Asas Keadilan dalam PHK Massal secara Virtual
Kolom

Asas Keadilan dalam PHK Massal secara Virtual

PHK secara virtual bukan menjadi suatu mekanisme PHK yang praktis, tetapi harus dijadikan sebagai suatu mekanisme alternatif dalam suatu kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan secara tatap muka.

Bacaan 5 Menit
Erri Tjakradirana. Foto: Istimewa
Erri Tjakradirana. Foto: Istimewa

Keadaan pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan kehidupan, termasuk dalam hal ketenagakerjaan. Interaksi dalam dunia kerja menjadi terpaksa dilakukan secara virtual dan mengurangi tatap muka demi memutus rantai penyebaran Covid-19. Cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun dapat terpengaruh dengan keadaan yang serba terbatas tersebut yang lebih banyak menggunakan komunikasi melalui teknologi atau platform-platform virtual. Tulisan ini membahas sekelumit mengenai penerapan PHK massal yang dilakukan secara virtual berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari teori keadilan Hans Kelsen.

Teori Keadilan dari Hans Kelsen mendasari bahwa aspek keadilan terletak pada pelaksanaan hukum. Teori keadilan menurut Hans Kelsen yang dikutip dari I Dewa Gede Atmadja, nilai keadilan bersifat subjektif, sedangkan eksistensi dari nilai-nilai hukum dikondisikan oleh fakta-fakta yang dapat diuji secara obyektif.

Keadilan yang dimaknai sebagai legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Penilaian suatu hukum itu adil atau tidak, disandarkan kepada norma hukum yang valid yang ditetapkan oleh suatu tata hukum. Dengan demikian keadilan berarti mempertahankan tata hukum secara sadar dalam pelaksanaannya, inilah keadilan berdasarkan hukum.

Dalam dunia ketenagakerjaan, pemberitaan mengenai PHK massal seringkali mengagetkan, terlebih bilamana dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada awal bulan Desember 2021, beredar berita tentang sebuah perusahaan Amerika, Better.com yang memecat 900 karyawannya melalui satu panggilan zoom saja. Pemecatan yang dilakukan oleh CEO-nya sendiri, Vishal Garg terhadap 15% karyawan Better.com. Adapun alasan pemecatan menurut Garg adalah karena kinerja dan produktivitas staf, serta perubahan pasar yang membuat keputusan tersebut diambil. Kejadian yang dialami oleh para karyawan perusahaan Amerika, Better.com, pada akhirnya terjadi di Indonesia.

Baca juga:

Sebuah media baru-baru ini melakukan pemberitahuan proses PHK massal yang disebabkan adanya kerugian perusahaan dan diumumkan melalui zoom meeting pada 15 Maret 2022 lalu. Selanjutnya satu per satu karyawannya dipanggil oleh manajemen perusahaan guna disampaikan status kerjanya, serta diminta untuk menandatangani surat PHK yang dilakukan sejak 16 Maret sampai dengan 18 Maret 2022.

Tulisan ini tidak membahas substansi permasalahan atas kedua peristiwa tersebut di atas, melainkan mencoba menelaah sekelumit pada pelaksanaan PHK tersebut sebagai perwujudan dari asas keadilan hukum yang diusung dalam teori keadilan Hans Kelsen. Tentunya perbedaan pelaksanaan PHK di Amerika Serikat dan Indonesia terletak dari pengaturan dan penegakkan hukumnya yang berlaku di negara masing-masing. Perkembangan teknologi dan perubahan tatanan kehidupan dalam dunia kerja membutuhkan penyesuaian juga di dalam penerapan hukum di dunia nyata agar pelaksanaan hukum yang berkeadilan tetap dijunjung dengan tinggi.

Pemerintah Indonesia pun sejak November 2020 telah mengeluarkan perubahan yang cukup besar bagi dunia usaha dengan lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang kemudian UU Cipta Kerja dimaksud wajib dilakukan perubahan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021.

Mengenai PHK diatur dalam UU Ketenagakerjaan (dan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan), yakni di dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 160, baik dalam pasal yang tidak diubah (tetap), diubah, disisipkan (penambahan) dan penghapusan beberapa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Adapun selain beberapa alasan PHK yang telah mengalami pengubahan, juga adanya perbedaan besaran hak finasial bagi karyawan yang terkena PHK dan adanya mekanisme baru terkait proses PHK, yakni dengan adanya surat pemberitahuan oleh pengusaha kepada karyawan atau serikat pekerjanya.

Bilamana karyawan menolak PHK, maka selanjutnya karyawan tersebut wajib membuat surat penolakannya yang kemudian proses PHK dilakukan melalui perundingan bipartit antara Para Pihak. Penyelesaian melalui tripartit, bahkan pengadilan hubungan industrial (atau Kasasi melalui Mahkamah Agung) tetap dimungkinkan bilamana tidak tercapainya kesepakatan dalam bentuk Perjanjian Bersama antara Pengusaha dan karyawan pada perundingan bipartit dimaksud.

