Artidjo Alkostar di Mata Kolega
Utama

Artidjo Alkostar di Mata Kolega

Seorang hakim yang sederhana, tegas, adil, berintegritas tinggi, jiwanya hanya ada ‘hitam dan putih’, dan layak menjadi teladan bagi hakim lain.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar resmi pensiun pada 1 Juni 2018 karena sudah memasuki usia 70 tahun. Sejak Jum’at (18/5) kemarin merupakan hari terakhir bagi pria kelahiran Situbondo 22 Mei 1948 ini menangani perkara di kamar pidana MA. Tentu, pensiunnya sang hakim yang dikenal jujur, tegas, sederhana, dan berintegritas ini meninggalkan kesan mendalam, rasa kehilangan bagi para koleganya. Lalu, bagaimana kesan para kolega terutama selama Artidjo menjadi hakim agung sejak tahun 2000.                

 

Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi menilai Artidjo memang layak diberi apresiasi atas kemampuannya melihat sebuah makna dan peristiwa hukum serta ruhnya pemberantasan korupsi. Karenanya, dia berharap purna tugasnya Artidjo menjadi hakim agung tidak membuat sirna dan berkurangnya semangat para hakim agung lain terkait komitmen pemberantasan korupsi.

 

“Semangat pemberantasan korupsi diharapkan tidak padam akibat purna tugasnya Artdijo,” kata Farid kepada Hukumonline. Baca Juga: KY Belum Bisa Jamin Calon Hakim Agung Ini Bakal Gantikan Artidjo

 

Dia menuturkan masih banyak hakim agung kamar pidana yang memiliki kemampuan dan komitmen yang sama terutama dalam penanganan perkara korupsi. Seperti, Hakim Agung Salman Luthan, Krisna Harahap, MS Lumme dan hakim agung kamar pidana lain. “Yang terpenting, public trust lembaga peradilan harus tetap hidup dan jadi contoh pengadilan di bawahnya,” harapnya.

 

Seperti tertuang dalam Buku Biografi berjudul Artidjo Alkostar: Titisan Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan (Ahmad Safitri. Jakarta : Penerbit MA, 2018) sejumlah kolega memberi testimoni terhadap sosok Artidjo. Diantaranya, Ketua MA Hatta Ali, Mantan Ketua MA Bagir Manan, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Jaksa Agung HM Prasetyo, Hakim Ad Hoc Tipikor MS Lumme, Krisna Harahap, dan Busyro Muqoddas.

 

Ketua MA M. Hatta Ali mengaku kenal Artidjo sejak tahun 2005 yang merupakan seniornya di MA. Hatta menilai Artidjo sosok yang sederhana dan bersahaja. “Sebagai pemimpin Ketua Kamar MA, Artidjo sangat disiplin, patuh dan selalu menuntaskan tugas-tugasnya dengan baik tanpa menunggu perintah atasan, sehingga meringankan tugas saya sebagai Ketua MA,” ungkap Hatta Ali sebagaimana tertuang dalam buku tersebut.

 

Bagi Hatta, Artidjo dikenal sebagai hakim berintegritas tinggi dan layak menjadi teladan bagi hakim lain. “Artidjo juga hakim yang tidak berhenti mengasah rasa keadilan. Dan sebagai pengajar, dia tidak berhenti menjadi pembelajar,” kata Hatta.

 

Mantan Ketua MA, Bagir Manan menilai Artidjo merupakan seorang sosok praktisi sekaligus akademisi (teoritis). Menurutnya, penggabungan dua keahlian ini modal sangat bagus untuk seorang hakim agung. Sebab, tidak semua hakim agung memiliki modal tersebut. Di mata Bagir yang menjadi Ketua MA saat Artidjo baru mengawali kariernya sebagai hakim agung, Artidjo dikenal baik dan serius dalam bekerja.

 

Bagir melihat Artidjo orangnya pendiam dan berbicara hanya seperlunya saja. Ketika duduk bersama, Artidjo lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. “Terkadang ia juga bisa tertawa terbahak-bahak, tergantung siapa yang mengajak bicara. Dan saya yang sering menganggu dia,” kata Bagir.

 

Saat masih menjadi hakim agung, Bagir mengaku sering berdiskusi dan berkomunikasi dengan Artidjo terutama menyangkut masalah hukum pidana. “Usia 70 Tahun bukan berarti tidak beraktivitas, saya berharap setelah purnabakti, Artidjo mau menghabiskan waktu di kampus dan memberi bantuan hukum secara sosial,” harap Bagir yang pensiun menjadi hakim agung pada 2008 lalu.

 

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan susah mencari sosok teladan seperti Artidjo Alkostar. Baginya, keberadaan sosok Artidjo membuat rasa kepercayaan publik kepada institusi MA semakin meningkat. “Putusan-putusan hukuman berat Artidjo bagi para koruptor memberi ‘kesejukan’ bagi masyarakat. Ia penegak hukum yang berkarakter,” sebutnya.

 

Laode yang sering berinteraksi saat menyusun Peraturan MA tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi mengungkapkan di kalangan para aktivis, Artidjo sosok yang ditokohkan lantaran keteguhan menjalani profesinya. “Dalam jiwanya hanya ada ‘hitam dan putih’. Artinya kalau benar ya benar, kalau salah ya salah. Artidjo tidak pernah menjadi orang yang abu-abu,” kesan Laode.

 

Jaksa Agung, HM Prasetyo mengaku tidak mengenal secara dekat sosok Artidjo. Namun, dirinya sering mendengar cerita sosok ketegasan dan kesederhanaan seorang Artidjo. “Artidjo itu kan kawan dekat mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Artidjo mungkin paling sederhana dibanding para hakim agung lain yang saya kenal,” kata Prasetyo.

 

Dia berharap setelah pensiun, Artidjo tetap konsisten dengan nilai kesederhanaan, pandangannya terhadap nilai keadilan, kebenaran, ketegasan yang menjadi ciri khasnya. “Selamat menikmati masa-masa bersama keluarga dengan penuh ketentraman dan kedamaian, tanpa terbebani tugas-tugas yang mungkin masih belum semua terselesaikan,” ujar Prasetyo memberi semangat.

 

Hakim Agung Ad Hoc Tipikor pada MA, MS Lumme mengenal Artidjo sejak dia menjadi calon hakim agung nonkarier pada tahun 2000. Keduanya, memang sering satu majelis dalam menangani perkara-perkara korupsi di MA. Pengalaman menarik Lumme dengan Artidjo saat memeriksa, mengadili dan memutus perkara mantan Presiden Soeharto. “Artidjo memerintahkan terdakwa Soeharto tetap diadili setelah sembuh dari penyakitnya,” kenang Lumme yang menggambarkan ketegasan seorang Artidjo.

 

Tak hanya itu, saat menangani perkara korupsi Djoko Chandra, Artidjo menyampaikan pendapat agar terdakwa dipidana penjara 20 tahun penjara. Hanya saja, dalam kasus ini, Artidjo kalah suara, yang akhirnya terdakwa diputus bebas.

 

“Artidjo tidak akan memberi toleransi bagi koruptor. Bila ada terdakwa mengajukan permohonan kasasi, lalu ketika dilihat di website MA bahwa ketua majelisnya Artidjo, mereka langsung mencabut permohonannya,” ungkapnya.

 

Memang Artidjo bersama MS Lumme dan Krisna Harahap, atau hakim agung lain dikenal kerap menangani kasus-kasus besar. Misalnya, perkara korupsi Bank Bali atau BLBI dengan terdakwa Djoko Tjandra; perkara korupsi mantan Presiden Soeharto; perkara kasus Bom Bali; kejahatan HAM di Timor-Timur dan Tanjung Priok; perkara Pollycarpus dengan kematian aktivis HAM Munir; perkara korupsi Jaksa Urip Tri Gunawan; perkara korupsi Anggodo Widjoyo dan Gayus Tambunan; perkara korupsi mantan Ketua MK Akil Mochtar;  perkara korupsi anggota DPR Angelina Sondakh; Anas Urbaningrum; kasus suap OC Kaligis, mantan Gubernur Banten Ratu Atut; kasus korupsi proyek e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Baca Juga: MA Perberat Vonis Irman-Sugiharto Jadi 15 Tahun Bui

 

Baginya, Artidjo adalah tokoh panutan di dunia peradilan. “Semoga beliau senantiasa mau menyumbangkan waktu, pikiran dan tenaganya demi penegakan hukum, mewujudkan kebenaran dan keadilan di Indonesia. Dan semoga Allah senantiasa melindungi, memberkahi dan menunjukkan jalan yang benar bagi Artidjo dan keluarganya dalam memasuki masa purnabakti,” ujarnya mendoakan.

 

Sahabat Artidjo sejak mahasiswa dan pernah sama-sama menjadi dosen di FH UII Yogyakarta, adalah Busyro Muqoddas. Dia menilai Artidjo seorang aktivis sosial. Aktivitasnya sebagai mahasiswa sejak dulu tak pernah lepas dari membaca buku. Berbagai macam buku mulai dari hukum, filsafat, budaya, hingga ideologi pernah ia baca. Alhasil, Artidjo menjelma menjadi mahasiswa kritis hingga layaknya disebut aktivis di zamannya.

 

“Putusan-putusannya bukan sekedar penerapan kata-kata dalam UU, melainkan melebihi kualitas kata-kata tersebut. Inilah yang bisa dilihat dari Artidjo, sosok aparat penegak hukum yang mempunyai karakteristik unik. Beruntung MA memiliki sosok Artidjo yang membentengi diri dari kegelimangan keduniawian,” tutur Busyro seperti diungkap dalam Buku Alkostar Sebuah Biografi (Puguh Windrawan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2018).

 

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo 22 Mei 1948 ini merupakan anak sulung dari pasangan Durrah dan Mikahib yang berdarah Sumenep Madura. Seperti dikutip buku Alkostar Sebuah Biografi itu, suami Sri Widyaningsih ini menghabiskan masa pendidikan SD, SMP hingga SMA di Asembagus, Situbondo.

 

Usai lulus SMA, Artidjo memutuskan “hijrah” ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sekitar tahun 1970-an. Sejak lulus FH UII Yogyakarta pada 1976, Artidjo mengawali kariernya sebagai dosen di UII Yogyakarta. Bahkan, Artidjo masih tercatat sebagai dosen di almaternya itu hingga saat ini.     

 

Selain ngedosen, alumnus magister hukum di Nortwestern University Chicago pada 2002 ini malang-melintang dalam dunia kepengacaraan dan advokasi. Artidjo tercatat pernah menjadi Direktur Sekolah Konsultan Hukum dan Advokat Profesional Indonesia Yogyakarta (SKHAPI), Anggota Dewan Kehormatan IKADIN Cabang Yogyakarta. Baca Juga: Artidjo Alkostar: Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor Diperketat

 

Lalu, pernah menjadi Staf Ahli Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII, Pendiri Lembaga Pembela Hukum (LPH) Yogyakarta dan LPH Madura, Staf Ahli LBH Yogyakarta. Direktur LBH Yogyakarta dari tahun 1989-1993. Kemudian, Pendiri Pusat Advokasi Hak Asasi Manusia (PAHAM) Yogyakarta, Direktur Pusat Studi HAM UII tahun 2000.

 

Awal tahun 2000-an, Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra pernah meminta Artidjo untuk mendaftar menjadi hakim agung. Sebelum menerima tawaran itu, Artidjo meminta restu kepada para kiai di Madura yang dihormati. Alhasil, Artidjo dinyatakan lulus dan resmi menjadi hakim agung. Lalu, alumnus doktor ilmu hukum FH Universitas Diponegoro (2007) ini dipercaya menjadi Ketua Muda Pidana Umum pada April tahun 2009 dan kemudian berubah nama menjadi Ketua Kamar Pidana MA hingga saat ini.  

Tags:

Berita Terkait