APHK, Asosiasi Dosen yang Bercita-Cita Memperbaharui Hukum Perdata
Berita

APHK, Asosiasi Dosen yang Bercita-Cita Memperbaharui Hukum Perdata

Kepengurusan periode saat ini banyak diisi oleh dosen-dosen perdata dari FH UNAIR.

RIA
Bacaan 2 Menit
Para akademisi yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan saat menggelar Konferensi di FH Udayana, Bali, 16-17 April 2015. Foto: RIA
Para akademisi yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan saat menggelar Konferensi di FH Udayana, Bali, 16-17 April 2015. Foto: RIA

Sejumlah profesor, dosen senior maupun junior terlihat asyik berdiskusi dan menggelar seminar seputar pembaharuan hukum perdata di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, sekira tiga pekan lalu.

Fakta bahwa hukum perdata di Indonesia masih mengacu pada aturan “usang” peninggalan zaman kolonial pun menjadi topik pembahasan mereka. Hukum privat di Indonesia pun dianggap sudah jauh ketinggalan perkembangannya dibandingkan dengan perkembangan manusia yang dasarnya merupakan  subjek yang diaturnya.

Mereka adalah para pengajar hukum keperdataan yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK). Asosiasi yang resmi berdiri pada 4 September 2013 lalu ini memang punya cita-cita besar. Ingin mendorong agar dilakukannya pembaharuan hukum perdata nasional.

Menjadi wadah profesi bagi para pengajar hukum keperdataan dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mendorong dilakukakannya pembaharuan hukum perdata nasional,”demikian bunyi visi APHK sebagaimana dikutip dari website resmi www.aphk.or.id.

Ketua Umum APHK Prof. Y. Sogar Simamora menceirtakan awal berdirinya wadah bagi para dosen keperdataan ini. Ia mengungkapkan ide pembentukan asosiasi ini muncul ketika para dosen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) sedang menyelenggarakan sebuah seminar.

“Di situ ada gagasan untuk membentuk asosiasi pengajar. Karena begini, kita melihat di cabang-cabang mata kuliah lain itu sudah banyak asosiasi dosen. Tapi kok hukum perdata yang mana dosennya paling banyak itu, kok justru ngga ada asosiasinya?” ujar Sogar Simamora.

Sekretaris APHK Dian Purnama Anugerah menambahkan dalam seminar itu, para guru besar di bidang hukum perdata,  di antaranya Prof. Nindyo Pramono dan Prof. Rosa Agustina, memberikan usul agar segera dibentuk wadah khusus semacam organisasi untuk pengajar hukum keperdataan. “Kemudian gagasan itu kemudian oleh Prof. Isnaeni  dan Prof. Sogar coba diwujudkan,” lanjutnya.

Di hari kedua seminar, APHK dideklarasikan. Agenda pada hari itu juga mencakup pengesahan Anggaran Dasar APHK dan pengangkatan pengurus yang diketuai Guru Besar FH UNAIR Prof. Sogar dengan wakil asal Universitas Hasanuddin (UNHAS) Prof. Ahmadi Miru. Kepengurusan tersebut ditetapkan berlangsung selama tiga tahun.

“Supaya semua juga bisa merasakan menjadi pengurus, jadi kita putuskan untuk periodenya tiga tahun saja,” sampai Dian kepada hukumonline.

Berdasarkan penelusuran hukumonline di situs resmi APHK, asosiasi ini memang sudah memiliki kepengurusan yang lengkap. Namun, dari susunan pengurus, cukup banyak diisi oleh dosen-dosen dari FH UNAIR. Sogar Simamora membantah bila kepengurusan itu disebut “FH UNAIR Connection”.

Sogar mengatakan susunan pengurus semacam itu hanya untuk memudahkan bergeraknya roda organisasi. “Ini kan satu asosiasi yang tidak ada badan hukumnya sehingga juga tidak ada sekretariat. Bahwa ketuanya dari UNAIR, sekretaris dari UNAIR, bendahara dari UNAIR, hanya untuk memudahkan dalam rangka koordinasi melakukan kegiatan-kegiatan kita. Seperti itu,” ujar pria yang dikenal sebagai pakar hukum perikatan publik ini.

