Apindo Konsisten Tolak Program Tapera, Ini Alasannya
Utama

Apindo Konsisten Tolak Program Tapera, Ini Alasannya

Karena skema pendanaannya dirasa memberatkan. Apindo meminta agar skemanya tidak memberatkan pengusaha dan pekerja karena sudah ada program JHT pada BP Jamsostek yang 30 persen dananya bisa digunakan untuk pembiayaan perumahan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi perumahan: Hol
Foto ilustrasi perumahan: Hol

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Regulasi yang ditetapkan 20 Mei 2020 itu mewajibkan pekerja menjadi peserta Tapera dengan besaran iuran 3 persen terdiri dari 2,5 persen ditanggung pegawai/pekerja dan 0,5 persen pemberi kerja. Sejak awal program Tapera mendapat sorotan banyak pihak terutama pekerja dan pengusaha.

Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi, mengatakan sejak awal Apindo menolak UU No.4 Tahun 2016 tentang Tapera, khususnya terkait pasal yang mengatur tentang kepesertaan dan iuran wajib bagi pekerja dan pengusaha. “Apindo dan dunia usaha konsisten seperti pendapat awal kita menolak skema Tapera termasuk menolak PP-nya. Ketika UU No.4 Tahun 2016 ini dibahas kami sudah bersurat ke Presiden dan DPR bahwa kita menolak ada tambahan iuran bagi pengusaha dan pekerja,” kata Agung ketika dihubungi, Senin (6/8/2020). (Baca Juga: Program Tapera Fokus pada Kepesertaan ASN)

Agung menegaskan bukan berarti Apindo menolak perumahan bagi pekerja, tapi skema pembiayaannya jangan membebani pengusaha dan pekerja. Agung memberi contoh program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) sudah memberikan manfaat layanan tambahan (MLT), salah satunya berupa pinjaman uang muka perumahan. Program MLT ini menggunakan 30 persen (Rp 90 triliun) dari dana JHT. Dana ini dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan pekerja.

Ketimbang menggulirkan Tapera, Agung mengusulkan pemerintah untuk fokus membenahi dan memperkuat pelaksanaan MLT ini. Jika menggunakan skema Tapera, beban yang ditanggung pengusaha dan pekerja semakin berat. Sebagaimana diketahui, untuk saat ini iuran yang harus dibayar untuk program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek lebih dari 11 persen. Jika ditambah Tapera, maka beban iuran yang harus ditanggung mendekati 15 persen.

“Ini di luar beban lainnya yang ditanggung pengusaha, seperti kenaikan upah minimum setiap tahun yang besarannya sekitar 8 persen dan cadangan pesangon pekerja,” bebernya.

Dia mengatakan Apindo sampai saat ini belum menentukan upaya yang akan ditempuh untuk menanggapi terbitnya PP No.25 Tahun 2020. Tapi yang jelas dalam waktu dekat Apindo akan berkoordinasi dengan BP Jamsostek untuk membahas pemanfaatan dana MLT untuk pembiayaan perumahan pekerja. “Belum ada rencana untuk melakukan upaya hukum, kami akan mendalami dulu dengan BP Jamsostek,” ujarnya.

Tidak tepat

Ketua Umum Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah menilai program Tapera tidak tepat bagi buruh. Ada 3 alasan program Tapera ini tidak tepat untuk buruh. Pertama, pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban negara salah satunya perumahan. Tapera dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Misalnya di sektor kesehatan, dimana pemerintah harus menjamin pemenuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Tapi melalui program JKN yang digelar BPJS Kesehatan, pelayanan kesehatan itu baru dijamin jika masyarakat menjadi peserta JKN dan membayar iuran.

“Hal serupa juga terjadi dalam program Tapera, bahkan tidak semua peserta bisa mendapat manfaat Tapera berupa pembiayaan perumahan,” kata Ilhamsyah.

Bagi Ilhamsyah, program Tapera tidak sejalan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. “Konstitusi jelas menyebut tempat tinggal sebagai 'hak', bukan penyebutan yang lain. Hak tentu saja tidak bisa diputar menjadi kewajiban bayar, seperti yang dimau Tapera,” kritiknya.

Dia menilai Tapera merupakan program yang menarik dana publik dimana peran pemerintah dalam program ini hanya sebagai tukang pungut uang rakyat. Kewajiban pemerintah memenuhi hak atas perumahan, justru dibebankan kalangan buruh karena buruh wajib sebagai peserta Tapera. Dana publik sebagai sumber pendanaan Tapera, tapi publik tidak memiliki saham atau otoritas terhadap BP Tapera.

Kedua, pungutan sebesar 2,5 persen dari upah, menurut Ilhamsyah memukul daya beli buruh. Selama ini upah buruh telah tergerus lewat ketentuan yang diatur dalam PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Terbitnya PP No.25 Tahun 2020 di masa pandemi Covid-19 menunjukan pemerintah tidak peduli terhadap masyarakat yang terdampak Covid-19 termasuk kalangan buruh. Pemerintah seharusnya membantu mengurangi beban rakyat menghadapi dampak Covid-19 ketimbang menarik pungutan lewat program Tapera.

Ketiga, Ilhamsyah menegaskan organisasinya menolak Tapera karena buruknya tata kelola dana publik oleh badan yang ditunjuk UU. Misalnya, Mei 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran JKN melalui putusan bernomor 7 P/HUM/2020. Salah satu pertimbangan putusan itu pada intinya menyebut pemerintah belum mampu membenahi kinerja badan yang mengelola dana publik. Praktik ini berpotensi berulang dalam penyelenggaraan Tapera.

Ketimbang memungut uang rakyat lewat Tapera, Ilhamsyah mengusulkan pemerintah melakukan 2 hal. Pertama, peran utama pemerintah yakni memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Segala sumber daya yang dimiliki pemerintah harus digunakan untuk mewujudkan hal tersebut.

Kedua, membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan kebutuhan dasar buruh. Selama ini kawasan industri tidak dibangun untuk memenuhi kebutuhan pekerja, seperti hunian dan fasilitas publik. Kawasan industri hanya berisi pabrik dan pusat bisnis. Sejak awal perencanaan, seharusnya kawasan industri mengalokasikan lahan untuk perumahan buruh.

“Pemerintah perlu mewajibkan pembangunan perumahan buruh di kawasan industri,” usul Ilhamsyah.

Perumahan buruh yang terintegrasi dengan kawasan industri ini menurut Ilhamsyah akan meringankan pengeluaran buruh untuk tempat tinggal dan transportasi. Selama ini sewa tempat tinggal dan transportasi menyedot 35 persen upah buruh setiap bulannya. Oleh karena itu Ilhamsyah menegaskan Tapera tidak tepat karena bukan solusi untuk meningkatkan kualitas hidup pekerja.  

Sebelumnya, Komisioner Badan Penyelenggara (BP) Tapera Adi Setianto Adi menjelaskan saat ini program Tapera akan fokus pada kepesertaan bagi pekerja/pegawai yang berstatus ASN dengan mengalihkan program Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum) yang dikelola Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil kepada Tapera. Secara bertahap program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang selama ini ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dialihkan ke Tapera.  

Nantinya, perluasan kepesertaan akan dilakukan pada 2022 dan tahun berikutnya yakni untuk segmen TNI/Polri, BUMN dan BUMD. Kemudian sektor swasta dan warga negara asing (WNA) yang bekerja di Indonesia minimal 6 bulan. Meskipun program Tapera sifatnya iuran wajib, tapi tidak semua peserta bisa menerima manfaat berupa pembiayaan perumahan dengan suku bunga terjangkau.

Hanya peserta dengan kriteria tertentu yang bisa mendapat manfaat ini yakni MBR dan untuk rumah pertama. Bagi peserta yang tidak memenuhi kriteria itu, dana yang sudah disimpan atau diiurankan dapat diambil pada saat masa kepesertaan berakhir, misalnya memasuki masa usia pensiun.

Tags:

Berita Terkait