Arbitrase di Indonesia, Antara Aturan dan Praktik
Terbaru

Arbitrase di Indonesia, Antara Aturan dan Praktik

Sampai saat ini masih belum dilakukan amandemen terhadap UU 30/1999 ketika praktik arbitrase di dunia telah berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu. Membuat UU ini tertinggal dari perkembangan hukum arbitrase, sehingga perlu direvisi.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Ketua LAPS SJK Dr. Sutardjo, Ketua PT Surabaya Dr. Kresna Menon, dan narasumber lainnya seminar bertajuk ‘25 Tahun UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa’ di FH Unair, Surabaya, Selasa (2/7/2024). Foto: Istimewa
Ketua LAPS SJK Dr. Sutardjo, Ketua PT Surabaya Dr. Kresna Menon, dan narasumber lainnya seminar bertajuk ‘25 Tahun UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa’ di FH Unair, Surabaya, Selasa (2/7/2024). Foto: Istimewa

Sesuai UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan arbitrase sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Bila suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak memuat penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, maka penyelesaian dipilih dan ditentukan melalui lembaga Arbitrase.

“Latar belakang timbulnya pemikiran penyelesaian perkara melalui Arbitrase ini dikarenakan penyelesaian melalui gugatan perdata dengan menggunakan hukum acara HIR/Rbg dirasa memerlukan waktu yang panjang,” ujar Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Dr. Kresna Menon dalam Konferensi Nasional I Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertajuk “25 Tahun UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa” di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair), Surabaya, Selasa (2/7/2024).

Baca Juga:

Arbitrase bertujuan mencari penyelesaian masalah secara bersama-sama dengan hasilnya yang lebih merujuk untuk memberikan keadilan dan kepuasan terhadap kedua belah pihak. Secara garis besar, putusan arbitrase terbagi menjadi dua macam yakni Putusan Arbitrase Nasional dan Putusan Arbitrase Internasional. 

Kresna dalam acara kerja sama FH Unair dengan Asosiasi Akademisi dan Praktisi Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Indonesia (AAPA-APSI) itu menuturkan sebuah putusan arbiter bisa dieksekusi, maka harus berbentuk condemnatoir. Dalam hal ini Pengadilan memegang peran utama sebagai eksekutor untuk pelaksanaan putusan arbitrase. 

“Pasal 60 UU 30/1999 menyebutkan sifat putusan arbitrase final dan mengikat (sehingga tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali), tetapi dalam Pasal 70 UU 30/1999 dikatakan para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap putusan arbitrase selama putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur tertentu,” terangnya.

Misalnya, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. “Tentunya, proses ini akan semakin memakan waktu cukup lama.”

Dalam kesempatan yang sama, Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Eri Hertiawan menjelaskan pentingnya tempat pelaksanaan arbitrase. Beberapa aspek yang menjadi catatan adalah penunjang pelaksanaan sidang yang seringkali menjadi salah satu faktor daya tarik bagi pengguna. Selain soal polemik efisiensi, netralitas, kenyamanan, dan keamanan selama berlangsungnya proses arbitrase.

Hukumonline.com

Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Eri Hertiawan (kanan) bersama narasumber lain.

Ia menyayangkan sampai saat ini belum pernah dilakukan amandemen terhadap UU 30/1999 ketika praktik arbitrase di dunia telah berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu yang membuat UU ini tertinggal dari perkembangan hukum arbitrase dewasa ini. Meskipun sudah ada Perma No. 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase yang memperkuat kerangka arbitrase. Namun masih terdapat beberapa catatan di dalamnya.

“Jika nantinya UU 30/1999 diganti, amandemen atau apapun itu harus memuat ketegasan bahwa namanya award itu harus ada kategorinya. Putusan sela atau sita jaminan misalnya, atau sudah benar-benar masuk pokok perkara. Hal itu juga menurut saya harus mengikuti praktik internasional. Bagaimanapun kita harus mengikuti praktik internasional, kalau tidak ya kita disini-sini saja (praktiknya). Sementara Indonesia termasuk sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang luar biasa,” ucap Eri. 

Ia melanjutkan perlu adanya tempat arbitrase yang tepat di Indonesia, sehingga dapat mendorong Indonesia sebagai pusat arbitrase baru di kawasan. Tentunya dengan langkah tersebut juga akan meningkatkan kepercayaan pengguna dalam memilih arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa.

Indonesia dalam hal arbitrase berdasarkan pengamatan Eri kurang memiliki ketentuan hukum khusus yang memungkinkan penegakan tindakan sementara yang diperintahkan pengadilan. Dengan demikian ke depannya reaksi pengadilan terhadap Perma 3/2023 harus diperhatikan. Guna memastikan tindakan sementara yang diperintahkan pengadilan ditegakkan, pengadilan juga harus dilengkapi dengan kewenangan memerintahkan tindakan sementara untuk membantu arbitrase seperti yang telah diberlakukan di Singapura.

Di sisi lain, Ketua Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) Dr. Sutardjo mengklaim dalam praktiknya terjadi peningkatan setiap tahun atas penyelesaian sengketa melalui arbitrase di LAPS SJK. Tercatat 36% dari sengketa yang diadukan atau sekitar 21 kasus telah berhasil diselesaikan dan menghasilkan putusan arbitrase.

“Berbagai perubahan yang terjadi, terutama yang mempengaruhi perilaku PUJK (Pelaku Usaha Jasa Keuangan) dan konsumen dapat memicu timbulnya jenis-jenis sengketa baru antara PUJK dengan konsumen, dan mendorong manajemen LAPS SJK untuk lebih adaptif menyikapi perubahan yang terjadi, serta merumuskan strategi layanan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase terbaik dalam proses penciptaan nilai bagi para pihak terkait,” kata Sutardjo.

Tags:

Berita Terkait