Arbitrase dan Mediasi HKI Belum Dilirik
Utama

Arbitrase dan Mediasi HKI Belum Dilirik

Tapi tetap diyakini sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang efektif.

IHW/M-15
Bacaan 2 Menit
Arbitrase dan Mediasi HKI Belum Dilirik
Hukumonline

Ketua Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) Achmad Zen Umar Purba mengatakan sejauh ini masyarakat masih belum melirik lembaga alternatif untuk menyelesaikan sengketa di bidang HKI. Buktinya, sejak diluncurkan tahun lalu hingga saat ini, BAM HKI belum pernah menangani satu pun perkara HKI.

Tapi Zen Umar tak mau buru-buru pesimis. Ia menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang harus ‘menganggur’ terlebih dulu selama 11 tahun sampai akhirnya menangani perkara.

“Begitu juga BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, red) yang setelah tujuh tahun baru ada kasus,” kata Zen yang juga tercatat sebagai arbiter di BANI dan BAPMI kepada hukumonline, Senin (11/2).

Walau belum menangani perkara, Zen menuturkan BAM HKI tak berdiam diri. Ada beberapa kegiatan yang sudah dilakukan seperti sosialisasi dan pembekalan materi kepada para arbiter. Terakhir, BAM HKI memberikan pelatihan bidang teknologi informasi kepada para arbiter. “Dalam waktu dekat ada (pembekalan) untuk isu bangunan bertingkat dan hak cipta.”

Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif lain memang diamanatkan peraturan di bidang HKI. Yakni, antara lain Pasal 84 UU Merek, Pasal 47 UU Desain Industri, Pasal 124 UU Paten dan Pasal 39 UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, I Made Widnyana masih berpendapat bahwa penyelesaian sengketa HKI melalui jalur mediasi dan arbitrase masih lebih efektif dan efisien ketimbang pengadilan.

“Beberapa keuntungan penyelesaian perkara melalui mediasi antara lain biayanya yang relatif murah, sifatnya rahasia atau confidential, tidak terlalu bersifat formal dan relatif lebih cepat,” beber Made dalam sebuah seminar di Bali, Sabtu (11/2).

Keuntungan serupa bakal didapat para pihak jika mereka memilih mekanisme arbitrase. Keuntungan tersebut antara lain, kerahasiaan, penyelesaian yang relatif lebih cepat karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.

Khusus untuk arbitrase, lanjut Made, para pihak yang bersengketa sebelumnya harus secara eksplisit memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa. “Dan itu harus tertuang dalam perjanjian antara para pihak,” kata Made yang juga anggota BANI.

Namun, mediasi dan arbitrase bukannya tanpa keterbatasan. Arbitrase misalnya yang dinilai tak mengenal konsep ‘yurisprudensi’ sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan putusan dalam perkara yang hampir serupa pokok perkaranya.

Selain itu, mediasi dan arbitrase sangat tergantung pada iktikad baik dan komitmen para pihak untuk melaksanakan isi putusan. Sebab, kalau tidak didasari iktikad baik dan komitmen kedua pihak, kesepakatan atau putusan itu akan mentah kembali.

Pada kesempatan yang sama, seniman sekaligus akademisi Institut Seni Indonesia Denpasar Bali, Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun menuturkan bahwa lembaga mediasi dan arbitrase belum dikenal di kalangan seniman. Setidaknya para seniman di Bali.

Ironisnya lagi, Tjokorda mengatakan banyak seniman yang belum mengerti hal-hal yang prinsip dalam HKI. Misalnya tak bisa membedakan antara ciptaan, karya cipta, hak cipta dan pencipta. Atau contoh lain adalah kesalahan penggunaan kata ‘paten’. “Ada yang mengatakan ciptaannya sudah dipatenkan. Ini kan keliru,” kata pria yang biasa disapa Tjok.

Menurut Tjok, ketidakpahaman seniman dan masyarakat terhadap konsep HKI dapat membahayakan dirinya sendiri. Karena seniman dan masyarakat akan berpotensi menjadi korban atau bahkan pelaku pelanggaran HKI.

“Karenanya pemaknaan dan pengembangan terhadap kesenian dan atau yang terkait HKI mesti disadari sedini mungkin agar komunitas intelektual dalam dunia seni di Indonesia sadar akan peran penting HKI untuk perlindungan hak penciptanya,” ujar Tjok berharap.

Zen Umar mengamini minimnya pemahaman masyarakat atas keberadaan arbitrase dan mediasi HKI menjadi penyebab rendahnya perkara yang ditangani BAM HKI. “Mungkin masalahnya banyak yang belum mengetahui kedudukan BAM HKI.”

Tags:

Berita Terkait