Artidjo Alkostar: “Tidak Ada Celah untuk Negosiasi”
Berita

Artidjo Alkostar: “Tidak Ada Celah untuk Negosiasi”

Berlatar belakang aktivis bantuan hukum dan akademisi, Artidjo Alkostar telah menorehkan sejarah penting dunia peradilan Indonesia. Kini, ia telah pensiun, dan meninggalkan Mahkamah Agung dengan terhormat.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Artidjo Alkostar
Artidjo Alkostar

Purnabakti Artidjo Alkostar sebagai hakim agung pada Mei lalu telah menarik perhatian publik. Selama 18 tahun, Artidjo menjalankan tugas sebagai hakim agung dengan segala dinamikanya. Pembawaannya yang cenderung pendiam, tak banyak bicara, tetapi berhasil menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi tugasnya dianggap cocok dengan karakter seorang hakim. Namun, putusan-putusan hakim agung kelahiran Situbondo 22 Mei 1948 itu ‘ditakuti’ mereka yang duduk di kursi terdakwa kasus korupsi.

 

Fakta membuktikan bahwa di tangan majelis hakim yang dipimpin Artidjo, hukuman seorang terdakwa bisa melejit naik, atau dari bebas menjadi dihukum. Sejumlah tokoh politik dan pemerintahan yang terseret kasus korupsi sudah merasakan sakitnya ketukan palu Artidjo. Tidak dapat dipungkiri, karakter putusan Artidjo yang demikian ikut memengaruhi terdakwa lain untuk berpikir ulang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Artidjo adalah sebuah fenomena sekaligus sebagai ikon pemberantasan korupsi di Mahkamah Agung.

 

Tentu saja, putusan-putusannya disanjung sekaligus dikritik. Tetapi kehadirannya selama belasan tahun di singgahsana hakim agung, terakhir sebagai Ketua Kamar Pidana, telah memberi warna tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia. Testimoni sejumlah kolega, sebagaimana tergambar dalam buku ‘Artidjo Alkostar, Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan’ (Mahkamah Agung, 2018), memperlihatkan rasa kehilangan mereka atas sosok Artidjo. Mereka menantikan Artidjo-Artidjo lain yang bisa membangun citra positif Mahkamah Agung di mata publik.

 

Beberapa hari lalu, sang ikon telah melampaui 70 tahun, batas usia pensiun seorang hakim agung di Indonesia. Hukumonline bersyukur mendapat kesempatan emas mewawancarai Direktur LBH Yogyakarta 1989-1993 itu langsung di Mahkamah Agung. Kepada dua jurnalis hukumonline, Aida Mardatillah dan Moh. Dani Pratama Huzaini, Artidjo menyampaikan beberapa pandangannya. Berikut petikannya:

 

Mengapa Anda begitu tegas memutus perkara kasasi korupsi?

Pertama, kalau kita berbeda dengan judex facti, biasanya di bawah itu memutus perkara korupsi itu kecenderungannya mengarah ke Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 itu kan ancamannya kan hanya 1 tahun. Masa korupsi sekian miliar hukumannya hanya 1 tahun. Untuk itu, ini adalah masalah yuridis. Masalah kekaburan batas antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 itu memperkaya diri sendiri merugikan keuangan negara. Pasal 3 itu menyalahgunaakan kewenangan, menguntungkan diri sendiri, dan merugikan keuangan negara. Pertanyaan pertama adalah perbedaan antara melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan. Apakah menyalahgunakan itu tidak melawan hukum? Tentu melawan hukum, meskipun itu tidak disebutkan. Kemudian yang kedua, pertanyaan  pokoknya, apa perbedaan memperkaya dan menguntungkan? Tinggal itu saja.

 

Di Kamar Pidana Mahkamah Agung ada kesepakatan kalau korupsinya 100 juta ke atas itu signifikan dikatakan memperkaya sehingga kalaupun pengadilan di bawah (judex facti) itu diterapkan Pasal 3 misalnya putusannya satu tahun, maka ketika masuk ke MA mesti diterapkan Pasal 2. Karena untuk mengarahkan ke Pasal 3 UU Tipikor, entah itu main mata atau tidak, kelihatan tidak rasional kecendurangan untuk itu. Misalnya orang ini adalh pejabat sehingga tidak dapat dikenakan Pasal 2. Itu banyak terjadi. Unsur setiap orang itu diusahakan untuk dialihkan ke Pasal 3 sehingga hukumannya dialihkan menjadi 1 tahun. Saya kira di MA akan diluruskan karena sudah ada kesepakatan Kamar.

 

Apakah ini hanya soal kuantifikasi, jika di atas 100 juta MA menganggap itu signifikan sehingga diterapkan Pasal 2 UU Tipikor?.

