Asas Persiapan Tindak Pidana dalam KUHP Baru, Antara Ancaman dan Potensi Terobosan
Terbaru

Asas Persiapan Tindak Pidana dalam KUHP Baru, Antara Ancaman dan Potensi Terobosan

Untuk mencegah agar asas baru ini tidak dijadikan alat kriminalisasi, harus ada pembatasan pada penerapannya, yang menurut Pasal 15 ayat (2) KUHP Baru hanya diterapkan pada pasal-pasal tertentu, yang secara tegas menyatakan dalam bentuk persiapan delik tersebut dapat dipidana.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Dia juga mencontohkan beberapa delik yang tegas-tegas mengatur persiapan antara lain: persiapan tindak pidana makar (Pasal 196 KUHP); persiapan tindak pidana sabotase atau perang (Pasal 216 KUHP); persiapan tindak pidana makar terhadap negara sahabat (Pasal 223 KUHP); dan persiapan tindak pidana mengakibatkan kebakaran, ledakan dan banjir (Pasal 309 KUHP).

“Delik-delik tersebut secara natural dianggap delik-delik kejahatan berat karena dampaknya tidak hanya merugikan individu atau kelompok tertentu namun menyasar stabilitas negara atau orang banyak,” kata Yoshito dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Forum Kajian Dunia Peradilan (FKDP), Sabtu (13/7).

Sedangkan mengenai hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku persiapan paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan (Pasal 15 ayat (3)). Sedangkan persiapan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (Pasal 15 ayat (4)). Untuk delik yang diancam dengan pidana tambahan maka tidak ada pengurangan atau reduksi.

Sementara itu salah satu peserta FGD Hakim PN Larantuka, Bagus Sujatmiko, menyampaikan mengenai potensi berbahaya yang mungkin timbul dalam penerapan asas baru ini seperti kasus “Pegi Setiawan” yang diciduk tanpa dasar yang solid. Dia menilai hal ini terjadi karena delik persiapan umumnya terjadi pada ranah “dugaan” pihak kepolisian.

“Celah asumsi sangat besar digunakan sebagai dasar utama menjerat seorang pelaku dengan delik persiapan ini, sehingga perubahan KUHAP sebagai pedoman pembuktian tindak pidana juga harus disesuaikan,” ucap Bagus.

Pendapat sama juga dikemukakan oleh peserta lain yakni Catur Alfath menekankan pentingnya membedakan “konspirasi dan persiapan”. Ia menganjurkan pendekatan yang lebih ilmiah dalam penyelidikan delik persiapan, terutama dalam kasus yang minim saksi, untuk menghindari penegakan hukum yang eksesif.

Pada akhir FGD, Yoshito menekankan penting bagi para penegak hukum terutama para hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum untuk memahami ketentuan baru mengenai delik persiapan ini. Sebab, sebagai hukum yang berbicara atau bersabda, hakim memiliki kewenangan untuk membentuk hukum dalam suatu perkara yang konkret. Ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan harus ditafsirkan menurut maksud yang memenuhi rasa keadilan.

Dia juga berpesan agar setiap penegak hukum, khususnya kepada hakim, hendaknya berhati-hati dalam menggunakan kewenangan yang ada di setiap penanganan perkara. Sebab, hukum pidana adalah hukum yang sangat menyengsarakan, sehingga penggunaannya haruslah ekstra hati-hati.

Selain itu, dia merekomendasikan pedoman tertentu dalam mengukur persiapan tindak pidana (dalam skala 1-10), sehingga penentuan suatu tindakan awal sebagai persiapan tindak pidana bukanlah sesuatu yang bias dan hanya merupakan tuduhan belaka.

Tags:

Berita Terkait