Asas praduga tak bersalah atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan presumption of innocence merupakan istilah yang tidak asing dalam dunia hukum. Namun, meski cukup sering didengar, faktanya masih banyak miskonsepsi dalam mengartikannya. Asas praduga tak bersalah bukan serta-merta berarti menganggap orang “tidak bersalah”.
Seputar Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah merupakan milik dunia atau diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan di berbagai negara, hal ini sebagaimana diterangkan Prof. Oemar Seno Adji (dalam Ekoputro, 1985:7).
Beberapa contoh asas praduga tak bersalah dalam implementasinya dapat ditemukan dalam Deklarasi PBB 1984 Universal Declaration of Human Rights, European Convention on Human Rights 1960, dan International Covenant on Civil and Political Rights 1966.
Baca juga:
- Cerminan KUHP Baru Kita
- Masalah Terjemahan KUHP dan Risalah Pembahasannya
- 2 Alasan Anggota Fraksi PKS Bakal Uji Materi KUHP Baru
Sejarah Praduga Tak Bersalah
Kehadiran asas praduga tak bersalah diprediksi muncul pada abad ke-XI dan lahir karena adanya ideologi individualistik-liberalistik. Dalam sistem Common Law, asas praduga tak bersalah merupakan syarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah dilaksanakan secara jujur, adil, dan tidak memihak.
Kemudian, sebagaimana disarikan dari Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik, Romli Atmasasmita menerangkan bahwa asas praduga tak bersalah adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari prinsip due process of law.
Terkait due process sendiri, diterangkan Friedman (dalam Atmasasmita, 2009) bahwa prinsip ini telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lalu dan telah melembaga pula dalam kehidupan sosial saat ini.