Usia Belia, Cita-Cita Besar
Dibandingkan dengan beberapa asosiasi dosen pengajar hukum bidang lainnya, seperti Asosiasi Pengajar Hukum Acara Konstitusi (APHAMK) dan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia yang kini berubah nama menjadi Komunitas Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), usia APHK memang dapat dinilai masih cukup belia. Namun, upaya yang dilakukan APHK untuk menggapai cita-cita besarnya tak bisa dipandang remeh.

Acara terakhir yang diselenggarakan APHK adalah Konferensi Nasional Hukum Keperdataan di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Acara ini merupakan pertemuan tahunan APHK yang berbentuk forum diskusi antar akademisi hukum keperdataan yang dilaksankan untuk kedua kalinya.

Konferensi Nasional kedua ini bertajuk ‘Karakteristik Hukum Perikatan Indonesia Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan Nasional’.

Sogar mengatakan pembahasan mengenai perikatan ini didasari oleh buku tiga di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) sebagai satu-satunya buku dalam ketentuan tersebut yang belum diatur secara khusus dalam hukum nasional. “Itu makanya kita punya pikiran kita fokus pada Buku 3 tentang perikatan karena kita harus objektif bahwa banyak ketentuan yang ada di dalam buku 3 itu yang udah ngga sesuai lagi dengan kebutuhan hukum,” tandasnya.

Sogar mengatakan APHK ingin UU Perikatan nantinya sebisa mungkin akan mengatur secara komprehensif dengan mengakomodir prinsip-prinsip yang berkembang, baik itu yang ada di domestik, baik itu adat, islam, maupun itu yang ada di yurisprudensi, termasuk prinsip-prinsip hukum kontrak dagang internasional yang berkembang di dunia perdagangan internasional.

Kurang Perhatian Pemerintah
Di hari terakhir acara Konferensi Nasional Hukum Keperdataan, Jumat (17/4), sempat terucap kalimat dari mulut Sogar “bukannya saya cemburu dengan yang lain, tapi saya berharap pemerintah bisa memberi perhatian lebih pula dalam pembaruan hukum perdata ini, khususnya hukum perikatan.”

Dian kembali menyebutkan bahwa sebagaimana yang telah diucapkan Prof. Sogar danguru besar lainnya seperti itu lah yang terlihat saat ini. “Nampaknya kita memang untuk reformasi dalam hal hukum perdata itu agak tertinggal,” ujar Dian.

Apalagi, Belanda, yang merupakan negara asal BW, sudah melakukan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu sejak  1947. “Di Indonesia, gagasan untuk mengubah kodifikasi BW sudah ada sejak tahun 1970-an, tetapi kemudian hal itu tidak pernah terwujud sama sekali,” ucap Dian.

“Padahal kebutuhan akan pembaruan hukum perdata itu sangat dinanti-nantikan karena aturan BW dirasa tidak dapat lagi memenuhi perkembangan jenis-jenis perikatan saat ini,” imbuhnya.

Dian berharap ke depan pemerintah bisa melibatkan APHK dalam mereformasi hukum keperdataan Indonesia. “Harapan kami pemerintah ingin melakukan reformasi ini kan paling tidak mengajak kita, dari organisasi. Ini untuk paling tidak ikut sumbang saran. Sebetulnya, konferensi ini kan kita untuk bertukar pikiran dan kemudian menyamakan persepsi. Kemudian kalau kita sudah sama persepsi apa yang akan kita usulkan dalam setiap konferensi ini mestinya kita bisa usulkan kepada pemerintah,” paparnya.

Ke depannya, APHK membuka kemungkinan mengambil langkah aktif dengan melakukan audiensi kepada para pembuat kebijakan. “Tapi ini kan semuanya tidak bisa dilakukan secara mendadak. Jadi mungkin cara kita sekarang, ya ini. Paling tidak kita dengan mengeluarkan proceeding, hasil konferensi kita ini bisa kita sebarkan lebih dahulu,” ujar Dian.

Perjalanan memperbaharui hukum keperdataan Indonesia memang masih panjang. Namun, para dosen ini sudah berada di track yang benar, karena mereka-lah harusnya berperan mendorong reformasi itu. Seperti pidato Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali ketika membuka konferensi tersebut, “Akademisi dan Hakim harus berkolaborasi memperbaharui hukum perdata”. Semangat!

Tags:

Berita Terkait