Apakah Bupati Garut Aceng Fikri dapat Dimakzulkan?
Kolom

Apakah Bupati Garut Aceng Fikri dapat Dimakzulkan?

Menceraikan istri sirri melalui sms, berarti Aceng Fikri tidak menjalankan UU No. 1 Tahun 1974 selurus-lurusnya.

Bacaan 2 Menit

Ini yang dikatakan sebagai pelanggaran norma etika secara umum, khususnya norma sopan santun sebagaimana dalam bahasa Inggris disebut “a pleasant living together” atau dalam bahasa Belanda disebut “het uitwendig verkeer onder de mensen te verijnen, te veraangenamen” (Pernadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1979: 26). Mungkin fakta ini yang memperkuat keyakinan hajelis hakim MA untuk mengabulkan rekomendasi pemakzulan tersebut.

 Hal yang kedua dari bunyi sumpah/janji jabatan Bupati tersebut di atas adalah “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Dalam kaitannya dengan kasus Aceng Fikri tersebut, undang-undang yang dimaksud antara lain adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan Aceng Fikri dan Fany Octora betapapun sah menurut hukum agama Islam, tetapi tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga disebut “Nikah Sirri”. Kata “sirri” dalam bahasa Arab berarti “menyembunyikan”. Jadi pernikahan Aceng Fikri dan Fany Octora dapat dikatakan pernikahan tersembunyi di hadapan negara, karena tidak tercatat pada Kantor Catatan Pernikahan.

Hal itu membuktikan bahwa Aceng Fikri tidak menjalankan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 dengan selurus-lurusnya. Seandainya pernikahan mereka dicatatkan pada Kantor Pencatat Pernikahan, maka pernikahan mereka bukanlah “Nikah Sirri” melainkan “Nikah Syiar” yaitu pernikahan yang sah dan terbuka menurut agama Islam maupun menurut negara.

Selain itu, menurut Pasal 25 dan 39 UU No. 1 Tahun 1974, pembatalan perkawinan atau perceraian harus dilakukan dengan cara mengajukan permohonan/gugatan kepada Pengadilan Agama. Sedangkan Aceng Fikri menceraikan istrinya, Fany Octora, melalui sms, jadi Aceng Fikri telah tidak menjalankan UU No. 1 Tahun 1974 selurus-lurusnya. Dengan demikian cukup beralasan bagi majelis hakim MA memutuskan Aceng Fikri dapat dimakzulkan dari jabatan Bupati Garut.

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 29 ayat (4) huruf c bahwa putusan MA mengenai perkara pemakzulan tersebut bersifat final. Hal ini berarti bahwa tidak ada upaya hukum lain untuk meninjau kembali putusan MA tersebut. Apakah dengan demikian lantas DPRD Garut harus menyampaikan permohonan kepada Presiden untuk memakzulkan Aceng Fikri dari jabatan Bupati Garut, dan Presiden juga harus mengabulkan permohonan DPRD Garut? Kiranya tidak semudah itu. Prosesnya masih dua tahap lagi, yaitu mekanisme berdasarkan putusan MARI tersebut, DPRD mengadakan rapat paripurna dengan korum ¾ jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan jumlah suara 2/3 jumlah yang hadir untuk mengajukann usulan pemakzulan kepada Presiden. Tahap terakhir Presiden yang menghambil keputusan untuk memakzulkan atau tidak memakzulkan.

Lantas apa arti final pada putusan MA? Jika mekanisme pemakzulan Kepala Daerah dengan melibatkan tiga lembaga, yaitu DPRD, MA, dan Presiden, dibandingkan dengan mekanisme pemakzulan Presiden yang juga melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR, sebagaimana diatur pada Pasal 7B dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, maka baik putusan MA maupun MK selalu bersifat final, artinya langsung mengikat bagi DPRD, atau DPR. Artinya bahwa apabila MA atau MK menyetujui pemakzulan, putusan tersebut hanya final terhadap pembuktian apakah tindakan Kepala Daerah atau Presiden memenuhi unsur perbuatan pidana dalam arti actus reus atau tidak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait