Argumen Dua Fraksi Tolak RUU Cipta Kerja
Berita

Argumen Dua Fraksi Tolak RUU Cipta Kerja

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto membuka peluang dialog untuk menerangkan secara jelas terkait RUU Cipta Kerja ini terhadap Fraksi Demokrat dan PKS.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Sebanyak tujuh fraksi memberi persetujuan terhadap hasil pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja untuk diboyong ke dalam rapat paripurna. Sejumlah pandangan dari fraksi mayoritas membuat pimpinan Badan Legislasi (Baleg) mengetuk palu rapat sebagai tanda persetujuan. Namun terdapat dua fraksi yang menolak tegas terhadap RUU Cipta Kerja.

“Terdapat dua fraksi yang menolak, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fraksi Demokrat,” ujar Ketua Baleg Supratman Andi Agtas, Sabtu (3/10) malam kemarin.

Supratman mengatakan ketujuh fraksi menganggap RUU Cipta Kerja telah memenuhi prosedur dan syarat untuk diboyong ke dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi UUU. Ketujuh fraksi itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Demokrat, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Laporan Panja yang disampaikan Wakil Ketua Baleg Willy Aditya terdapat enam hal pokok yang muncul dalam pembahasan yang dilakukan secara terbuka ke publik. Pertama,  penataan dan perbaikan sistem perizinan berusaha. Kedua, keikutsertaan pemerintah daerah (Pemda) dalam mewujudkan keberhasilan cipta kerja. Karena itu, kewenangan pemda tetap dipertahankan berdasarkan asas otonomi daerah.

Ketiga, konsep risk based approach menjadi dasar bagi RUU Cipta Kerja dalam sistem perizinan berusaha berbasis elektronik. Keempat, kebijakan kemudahan berusaha bagi semua pelaku usaha, mulai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), koperasi hingga usaha level besar. Kelima, kebijakan mengintegrasikan melalui satu peta nasional yakni antara wilayah darat dan laut.

Keenam, pengaturan perlindungan bagi tenaga kerja/buruh dalam mewujudkan kesejahteraaan masyarakat. Ketujuh, pengaturan kebijakan kemudahan berusaha di kawasan ekonomi (khusus), pelaksanaan investasi pemerintahan pusat dan proyek strategis nasional. Termasuk, pelayanan administrasi pemerintahan dalam memudahkan prosedur birokrasi cipta kerja.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menilai pembahasan berlangsung secara terbuka dan publik dapat memantaunya. Dia memastikan RUU Cipta kerja mendorong efisiensi dan debirokratisasi untuk kemudahan dan mempercepat proses perizinan bagi UMKM dan koperasi.

Tak hanya itu, perlindungan bagi pekerja tetap diberikan. RUU Cipta Kerja mengamanatkan pelaksanaan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Terkait persyaratan pemutusan hubungan pekerjaan (PHK) tetap sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Airlangga pun menampik tudingan adanya penghapusan sejumlah hak pekerja. Misalnya, hak pekerja seperti hak cuti haid, cuti hamil tetap ada sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan.

Ketua Umum Partai Golkar itu pun menegaskan, RUU Cipta Kerja memberikan peran terhadap Pemda dalam proses pemberian perizinan sesuai dengan norma standar prosedur kriteria dari pemerintah pusat serta rancangan tata ruang wilayah dengan kebijakan satu peta.

Menolak keras

Sementara dua fraksi yakni PKS dan Demokrat sejak awal sudah menolak keras terhadap sejumlah materi muatan dalam RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan. Angota Baleg dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa beralasan penolakan berdasarkan adanya cacat substansi dalam RUU Cipta Kerja. Baginya, arah dan jangkauan pengaturan RUU Cipta Kerja telah berdampak terhadap sekitar 78 UU.  

Dia menilai substansi pengaturan dalam RUU Cipta Kerja berdampak terhadap praktik ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia, sehingga memerlukan sejumlah pertimbangan mendalam. “Apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang kita sepakati bersama?”

Banyak materi muatan dalam RUU Cipta Kerja ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Sebab, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal, RUU tersebut akan memberikan dampak luas bagi banyak orang.

Menurutnya, RUU Cipta Kerja tak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun resep. Meski alasan pemerintah berkutat pada soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam RUU Cipta Kerja bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Misalnya, ketidaktepatan formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif. Dalam pembahasan hanya melihat aspek ketidakberdayaan pengusaha karena nilai maksimal jumlah pesangon itu kerap menjadi momok bagi pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja/buruh yang di-PHK.

Alasan lain, RUU Cipta Kerja masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca amandemen konstitusi. Ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Cipta Kerja adalah ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing termasuk ancaman kedaulatan pangan.

Selain itu, RUU Cipta Kerja ini memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap pekerja atau buruh melaui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah, dan pesangon.

Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja, memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup. Menurut Ledia, Pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan mengatur ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

“RUU Cipta Kerja memberi kewenangan yang sangat besar bagi Pemerintah, namun kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pangawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya,” ujarnya.

Sementara anggota Baleg dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan menilai terdapat beberapa alasan Fraksi Demokrat menolak RUU Cipta Kerja. Pertama, tidak adanya urgensi pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah situasi pandemi Covid-19. Kedua, RUU Cipta Kerja mengubah puluhan UU eksisting melalui omnibus law.

Sebab, mengubah puluhan UU eksisting itu bakal berdampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan. Karena itu, dibutuhkan kehati-hatian dan ketelitian dalam pembahasan, khususnya hal yang fundamental menyangkut kepentingan masyarakat luas. “Alih-alih menghasilkan aturan yang komprehensif, malah menghasilkan aturan yang serampangan, tumpang tindih, dan melawan logika akal sehat masyarakat,” kritiknya.

Ketiga, selain cacat substansi, juga cacat prosedur. Menurutnya, pembahasan hal-hal krusial dinilai tidak terlampau transparan dan akuntabel. Menurutnya, pembahasan semestinya tak hanya melibatkan elemen masyarakat, civil society, namun juga kalangan pekerja/buruh sebagai aktor yang akan menjaga ekosistem ekonomi. “Dan keseimbangan relasi tripatrit antara pengusaha, pekerja dan pemerintah,” ujarnya.

Airlangga pun menerima sejumlah catatan dari Fraksi PKS dan Demokrasi. Dia memaklumi penolakan terhadap RUU Cipta kerja. Namun begitu, Airlangga membuka peluang dialog untuk menerangkan secara jelas terkait RUU Cipta Kerja ini terhadap kedua fraksi partai tersebut. “Kami bisa menjelaskan apabila diperlukan kami siap hadir di Fraksi PKS atau di Fraksi Demokrat sambil kita menunggu rapat paripurna,” katanya.

Tags:

Berita Terkait