Apakah UU Termasuk Karya Akademik? Ini Penjelasan Akademisi
Terbaru

Apakah UU Termasuk Karya Akademik? Ini Penjelasan Akademisi

Kecenderungan menganggap undang-undang sebagai karya akademik tidak relevan karena dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan selain dibutuhkan ahli di bidang hukum, juga perlu mengikutsertakan masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk menjalankannya.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Teknokratik merupakan perencanaan yang dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional yang bertugas melibatkan atau mengakomodasi keilmiahan dan perkembangan teknologi.

“Teknokratis di sini adalah substansinya dari suatu undang-undang tidak terlalu dibahas secara mendalam, tapi perumusannya lebih fokus ke tahapan yang bagaimana, berapa ahli yang diundang, ada berapa jumlah guru besar, apakah sudah datang ke kampus-kampus sebagai bentuk sosialisasi, namun melupakan apakah ada pihak disabilitas yang diajak dalam perumusan undang-undang tersebut, atau apakah ada kelompok dari masyarakat yang tidak diajak di dalam perumusan undang-undang itu,” tambah Bivitri.

Ia mengatakan di dalam legitimasi undang-undang, sandarannya bukan otoritas keilmuan, namun harus ada substansi yang baik yang akan dibawa oleh otoritas keilmuan, sehingga  akhirnya ada kecenderungan undang-undang dianggap karya akademik.

“Secanggih apapun data yang digunakan, jika dalam perumusannya hanya terdiri dari orang-orang yang berkepentingan maka ketika ketok palu akan penuh dengan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, sebagai pengambil kebijakan, yaitu pemerintah dan DPR harus menentukan yang membuat rumusan naskah undang-undang hanyalah staf atau yang memiliki jabatan fungsional dan peneliti,” katanya.

“Waktu saat melegitimasi keilmuan, akhirnya yang diundang adalah professor-profesor, sedangkan masyarakat yang terdampak bagaimana posisinya?,” tambahnya.

“Karena ini adalah RKUHP maka orang-orang yang belajar hukum tata negara atau yang belajar hukum perdata seakan-akan tidak punya otoritas dalam kebijakan RKUHP, padahal ilmu hukum itu didekati dengan berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi, politik hingga gender,” jelasnya.

Ia menegaskan pembahasan naskah undang-undang bukan milik maha guru atau professor-profesor akademik atau perumus yang hafal adagium hukum pidana atau acara, tetapi untuk mengefektifkan hal itu, hukum harus melihat dari berbagai disiplin ilmu.

Selain melibatkan kelompok dari berbagai interdisiplin keilmuan, dalam proses pembentukan atau dalam rancangan hendaknya melibatkan masyarakat dari kelompok rentan yang akan  langsung merasakan dampak dari perumusan RKUHP.

Sehingga pada akhirnya, kecenderungan menganggap undang-undang sebagai karya akademik tidak relevan karena dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan selain dibutuhkan ahli di bidang hukum, juga perlu mengikutsertakan masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk menjalankannya.

Tags:

Berita Terkait