Aparat Tembakan 45 Gas Air Mata di Kanjuruhan, Amnesty International: Sadis!
Terbaru

Aparat Tembakan 45 Gas Air Mata di Kanjuruhan, Amnesty International: Sadis!

Amnesty International mendesak aparat keamanan untuk bertanggung jawab atas pelanggaran HAM Tragedi Kanjuruhan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kekisruhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya yang menelan ratusan korban, Sabtu (1/10/2022) malam. Foto: Tangkapan layar youtube
Kekisruhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya yang menelan ratusan korban, Sabtu (1/10/2022) malam. Foto: Tangkapan layar youtube

Komnas HAM telah mengumumkan laporan dari hasil pemantauan dan penyelidikan tragedi kemanusiaan di stadion Kanjuruhan. Laporan itu memuat berbagai informasi, dan bukti yang ditemukan tim Komnas HAM. Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, melihat berdasarkan laporan itu aparat keamanan menembakkan 45 gas air mata. Hal itu menunjukan aparat keamanan telah menggunakan kekuatan yang berlebihan dan tak bisa dibenarkan.

"Bahkan, di rentang waktu tersebut, ada 11 tembakan yang dilakukan dalam kurun waktu sembilan detik. Dan ini dilakukan di area terbatas di mana penonton terkurung. Sadis!” kata Usman Hamid saat dikonfirmasi, Kamis (3/11/2022).

Usman menegaskan hasil investigasi Komnas HAM bukan akhir dari penanganan tragedi stadion Kanjuruhan. Laporan Komnas HAM itu mempertegas tanggung jawab negara untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM secara benar dan adil.

Semua pelaku yang terlibat harus diadili tanpa terkecuali. Usman menekankan proses hukum yang dilakukan terhadap para pelaku harus digelar di persidangan umum yang terbuka dan independen.

"Jatuhnya nyawa 135 korban sangat tidak adil jika dijawab hanya dengan sanksi ringan seperti pendisiplinan berupa mutasi atau pemecatan. Itu jauh dari timbangan keadilan. Masyarakat menunggu bukti komitmen otoritas negara untuk menegakkan hukum yang berlandaskan keadilan korban dan keluarganya,” tegas Usman.

Mengacu lapoan Komnas HAM, Usman menyebut tragedi Kanjuruhan merupakan pelanggaran HAM akibat pengelolaan pertandingan sepak bola yang tidak mengedepankan keamanan dan keselamatan serta terjadi akibat adanya penggunaan kekuatan berlebihan dari aparat keamanan.

Komnas HAM menyampaikan temuan mereka bahwa aparat menembakkan setidaknya 45 tembakan gas air mata, 27 tembakan terlihat dalam video. Sementara 18 lainnya terkonfirmasi dari suara tembakan. “Bahkan, Komnas HAM menyebut penembakan gas air mata dilakukan tanpa koordinasi dengan Kapolres Malang dan atas diskresi dari masing-masing pasukan,” ujar Usman.

Laporan itu mengatakan aparat yang menembakkan gas air mata di dalam stadion merupakan unsur gabungan Brimob dan Sabhara. Tembakan gas air mata diketahui mulai terjadi sekitar pukul 22.08.59 WIB. Dari detik ini hingga 22.09.08 WIB, pasukan Brimob tercatat 11 kali menembakkan gas air mata ke arah selatan lapangan Stadion Kanjuruhan.

Usman menegaskan panduan HAM untuk aparat penegak hukum Amnesty International, yang disusun berdasarkan ‘UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials’, menyebut bahwa gas air mata tergolong sebagai senjata yang kurang mematikan atau ‘less-lethal weapon’ yang menjadi alternatif dari penggunaan senjata api konvensional. Meski demikian, apabila digunakan dalam konteks dan cara yang berlebihan, dampak ‘less-lethal weapon’ juga dapat mematikan.

Secara umum, paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. Tapi Usman melihat efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda pada setiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya.

Tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan. Di berbagai negara gas air mata rentan disalahgunakan antara lain karena kurangnya pelatihan pihak kepolisian terkait penggunaannya.

Tags:

Berita Terkait