Asas perkawinan dalam Islam terdiri atas 7 asas, yakni asas personalitas keislaman, asas kesukarelaan, asas persetujuan kedua belah pihak, asas kebebasan mencari pasangan, asas kemitraan suami istri, asas monogami terbuka, dan asas untuk selama-lamanya. Berikut penjelasan ketujuh asas perkawinan dalam hukum Islam selengkapnya.
- Asas Personalitas Keislaman
Yahya Harahap dalam Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama menerangkan bahwa asas personalitas keislaman adalah dasar pemberlakuan hukum Islam terhadap orang yang beragama Islam.
Lebih lanjut, asas ini adalah asas utama yang melekat pada Undang-Undang Peradilan Agama yang mempunyai makna bahwa pihak yang tunduk dan dapat ditundukkan hanyalah mereka yang beragama Islam.
Baca juga:
- Menyoal Substansi UU Perkawinan yang Tergerus oleh Zaman
- Palu Hakim yang Menyelamatkan Hak Perdata Anak Luar Kawin
- Mengenal 7 Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Asas Kesukarelaan
M Daud Ali dalam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia memaparkan bahwa asas kesukarelaan sangatlah penting dan tidak sebatas hanya pada calon mempelai saja. Kesukarelaan orang tua kedua belah pihak juga penting untuk diperhatikan. Pasalnya, kesukarelaan wali adalah unsur esensial yang kehadirannya merupakan salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi.
- Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak
Terkait asas persetujuan kedua belah pihak, Khotibul Umam dalam Prinsip-Prinsip Dasar dan Asas-Asas Hukum Islam menyatakan bahwa dalam Islam, perkawinan tidak boleh dilakukan dengan keterpaksaan. Adanya persetujuan kedua belah pihak merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Jika asas ini tidak dipenuhi, UU Perkawinan memberikan jalan keluar yang didapat dilakukan, yakni opsi membatalkan perkawinan yang nantinya akan diputus oleh pengadilan agama.
- Asas Kebebasan Mencari Pasangan
Mengutip Khotibul Umam, asas kebebasan memilih atau kebebasan mencari pasangan berasal dari sunnah nabi yang diceritakan oleh Ibnu Abbas. Suatu hari, ada seorang gadis yang hendak dinikahkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Gadis bernama Jariyah ini kemudian mengadu kepada nabi, dan berdasarkan aduannya nabi menegaskan bahwa dirinya boleh memilih untuk meneruskan perkawinannya, atau justru membatalkannya. Dalam hukum positif Indonesia, Penjelasan Pasal 6 UU Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan harus dilangsungkan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.