Arsul Sani: Perppu KPK Opsi Terakhir
Berita

Arsul Sani: Perppu KPK Opsi Terakhir

Selain upaya legislative review dan judicial review. ICW menganggap jika pada akhirnya Perppu tidak diterbitkan, Presiden Jokowi dinilai secara tidak langsung membiarkan kejahatan korupsi semakin masif di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Di tengah desakan agar Presiden Jokowi segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), partai koalisi pendukung pemerintah di DPR seolah menghadang Presiden agar tidak menerbitkan Perppu. Bak si buah simalakama, alasan mereka agar Presiden tidak mudah mengobral terbitnya Perppu. 

 

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai Perppu bukan satu-satunya jalan hukum yang harus ditempuh Presiden untuk mengatasi polemik RUU KPK ini. Sebab, hingga kini Presiden belum menandatangani dan memberi nomor atas Perubahan UU KPK itu. “Kalau Perppu, tapi bentuknya seperti apa, kita belum tahu juga karena memang belum ada,” ujar Arsul di Kompleks Parlemen Jakarta, Senin (7/10/2019).

 

Menurutnya, terdapat dua pilihan hukum yang dapat ditempuh untuk mengakhiri polemik substansi RUU KPK yang dinilai melemahkan KPK. Pertama, legislative review, DPR bersama pemerintah kembali mengubah UU KPK hasil revisi yang ada. Kedua, judicial review yang saat ini sedang diuji di MK yang dimohonkan sejumlah mahasiswa.

 

Arsul enggan berspekulasi apakah Presiden bakal menerbitkan Perppu KPK atau tidak dan selanjutnya apakah DPR menyetujui atau tidak? “Kalau setuju atau tidak, itu sangat bergantung pada isi Perppunya. Tentu kami akan melihat isi Perppu terlebih dahulu. Kalau memang Perppu itu jadi pilihan hukum, tapi kan masih ada opsi lain yang bisa ditempuh?”

 

Menurut Arsul, Perppu KPK merupakan opsi (pilihan) terakhir dari kemungkinan pilihan yang ada seperti judicial review dan legislative review. Dia mengungkapkan partai politik Koalisi Indonesia Kerja dan parpol yang ada di parlemen telah menyampaikan bahwa Perppu merupakan opsi paling akhir.

 

"Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja dan yang ada di parlemen menyampaikan bahwa Perppu itu, kalau dalam bahasa yang simpel harus jadi opsi yang paling akhir, setelah semuanya dieksplor dengan baik tentunya," tegas Ketua Fraksi PPP ini.

 

Mantan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR periode 2014-2019 Supratman Andi Agtas menilai Perppu KPK hak subjektivitas Presiden, sehingga DPR atau fraksi partai tak boleh mengintervensi kewenangan ini. “Perihal syarat ‘ihwal kegentingan memaksa’ dalam menerbitkan Perppu KPK menjadi subjektivitas presiden,” kata Supratman.

 

Politisi Partai Gerindra itu juga enggan berandai-andai apakah Presiden bakal menerbitkan Perppu KPK atau sebaliknya. Namun yang terpenting, saran dia, pemerintah dan DPR perlu duduk bersama melakukan dialog bersama yakni membahas materi muatan/substansi dalam UU KPK hasil revisi yang perlu diperbaiki lagi.

 

“Ini (penerbitan Perppu) tidak bisa dihalangi, tapi paling penting, ada dialog antara presiden dengan DPR, itu penting,” sarannya. (Baca Juga: JK: Penerbitan Perppu KPK Tunjukkan Lemahnya Wibawa Pemerintah)

 

Syarat terpenuhi

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menegaskan terbitnya Perppu kewenangan konstitusional Presiden sesuai bunyi Pasal 22 UUD Tahun 1945 jika memenuhi syarat “hal ihwal kegentingan memaksa”. “Seharusnya tidak ada pihak-pihak yang menyebutkan penerbitan Perppu melanggar hukum, apalagi disertai dengan ancaman untuk memakzulkan Presiden,” ujar Kurnia di Jakarta, Senin (7/10/2019).

 

Dia mengingatkan penerbitan Perppu upaya mengatasi kebuntuan hukum pasca disahkannya UU KPK hasil revisi yang telah memenuhi syarat obyektif seperti tertuang dalam putusan MK No.138/PUU-VII/2009. Putusan MK itu mensyaratkan tiga hal. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

 

Kedua, belum adanya aturan yang dibutuhkan setingkat undang-undang, sehingga menyebabkan kekosongan hukum. Sekalipun terdapat UU, hal ini dipandang tidak memadai untuk mengatasi keadaan yang ada. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak mampu diatasi hanya dengan membuat UU dengan prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama.

 

“Keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin. Syarat penerbitkan Perppu KPK sudah terpenuhi,” kata dia.  

 

Menurutnya, jika pada akhirnya Perppu tidak diterbitkan, Presiden Jokowi dinilai secara tidak langsung membiarkan kejahatan korupsi semakin masif di Indonesia. Padahal, janji dalam setiap kampanye di Pemilihan Presiden (Pilpres) yang keluar dari bibir Jokowi dituangkan dalam ‘Nawacita’.

 

“Joko Widodo kala itu berjanji jika kelak terpilih menjadi Presiden akan memperkuat KPK dan menegaskan keberpihakan pada isu antikorupsi. Namun, melihat perkembangan situasi seperti ini rasanya janji itu jauh dari realisasi,” ujarnya.

 

Sebelumnya, pasca pengesahan RUU KPK menjadi UU, awalnya Presiden Joko Widodo nampaknya enggan menerbitkan Perppu KPK. Namun belakang ia akan mempertimbangkan menerbitkannya setelah mengundang sejumlah tokoh di Istana Negara beberapa waktu lalu. Salah satunya, Prof Emil Salim yang mengatakan sejak era Presiden Soekarno, pemerintah sudah mencoba berupaya memberantas korupsi. Tetapi, hingga saat ini baru KPK yang memperlihatkan kerja nyata setelah efektif dibentuk pada awal 2003 lalu. 

 

Menyadari akan prestasi yang ditoreh KPK, Emil merasa perjuangan memberantas korupsi harus diteruskan dilanjutkan demi membersihkan aparatur negara. Karena itu, usaha anggota DPR dan pemerintah yang dianggap ingin memperlemah KPK dengan mengebiri sejumlah kewenangan dalam RUU KPK harus ditolak.  

 

"Kami mengusulkan agar dikeluarkan Perppu untuk mengubah RUU KPK. Kami mendukung Presiden menolak RUU KPK dengan penuh tanggung jawab, tidak ada kepentingan apa-apa, kepentingan satu-satunya Indonesia yang bersih bebas dari korupsi supaya rakyat bisa menikmati," kata Emil.

 

Sementara mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki menilai prestasi KPK dari sejak dibentuk hingga kini terus berkembang, termasuk memproses para pimpinan lembaga tinggi negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Meski begitu, dia berpendapat merevisi UU KPK memang bisa dilakukan jika melihat kondisi zaman yang terus berkembang. Namun, tujuannya bukan untuk memperlemah KPK.

 

Menurutnya, jika kelemahan itu disebabkan oleh oknum tertentu, maka seharusnya yang diperbaiki hanya oknum saja, bukan malah menyasar lembaganya. “Kalau ada tikus di lumbung, kenapa lumbungnya yang dibakar, tikusnya saja yang seharusnya ditangkap,” kata Ruki mengibaratkan.  

Tags:

Berita Terkait