Arief Hidayat Kembali Dilaporkan ke Dewan Etik, Ini Tuduhannya
Berita

Arief Hidayat Kembali Dilaporkan ke Dewan Etik, Ini Tuduhannya

Madrasah Anti Korupsi menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Etik untuk memanggil dan memeriksa Arief.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Wakil Direktur Madrasah Anti Korupsi Ahmad Fanani usai menyerahkan laporan ke Dewan Etik di Gedung MK Jakarta, Rabu (21/2). Foto: AID
Wakil Direktur Madrasah Anti Korupsi Ahmad Fanani usai menyerahkan laporan ke Dewan Etik di Gedung MK Jakarta, Rabu (21/2). Foto: AID

Setelah pegawai MK dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Ketua MK Arief Hidayat lagi-lagi kembali dilaporkan ke Dewan Etik MK. Kini, pelapornya Madrasah Anti Korupsi yang menilai Arief dilaporkan lantaran menyudutkan hakim konstitusi lain yang disampaikan kepada anggota Komisi III DPR dari Partai Gerindra Desmon Mahesa.     

 

“Saat Dewan Etik menyatakan tidak terbukti (langgar etk), tetapi adanya lobi-lobi pertemuan dengan DPR dibenarkan Dewan Etik. Ini semakin membenarkan pernyataan Arief, ‘jika ia tidak terpilih lagi menjadi ketua MK dan Saldi Isra yang akan menjadi ketua MK, maka akan pro KPK’. Ini yang kami laporkan, Arief menyudutkan hakim lain,” kata Wakil Direktur Madrasah Anti Korupsi Ahmad Fanani usai menyerahkan laporan ke Dewan Etik di Gedung MK Jakarta, Rabu (21/2/2018).

 

Dalam laporannya, Madrasah Anti Korupsi telah melampirkan beberapa bukti. Salah satunya, berita media kompas.com mengenai pernyataan Desmon pada 12 Februari 2018. Isinya, kata Desmond, Arief mengungkap bahwa jika ia tidak terpilih, maka Saldi Isra yang akan memegang jabatan ketua MK. (Baca juga: Giliran PBHI Laporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik)

 

"Ya bukan lobi-lobi lagi itu namanya. Dia (Arief) bilang kalau dia tidak dipilih kembali oleh DPR, maka yang akan jadi ketua MK di sana dia bilang Saldi Isra. Saldi Isra dianggap oleh orang-orang berpihak pada KPK. Jadi dia seperti memberi penjelasan agar dipilih kembali," ujar Desmond saat ditemui di gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Jakarta, Senin (12/2) lalu seperti dikutip Kompas.com.

 

Ahmad menilai pernyataan itu bersifat intimidatif karena ketika itu masih proses persidangan pengujian aturan hak angket KPK. Arief mengatakan hal demikian yang notabene ada kepentingan DPR di MK. “Sepatutnya Dewan Etik kembali memeriksa Arief terkait pelanggaran etik menyudutkan hakim konstitusi lain. Jika memang terbukti, maka sepatutnya Arief diberhentian sebagai hakim konstitusi dan ketua MK,” harapnya.

 

Meski begitu, dia kembali mengimbau agar Arief memiliki kesadaran moral dan etika untuk mengundurkan diri karena sudah dua kali ia dijatuhi sanksi etik. “Jangan sampai ia sebagai ketua MK dan hakim konstitusi mengkerdilkan marwah MK yang telah jatuh bangun akibat hakim konstitusi sebelumnya terjerat kasus korupsi,” ujarnya.

 

Apalagi, kata dia, saat ini banyak masyarakat sipil yang ingin melakukan uji materi revisi UU MD3. Namun, ‘tertahan’ karena dikhawatirkan MK tidak bisa independen dalam memutukan pengujian UU ini. Terlebih, tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik yang diperkirakan banyak kasus sengketa pilkada atau pemilu yang akan diputus oleh MK.

 

“MK sebagai pintu utama sekaligus pintu terakhir dalam memutus perkara (politik). Jika tidak mempunyai legitimasi moral, maka ketidakpercayaan terhadap putusan MK akan terus terjadi. Ini berbahaya dan akan menciptakan konflik,” kata dia.

 

Menurutnya, jika Arief masih tetap menjadi hakim MK, maka ketidakpercayaan publik semakin meluas. “Masyarakat sipil dan para professor pun tidak dihiraukan lagi oleh Arief. Jadi siapa lagi yang harus menyerukan ini? Saya pikir tinggal kesadaran moral etik Pak Arief saja saat ini. Meski nampaknya tak terlihat kesadaran moral dalam dirinya, justru melemparkan statement di luar ekspetasi kita bahwa katanya para professor itu direkayasa,” ungkapnya.

 

Ia juga menilai tidak sepatutnya kalimat seperti itu keluar dari seorang ketua MK dan hakim konstitusi. “Nah, bagi kami Arief sudah tidak punya legitimasi moral etik untuk menjadi hakim konstitusi,” sebutnya.

 

Persoalan ucapan Desmon di media itu, ia menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Etik untuk memanggil dan memeriksa Arief. Jadi, menurutnya jika memang pelanggaran etik ini terbukti, maka terbukti pula adanya lobi-lobi politik dengan DPR.

 

Sebelumnya, Arief dilaporkan pegawai MK Abdul Ghoffar terkait pernyataan Arief di media online yakni detik.com terkait tulisan Abdul Ghoffar yang dimuat di Kompas bertajuk “Ketua Tanpa Marwah” yang hingga kini Dewan Etik belum menindaklanjuti laporan ini. Lalu, kemarin, tanggal 20 Februari 2018 Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) melaporkan Arief berkaitan perbuatan Hakim Terlapor yang diduga mengunggah tulisan di sebuah Grup Whatsapp (WA) terkait putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 tentang pengujian perluasan pasal-pasal kesusilaan di KUHP.

 

Arief sudah dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik sebanyak dua kali. Pertama, memberi memo katebelece alias “memo sakti” kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono untuk “menitipkan” Jaksa pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek, M. Zainur Rochman.

 

Kedua, Arief terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi dan dijatuhi sanksi ringan. Arief dinilai terbukti melakukan pertemuan (lobi-lobi politik) dengan memberi janji terkait pengujian Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengenai hak angket DPR terkait keberadaan Pansus Angket KPK. (Baca Juga: Kali Kedua, Ketua MK Dijatuhi Sanksi Etik)

Tags:

Berita Terkait