Sekarang bagaimana pemberitahuan PHK melalui aplikasi zoom sebagaimana contoh peristiwa di atas? Apakah dibenarkan secara hukum? Apakah tercapai nilai keadilan bagi para karyawan yang terkena PHK dengan pemberitahuan dimaksud? Apakah pelaksanaan PHK ke depannya lebih mengutamakan menggunakan teknologi mengikuti perkembangan zaman yang saat ini telah beralih ke 5.0. industry? Penulis akan membahas PHK yang dilakukan atas inisiatif dari pengusaha sebagai pemberi kerja karena alasan-alasan tertentu yang dilakukan secara virtual a quo ditinjau dari asas keadilan.

Hukum ketenagakerjaan Indonesia mensyaratkan adanya surat pemberitahuan, yang artinya dibuat secara tertulis terkait pemberitahuan PHK. Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, apakah surat pemberitahuan tersebut dapat diberikan melalui IT system yang dimiliki oleh suatu Perusahaan yang sebelumnya telah dibuat dalam suatu template.

Karyawan yang memegang jabatan Human Capital atau Industrial Relations dalam melakukan proses PHK, tinggal mengisi template dimaksud dan dikirimkan melalui IT system kepada karyawan atau serikat pekerja. Karyawan atau pengurus serikat pekerja kemudian mengklik tombol pada layar komputer atau telepon selulernya terkait diterimanya surat tersebut, bahkan misalnya disediakan tombol mengenai menerima atau menolak atas isi/substansi surat pemberitahuan PHK tersebut. Yang kesemua surat non fisik tersebut selanjutnya dapat dicetak sehingga menghasilkan dokumen fisik yang selanjutnya akan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan sebagaimana surat Dirjen PHI dan Jamsostek yang ditujukan kepada Kadis Naker seluruh Indonesia, No.: 4/303/HI.00.03./III/2022, perihal Dokumen Pemberitahuan dan Laporan Pemutusan Hubungan Kerja, tertanggal 11 Maret 2022.

Ke depannya bukan tidak mungkin paparan yang disampaikan Penulis di atas terjadi, yakni pemberitahuan PHK melalui digital teknologi. Sekarang bagaimana bila pemberitahuan PHK dilakukan melalui zoom? Menurut Penulis bila hanya dilakukan pemberitahuan PHK, bahkan mem-PHK melalui zoom saja, tentunya hal ini bertentangan dengan yang telah diamanatkan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian bilamana pemberitahuan melalui zoom, hanya sebagai suatu proses awal dari pengumuman yang kemudian dilanjutkan dengan proses pemberitahuan tertulis, maka hal demikian tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih bilamana zoom meeting yang dilakukan melalui proses LKS Bipartit yang terbentuk dalam Perusahaan, serta dalam masa pandemi Covid-19, sehingga tidak memungkinkan diadakan pertemuan dengan tatap muka.

Makna keadilan bila merujuk pada teori Hans Kelsen, maka adil bilamana suatu aturan diterapkan pada semua kasus, hal mana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus, tetapi tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan menurut Hans Kelsen adalah legalitas, sehingga tolok ukur hukum yang adil adalah sah menurut hukum.

Oleh karenanya, Pemerintah pada gilirannya, baik sebagai pembuat kebijakan berupa peraturan perundang-undangan maupun bagian dari stakeholder dalam hubungan industrial, wajib mengikuti perkembangan hukum yang demikian, yakni perkembangan hukum yang beralih ke dunia teknologi digital. Hal ini tentunya untuk memastikan suatu penerapan yang sama dalam suatu perusahaan terkait PHK dan sebagai suatu referensi yang dijadikan acuan oleh siapa saja yang memegang jabatan atau pada posisi berwenang untuk melakukan PHK tersebut.

Selain hal-hal tersebut di atas, tentunya perlu dijabarkan terlebih lanjut ketentuan mengenai PHK melalui teknologi digital dalam kaidah otonom di Perusahaan tersebut, baik dari sisi Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Sehingga asas keadilan yang melandasi pada penerapan yang sama pada setiap kasus yang sama pun dapat dilaksanakan dalam koridor hukum yang sudah disepakati.

Selain hal tersebut, juga merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para karyawan pada saat mereka terkena PHK. Pada gilirannya kaidah otonom inilah yang nantinya akan menjadi kepastian hukum, baik bagi karyawan maupun pengusaha untuk menjalankan segala hak dan kewajibannya.

PHK secara virtual bukan menjadi suatu mekanisme PHK yang praktis, tetapi harus dijadikan sebagai suatu mekanisme alternatif dalam suatu kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan secara tatap muka, serta tetap harus memperhatikan hak-hak dari pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

*)Erri Tjakradirana, S.H., adalah seorang advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait