, tidak bisa dimaknai terlepas sama sekali. “Aset BUMN ya aset negara, baik itu ketika baru diberikan PNM maupun setelah berkembang, ya aset BUMN itu aset Negara,” jelasnya.

Disamping itu, Erik mengakui ada dispute antara UU BUMN dan UU Keuangan Negara. Dispute yang dimaksud adanya multitafsir menyoal kekayaan negara pada UU BUMN dan UU Keuangan Negara. Tetapi ia menegaskan, revisi UU Keuangan Negara tersebut tidak dalam rangka untuk melepaslan BUMN sebagai aset negara.

Mungkin saja ada penafsiranj berbeda terhadap ancaman kriminalisasi dalam UU Keuangan Negara. Menurut Erik, penilaian kriminalisasi hanya berlaku jika direksi melakukan tindak kriminal seperti penggelapan uang negara atau korupsi.

Selain itu, kerugian negara dalam UU Keuangan Negara masih mempertimbangkan risiko bisnis. Sebagai perusahaan yang mejalakan misi negara, risiko bisnis yang dilakukan oleh direksi BUMN menjadi risiko negara, yang kerugiannya akan ditutupi oleh Negara.

“Jadi, dalam menjalankan misi Negara ternyata hasilnya tidak untung, itu nanti akan ditutupi negara. Kecuali kerugian tersebut disebabkan oleh kesengajaan atau korupsi,” imbuhnya.

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum UI (FHUI) Erman Radjagukguk mengatakan bahwa kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah menjadi bagian dari kekayaan negara. Pasalnya, ‘kekayaan negara yang dipisahkan’ di dalam BUMN hanya berbentuk saham. Artinya, kekayaan BUMN tidak menjadi kekayaan negara.

Mantan Kepala Pusat Penyelidikan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein berpendapat konsep kekayaan negara pada tiap regulasi yang mengikat BUMN tidak saling sinkron. Akibatnya, ada perbedaan tafsir dari masing-masing pihak yang berkepentingan. "Pengaturannya saja sudah beda tiap regulasi, dan itu harus segera diperbaiki," kata Yunus.

Untuk itu diperlukan beberapa regulasi perlu diperbaiki agar tidak ada kesalahan pengaturan. Tidak hanya UU Keuangan Negara saja, tetapi juga UU Pemberantasan Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara.

Tags: