Apindo Dukung Revisi PP Pengupahan
Berita

Apindo Dukung Revisi PP Pengupahan

Hak berunding dalam menentukan upah minimum harus dikembalikan sesuai amanat UU Ketenagakerjaan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Apindo. Foto: Sgp
Apindo. Foto: Sgp

Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mendapat respon positif dari kalangan buruh dan pengusaha. Ketua Komite Advokasi DPN Apindo, Darwoto, mengatakan UU Pengupahan terbit karena penetapan upah minimum tidak menggunakan aturan yang jelas. Sehingga kenaikan upah minimum di sejumlah wilayah berbeda-beda ada yang 20 sampai 30 persen. Bagi pengusaha, penetapan upah minimum sebelum diterbitkannya PP Pengupahan tidak memberi kepastian.

 

Kenaikan upah minimum sebelum PP Pengupahan terbit menurut Darwoto lebih dipengaruhi kepentingan politik. Kemudian ada kecenderungan suatu daerah akan menetapkan upah minimum setelah “mengintip” besaran upah minimum daerah lainnya. Misalnya, selisih upah minimum antara kabupaten dan kota Pasuruan, Jawa Timur, mencapai Rp1 juta. Padahal kedua daerah itu saling berdekatan dengan harga-harga barang kebutuhan pokok relatif sama.

 

Oleh karena itu, ketika PP Pengupahan terbit, Darwoto mengatakan kalangan pengusaha sangat menyambut baik. Tapi dalam perjalanannya, sebagian pengusaha merasa kenaikan upah minimum sebagaimana aturan yang ditetapkan dalam PP Pengupahan dirasa makin membebani ongkos produksi. Kondisi itu dialami industri padat karya seperti garmen, dan tekstil dimana jumlah pekerjanya mencapai ribuan.

 

“Kami menyambut baik rencana Presiden Jokowi merevisi PP Pengupahan. Presiden Jokowi menyatakan akan mencari win-win solution,” kata Darwoto dalam acara diskusi yang digelar stasiun radio di Jakarta belum lama ini. Baca Juga: Mayday 2019, Tiga Masukan Revisi PP Pengupahan 

 

Terkait penetapan upah minimum sektoral, Darwoto menilai pelaksanaannya selama ini tak jarang melanggar aturan. PP Pengupahan mengatur, Gubernur dapat menetapkan upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.

 

Praktiknya, ketentuan itu tidak berjalan baik, sehingga penetapan kenaikan upah minimum sektoral tidak memperhatikan daya bayar di sektor yang bersangkutan. Selaras itu, Permenaker No.15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum mengamanatkan penetapan upah minimum sektoral diawali dengan kajian mengenai sektor unggulan oleh dewan pengupahan provinsi. “Apindo setuju revisi PP Pengupahan, ini untuk kebaikan bersama,” tutur Darwanto.

 

Sebagaimana kritik kalangan buruh terhadap PP Pengupahan yang dinilai menghilangkan hak berunding dalam menetapkan upah minimum, Darwoto menekankan jika hak berunding itu dihilangkan, maka bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk pembenahan komponen kebutuhan hidup layak (KHL), Darwoto sepakat terhadap usulan yang mendorong pemerintah untuk ikut membantu, misalnya transportasi untuk buruh.

 

Darwoto berpendapat jika penetapan upah minimum tak dibenahi, perusahaan akan menggunakan upah minimum sebagai upah terendah di perusahaan. Bahkan ada pengusaha nakal yang mengupah hampir seluruh pekerjanya dengan upah minimum. Darwoto mengatakan pembahasan upah minimum harus dilakukan melalui perundingan, tapi harus ada jaminan agar masing-masing pihak dapat berunding bebas dari tekanan.

 

Mengenai formula dalam menetapkan upah minimum, Darwoto mengusulkan agar hal ini dibahas lebih lanjut dalam revisi PP Pengupahan. Harus ada win-win solution yang menguntungkan pengusaha dan buruh. Paling penting, jangan terjadi disparitas upah minimum yang terlalu tajam antar daerah. “Ini yang membuat perusahaan padat karya melakukan relokasi karena terjadi disparitas upah minimum di banyak daerah,” paparnya.

 

Sekjen OPSI Timboel Siregar mengatakan dalam pertemuan antara pimpinan konfederasi serikat buruh dengan Presiden Jokowi menjelang Mayday 2019, disepakati mendorong revisi PP Pengupahan. Menurut Timboel ada beberapa pasal PP Pengupahan yang patut dipertahankan, misalnya pasal 14 PP Pengupahan mewajibkan pengusaha untuk membuat struktur dan skala upah.

 

Pangkal persoalan yang selama ini dikritik kalangan buruh menurut Timboel ada dalam Pasal 44 dan 45 PP Pengupahan, yang intinya kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Praktiknya, besaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan selalu data BPS, totalnya rata-rata 8 persen. Menurutnya cara penghitungan upah minimum ini menguntungkan pengusaha karena kenaikan upah minimum bisa diprediksi.

 

“Tapi cara seperti itu tidak mendidik serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah untuk berdialog dalam menentukan upah minimum,” ujar timboel. Sejak PP Pengupahan terbit, peran dewan pengupahan daerah seolah tidak berfungsi lagi karena tidak ada perundingan mengingat yang digunakan sebagai acuan adalah data inflasi dan petumbuhan ekonomi dari BPS.

 

Timboel menjelaskan data BPS itu digunakan seluruh wilayah untuk menetapkan upah minimum. Alhasil kesenjangan upah minimum antar daerah makin tinggi, misalnya upah minimum provinsi Jakarta 2019 sebesar Rp3,9 juta, dan Bekasi Kota Rp4,2 juta. Karena itu Timboel mengusulkan penetapan upah minimum ke depan harus memperhatikan pertumbuhan dan tingkat inflasi di masing-masing daerah, bukan ditetapkan secara nasional.

 

Selain itu Timboel mendesak mekanisme survei KHL harus digunakan kembali dalam penetapan upah minimum. Ini penting karena tingkat inflasi di setiap daerah berbeda. Survei pasar juga perlu dilakukan untuk mengetahui kebutuhan riil buruh. “PP Pengupahan ini mengebiri kewenangan gubernur untuk menetapkan upah minimum karena yang menjadi acuan adalah data BPS,” tukasnya.

 

Pentingnya dialog dalam menentukan upah minimum menurut Timboel bukan hanya menguntungkan buruh, tapi juga pengusaha. Terbukti ada sebagian pengusaha yang keberatan dengan kenaikan upah minimum yang mengacu data inflasi dan pertumbuhan ekonomi BPS yang rata-rata naik 8 persen.

 

Bagi Timboel upah minimum tidak bisa diserahkan tanggung jawab pemenuhannya kepada pengusaha. Pemerintah harus ikut berperan menanggung kebutuhan buruh. Misalnya, pemerintah provinsi DKI Jakarta menerbitkan kartu untuk pekerja yang upahnya minimum. Melalui kebijakan tersebut,, pemerintah dapat membantu buruh untuk menjaga daya beli.

Tags:

Berita Terkait