Iya karena itu yang dapat diukur. Yang lainnya kan perbedaannya tidak dapat diukur. Tindakan menguntungkan dan memperkaya kan harus ada parameternya.

 

Apakah putusan-putusan Anda dalam perkara korupsi sudah cukup memenuhi rasa keadilan masyarakat?

Tidak. Saya kira putusan pengadilan itu hanya sebagian dari upaya untuk memenuhi rasa keadilan yang begitu luas itu. Saya kira putusan pengadilan itu tidak akan pernah menjawab. Tapi itu adalah satu upaya untuk memberikan kontribusi dalam penegakan hukum pidana unsur atau roh dari suatu undang-undang itu bisa tercapai. Roh dari UU Anti Korupsi itu kan untuk sebanyak-banyaknya mengembalikan keuangan negara. Korupsi itu kejahatan luar biasa yang merampas hak-hak dasar rakyat. Untuk itu tujuan utamanya adalah mengembalikan keuangan negara itu. Sehingga dengan demikian sedapat mungkin uang negara itu harus kembali. Dan juga kalau saya sering menerapkan pencabutan hak politik ya supaya masyarakat itu tidak terkecoh mana orang yang layak untuk dipilih dan mana yang tidak layak. Biasanya di Kamar saya kalau putusan itu biasanya langsung diputus untuk ditahan.

 

Ada kasus, seorang tetangga Pak Lumme (MS Lumme—hakim Agung ad hoc Tipikor) anggota saya, dia orang Toraja tapi di Papua, melakukan korupsi di situ kena hukuman 4 tahun tapi tidak ada perintah ditahan. Kemungkinan ada main mata dengan jaksa. Kemudian dia pindah ke kampungnya mencalonkan lagi dan terpilih lagi. Ini artinya bahwa saya menerapkan hukum pidana antikorupsi ini dengan sangat ketat. Kalau di majelis saya mesti saya perintahkan untuk segera ditahan. Supaya ini tidak menjadi bahan perdebatan di jaksa ini mau ditahan apa tidak. Tidak ada celah untuk negosiasi.

 

Jika penegakan hukum antikorupsi adalah asset recovery. Bagaimana kalau ternyata aset terpidana tidak cukup signifikan? Bagaimana politik hukum antikorupsi di Indonesia mengatasinya?

Untuk pengembalian uang negara itu, saya kira KPK sendiri sudah melakukan studi banding terutama ke Belanda. Di situ asset recovery berjalan hampir mulus. Di kita ini masih macam-macam. Banyak kendala-kendala. Misalnya mobilnya kalau ditahan dan diletakkan di Rupbasan (Rumah Penyimpanan Barang Sitaan) nilainya menjadi turun. Banyak sekali kendala-kendala itu. Untuk itu saya kira studi banding ke negara-negara yang telah berhasil mengembalikan keuangan negara itu sangat penting. Karena itu banyak faktornya, baik penempatannya sendiri, maupun ketegasan apabila yang bersangkutan tidak memenuhi hukuman yang telah dijatuhkan. Di Mahkamah Agung sudah ada Perma yang kita buat misalnya orang yang mengembalikan sepertiga keuangan negara apa konsekuensinya? Itu yang perlu dipertegas.

 

Kalau begtu, apa masukan Anda untuk arah politik hukum pidana Indonesia ke depan?

Inti pokok hukum pidana itu kan sebetulnya menjaga martabat kemanusiaan. Tidak hanya pelaku tetapi juga rakyat Indonesia. Jadi harus dijalankan fungsi protektifnya. Setiap hukum itu kan mempunyai misi. Jadi untuk itu, politik hukum kriminal kita harus jelas. Sehingga dengan demikian misi yang diberikan kepada perangkat UU itu bisa tercapai.

 

Artidjo Alkostar dilahirkan di Situbondo, 22 Mei 1948. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1976, Artidjo langsung diberi amanah untuk menjadi staf pengajar di sana. Sembari mengabdikan diri di dunia kampus, suami Sri Widyaningsih ini mendedikasikan waktunya membantu warga pencari keadilan di LBH Yogyakarta. Bahkan ia memimpin lembaga ini selama periode 1989-1993. Setelah itu, ia menjalankan profesi advokat, sementara di kampus mendapat amanah mengemban jabatan Direktur Pusat Studi HAM, dan pernah menjadi Wakil Dekan. Pada tahun 2000, Artidjo terpilih sebagai hakim agung. Di sela-sela kegiatannya sebagai hakim agung, Artidjo berhasil menyelesaian studi di Northwestern University Chicago Amerika Serikat pada tahun 2000, dan tujuh tahun kemudian menyelesaikan program doktor ilmu hukum di Universitas Diponegoro, Semarang. Karyanya antara lain ‘Insan Kesepian dalam Keramaian, Telaah tentang Gelandangan di Ujung Pandang’ (1980), ‘Politik Hukum dalam Perspektif dalam Pembangunan Hukum Nasional (editor, 1986), Identitas Hukum Nasional (editor, 1997), Negara Tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan (2000), Human Right Court, Indonesia, and Civilization (2004), dan Korupsi Politik di Negara Modern (2008).

 

Apa yang melatarbelakangi karakter yang jujur, tegas, dan tak kenal kompromi dalam pemberantasan korupsi?

Yang jelas saya bekas orang LBH. Tentu itu mempengaruhi saya. Background pendidikan, saya orang UII. Secara kultur orang tua saya dari Madura meskipun saya di Situbondo. Itu kalau dikumpul itulah karakter saya. Sejak kecil saya sudah tahan banting. Tradisi gulat saya lakukan. Pencak silat saya lakukan.

 

Waktu (bertugas) di Timor-Timur, teman yang lain mudah frustrasi dan pulang, waktu itu saya satu-satunya muslim yang tidak pulang. Lalu ada pendeta yang tanya sama saya, Pak Artidjo, yang lain sudah pulang kok bapak bertahan? Saya bilang, agama saya Islam, surat al Mai’dah ayat 8 mengatakan tegakkan keadilan meskipun orangnya itu berbeda ideologi, berbeda pendapat dengan kamu. Saya katakan begitu. Sehingga dengan demikian pengalaman saya masa kecil saya terapkan di situ.

 

Tidak mempan diteror. Saya diancam pembunuhan misterius. Kalau di Yogyakarta dulu kan ada penembakan Gali. Banyak orang bertanya sama saya kenapa punya sikap yang demikian (tidak mempan diteror). Jadi saya kira pengalaman saya masa kecil dan di LBH yang menempa karakter saya sehingga saat tiba di MA pun itulah yang ada yang saya punya.

 

Waktu jadi pengacara, Anda membela hak klien, sementara di MA Anda harus memutus nasib orang. Bagaimana Anda melihat kedua profesi yang sekilas berbeda ini?

Saya kira kalau advokat yang baik, kalau sudah salah jangan minta dibebaskan. Tapi minta dihukum yang seadil-adilnya. Pernah saya membela klien di Gunungkidul, (kasusnya)  seorang paman diduga menyetubuhi keponakannya lalu dibunuh. Saya bilang kepada majelisnya, mohon kepada majelis yang mulia agar terdakwa dihukum seadil-adilnya. Saya tidak minta dibebaskan. Kalau saya minta dibebaskan, ya saya tidak enak tidur di rumah. Orang sudah salah kok minta dibebaskan. Jadi ada benang merah terkait antara advokat dan hakim, kalau itu dilihat dari perspektif penegakan keadilan. Dalam buku saya pernah saya tulis, ada seorang anak perempuan warga Tionghoa meminta supaya ibunya dihukum. Dilaporkan ke polisi. Langsung saya tolak. Perkara saudara ini tidak bisa saya bela. Anak tidak boleh menghukum orang tuanya. Apapun alasannya apalagi hanya alasan materi. Lalu saya paksa dia untuk sadar sehingga akhirnya dia menuruti saya. Kalau dilihat dari perspektif keadilan, hal ini saya kira tidak ada bedanya juga. Jadi advokat yang profesional itu intinya adalah tegaknya kebenaran dan keadilan.

 

Dari kasus itu, kesadaran hukum masyarakat mungkin meningkat tapi hukum seperti tercerabut dari akar sosialnya sehingga anak berani menggugat orang tua. Menurut Anda kasus semacam ini  terjadi karena apa?

Di atas hukum itu ada hukum. Apa itu? Akal sehat. Selain itu ada the golden rule (akal semesta). Jadi di atas hukum itu ada hukum. Hukum buatan manusia itu tidak akan mampu bertentangan dengan akal semesta, yang dalam bahasa agama namanya sunnatullah. Jadi dengan demikian hukum itu harus ditegakkan dengan akal sehat. Seperti yang saya katakan dalam buku saya bahwa nilai filosofis dari hukum pidana, hukum itu selalu bergerak. Keluar itu sentrifugal selalu berhubungan dengan sosial dan budaya. Kalau ke dalam kepada nilainya, Sentripetal. Nilai logis, nilai kebenaran, nilai keadilan, nilai harmoni sosial, nilai keindahan, selalu saja begitu. Jadi, hukum itu bernyawa. Sukmanya adalah keadilan. Siapa yang menggerakkan itu? Para penegak hukum, terutama para hakim. Sehingga kembali kepada hakim.

 

Sebelum hakim menentukan putusannya dalam hukum pidana, hakim harus menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan. ‘Terbukti secara sah’ itu, hubungan antara kebenaran, antara fakta satu dengan fakta yang lain saling berhubungan. Kedua ‘meyakinkan’. Keyakinan ini tidak bisa ditafsirkan seenak perutnya hakim, apapun seolah-olah hakim bisa menentukan. Saya kira tidak begitu. Menurut hemat saya, keyakinan itu ada tiga. Keyakinan yang pertama berdasarkan kebenaran yang diperoleh oleh panca indra. Sejak zaman Plato dulu, itu sudah jadi perdebatan filosofis bahwa kebenaran hakiki itu adalah kebenaran yang dilihat oleh panca indera. Keyakinan hakim itu harus diperoleh dari kebenaran yang diperoleh pancaindera. Realitas itu. Kedua, dalam filasafat hukum dikenal dengan filasafat realisme. keyakinan yang didapat dari realisme itu ada yang namanya ainul yaqin dalam agama. Filsafat idealism. Yang berhubungan dengan pengetahuan. Sejak zaman Plato diperdebatkan realita dalam dunia ini akan hancur. Yang tersisa hanya ide saja. Itu yang dikenal dengan ilmul yaqin. Ketiga, keyakinan yang muncul dari hati nuraninya, itu haqqul yaqin. Keyakinan hakim itu harus muncul dari situ. Jangan keyakinan hakim itu muncul karena ada sogokan.

 

Dengan demikian, hakim harus dapat mempertanggungjawabkannya putusan yang dia buat dalam suatu perkara. Putusan hakim itu harus akuntabel. Dapat dipertanggungjawabkan pertama kepada kebenaran ilmunya, kedua kepada institusinya, ketiga kepada stakeholders atau pemangku kepentingan; keempat, kepada hati nuraninya yang tidak bisa dibohongi; dan kelima kepada Yang Maha Tahu. Karena itu, di pengadilan kita ada irah-irah ‘Demi Keadlian Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

 

Ada persiapan khusus Anda saat hendak memutus kasus-kasus besar?

Saya tidak ada persiapan khusus. Biasa saja. Tentu sebagai muslim saya harus selalu yakin kepada Yang Maha Kuasa. Kalau kita berfikir jernih dengan hati yang bersih dan keihklasan, maka Allah akan selalu menjaga kita. Yang harus kita jaga adalah hati kita harus selalu tetap bersih sehingga jangan ada kotoran yang melekat. Misalnya ada orang yang mau menghubungi kita, kawan advokat mengajak makan dan macam-macamlah. Saya kira (ajakan itu) akan mengurangi kebeningan hati kita. Kalau hati kita bening, Allah akan memberikan petunjuk kepada kita karena perintah langit itu tidak pernah turun kepada hati yang kotor; turunnya selalu kepada hati yang bersih.

 

Saat menjadi akademisi, Anda menaruh perhatian pada pembangunan hukum nasional. Apa pandangan Anda tentang pembangunan hukum nasional?

Menurut hemat saya terkait pembangunan hukum nasional itu masih menjadi masalah besar. Misalnya kalau ada Undang-Undang bermasalah dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi karena relevansi sosialnya tidak ada atau ketinggalan zaman. Itu kan masalah watak atau karakter Undang-Undang. Jadi untuk membangun hukum nasional itu, harus dibangun asas-asanya dulu, prinsipnya. Apa saja sih? Misalnya kalau ada 20 prinsip, maka saat membuat hukum nasional harus merujuk kepada 20 prinsip itu sehingga ada sumbu nilai yang kesemuanya merujuk ke sana. Misalnya tentang keadilan, tentang toleransi, dan lain-lain. Harus prinsipnya dulu yang menurut hemat saya harus dibangun. Kalau sekarang ini, sistem pembangunan hukum nasional kita dikelola seperti supermarket. Setiap yang berkepentingan mengajukan ke DPR untuk dibahas. Lalu antara satu dengan yang lain tidak ada hubungannya, malah yang satu dengan yang lain saling bertentangan.

 

Menurut saya sejak zaman Belanda hingga saat ini, pembangunan hukum nasional belum mendapat perhatian sepenuhnya oleh negara. Ke depan saya kira perlu dibuatkan hukum nasional yang disiapkan asasnya dan itu menjadi tali sumbu nilai dari setiap hukum nasional. Kalau rohnya hukum nasional itu sama, tidak akan ada masalah. Setiap hukum itu punya ideologi, pilihan nilai. Misalnya, kalau ada UU Migas digugat ke Mahkamah Konstitusi, itu kan masalah ideologi hukumnya. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi hukum yang memuat kepentingan-kepentingan tertentu. (AID)

 

Berikut kutipan wawancara Catatan Najwa dengan Artidjo Alkostar yang dilansir Hukumonline

 

Part I

 

Part II

 

Part III

 

Tags:

Berita Terkait