Aseng Ragu Status Indonesia Negara Hukum
Edisi Akhir Tahun 2011:

Aseng Ragu Status Indonesia Negara Hukum

Kegigihannya diganjar Tasrif Award.

ASh
Bacaan 2 Menit
Khoe Seng Seng, potret seorang pencari keadilan yang tak kenal lelah memperjuangkan haknya. Foto: SGP
Khoe Seng Seng, potret seorang pencari keadilan yang tak kenal lelah memperjuangkan haknya. Foto: SGP

Awalnya, Khoe Seng Seng hanyalah seorang penjual suvenir. Sehari-hari, Aseng, sapaan akrabnya, hanya berurusan dengan berbagai macam bentuk suvenir yang biasanya dipesan untuk acara pernikahan. Tetapi, sejak dua surat pembaca dia kirimkan ke dua harian nasional, sekira enam tahun silam, jalan hidup Aseng berubah drastis. Selain suvenir, kini Aseng ‘terpaksa’ berurusan dengan dunia hukum.

 

Kisah Aseng ‘kecebur’ ke dunia hukum sebenarnya bermula dari rasa kesal. Pria berusia 46 tahun itu kesal karena merasa dibohongi oleh PT Duta Pertiwi, perusahaan pengembang ITC Mangga Dua, tempat dimana Aseng membuka toko suvenir. Aseng menuding Duta Pertiwi berbohong soal status tanah ITC Mangga Dua kepada para pembeli, termasuk dirinya. Begitu kekesalannya memuncak, Aseng pun menulis surat pembaca.

 

Diberi judul “PT Duta Pertiwi Telah Berbohong Selama 18 Tahun”, surat pembaca Aseng tayang di dua harian nasional. Di Harian Kompas pada 26 Semptember 2006, dan Harian Suara Pembaruan pada 21 November 2006. Selaku pengembang, Duta Pertiwi dinilai tidak transparan dalam menginformasikan status hak atas tanah ITC Mangga Dua.

 

Awalnya, respon Duta Pertiwi hanya membalas surat pembaca Aseng dengan surat pembaca juga yang tayang di Kompas pada 4 Oktober 2006. Isinya, Duta Pertiwi membantah melakukan kebohongan. Tetapi, balasan surat pembaca ternyata dirasa tidak cukup. Aseng dilaporkan polisi oleh Duta Pertiwi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tidak hanya pidana, Duta Pertiwi juga menempuh jalur perdata, Khoe Seng Seng dituding melakukan perbuatan melawan hukum.  

 

Imbas dari langkah hukum Duta Pertiwi, Aseng mulai akrab dengan segala hal terkait proses hukum. Mulai dari memenuhi pemanggilan penyidik, menjalani pemeriksaan, berstatus tersangka dan terdakwa, hingga menjalani persidangan. Aseng sebenarnya tidak sendiri, saat bersamaan, Duta Pertiwi juga memperkarakan beberapa penghuni Harco Mangga Dua lainnya. Seperti halnya Aseng, beberapa penghuni juga mempersoalkan hal yang sama.

 

Di jalur perdata, Aseng kalah. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan surat pembaca Aseng melanggar hak subjektif serta dianggap menyerang kehormatan dan nama baik Duta Pertiwi. Makanya, Aseng dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp1 milyar.

 

Di jalur pidana, Aseng juga dinyatakan bersalah melakukan pencemaran nama baik. Dia dihukum enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kedua kasus ini kini tengah berproses di tingkat kasasi.

 

Kontras, upaya hukum yang ditempuh Aseng tidak ada yang berbuah manis. Gugatan perdata kandas hingga tingkat banding. Sementara, laporan pidana Aseng dihentikan di tingkat penyidikan alias SP3.

 

Kilas balik atas apa yang telah dialaminya, Aseng menilai putusan pengadilan terhadap dirinya dibuat dengan alas kekuasaan, bukan hukum. “Hukum hanya diperuntukkan bagi orang yang tak memiliki kekuasaan,” tuturnya kepada hukumonline.

 

Dari pengalamannya, Aseng mengaku menjadi sangsi akan status Indonesia sebagai negara hukum. “Makanya, saya bilang negara ini adalah negara kekuasaan, bukan negara hukum karena hukum bisa diperjualbelikan,” ujar Aseng mengkritik.

 

Aseng menyiratkan sudah frustasi terhadap penegakan hukum di negeri ini. Dia mengaku sudah kemana-mana untuk mengais keadilan atas kasus yang dialaminya itu. Namun, tak satupun membuahkan hasil. Padahal, Aseng mengklaim memiliki bukti yang cukup.

 

“Saya sudah melaporkan dugaan adanya mafia hukum ke semua instansi, seperti ke Mabes Polri, Satgas Pemberantas Mafia Hukum, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Kompolnas, Ombudsman, dan Komisi III DPR, tetapi tidak satu instansi pun yang mau menindaklanjuti laporan saya ini,” keluh pria kelahiran 27 Januari 1965 ini.

 

Meski belum menuai hasil positif, tetapi kegigihan Khoe Seng Seng bukannya hampa apresiasi. LBH Pers menyebut Khoe Seng Seng adalah potret seorang pencari keadilan yang tanpa kenal lelah memperjuangkan haknya. LBH Pers adalah LSM yang setia mendampingi Aseng ketika menjalani proses hukum perdata maupun pidana.

 

“Hingga kini dia (Khoe Seng Seng) tidak mau menyerah atas sikap kesewenang-wenangan PT Duta Pertiwi, dia merasa apa yang dialami adalah fakta yang merugikan dirinya dan mewakili ribuan konsumen, keberanian Aseng patut diapresiasi karena praktis dia berjuang sendiri agar keadilan bisa benar-benar ditegakkan di negeri ini,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana.

 

Menurut Hendrayana, perjuangan layak dijadikan inspirasi bagi masyarakat yang mengalami perlakuan tidak adil atau sewenang-wenang dari pihak yang memiliki kekuasaan. “Kita berharap kasus Khoe Seng Seng bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain untuk berani melawan ketika kepentingan atau rasa keadilannya terusik oleh pihak yang memiliki kekuasaan yang bertindak semena-mena,” katanya.

 

Tidak hanya dari LBH Pers, Aseng juga mendapat apresiasi berupa penghargaan Tasrif Award pada tahun 2009. Aseng dianggap layak mendapat penghargaan karena telah berjasa memperjuangkan kebebasan berpendapat dan hak-hak konsumen melalui surat pembaca. Menurut Dewan Juri Tasrif Award, Aseng bukan hanya membela dirinya sendiri, tapi juga membela hak-hak puluhan konsumen lain.

 

Anugerah Tasrif Award merupakan penghargaan tahunan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Penghargaan ini sebagai penghormatan terhadap Suardi Tasrif, jurnalis-cum- lawyer, Bapak Kode Etik Jurnalistik Indonesia, yang aktif membela kebebasan berpendapat dan memerangi korupsi.

Tags:

Berita Terkait