Antisipasi Terjadinya Disrupsi Terhadap Jabatan dan Kewenangan Notaris
Kolom

Antisipasi Terjadinya Disrupsi Terhadap Jabatan dan Kewenangan Notaris

Khususnya dalam era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Irma Devita. Foto: Istimewa
Irma Devita. Foto: Istimewa

Disruption atau Disrupsi menjadi kata yang paling sering disebut dalam beberapa tahun terakhir ini, ketika banyak orang mengalami kebingungan yang nyata dengan terjadinya perubahan besar di segala sektor, baik itu dari sektor ekonomi, perdagangan, pertahanan keamanan, teknik industri dan yang pasti terhadap hukum yang mengatur semuanya. 

 

Dunia kini banyak membicarakan tentang dimulainya revolusi industri keempat, yang sering disebut sebagai Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 yang mengarahkan pada penduduk dunia kepada era baru, yaitu Internet of things (IoTs). Revolusi Industri 4.0 ini digunakan untuk menyebut era otomatisasi dan pertukaran data, termasuk juga sistem cyber-physical, hal-hal terkait dengan internet, penggunaan cloud computing dan cognitive computing.

 

Era Revolusi Industri 4.0 dan society 5.0 tersebut menciptakan tantangan baru atas terjadinya fenomena globalisasi, digitalisasi serta perlindungan data. Professor Rheinald Kasali dalam penjelasannya mengenai Disruption menyebutkan disrupsi merupakan fase ketiga dari 3 jenis perubahan, yaitu: iteration (pengulangan), innovation (menciptakan suatu hal yang baru), dan yang terakhir barulah disruptions (inovasi sehingga cara-cara yang lama tiba-tiba menjadi obsolete atau ketinggalan).

 

Ketiga pola perubahan tersebut seperti menciptakan sebuah tatanan dunia baru, di mana para pengusaha dan praktisi di berbagai bidang tiba-tiba dihadapkan pada istilah-istilah baru seperti: block chain, big data, artificial intelligent (ai), robot, shifting, dan lain sebagainya. Dalam bidang hukum, berbagai istilah baru yang digunakan cukup membingungkan bagi para praktisi hukum yang sudah menjalankan pekerjaannya selama puluhan tahun secara konvensional.

 

Para praktisi hukum Indonesia yang berkiblat pada civil law legal system juga harus mempelajari berbagai bahasa dan technologi baru dalam membuat suatu perjanjian dengan memahami konsep-konsep dan cara bertransaksi bisnis dengan menggunakan konsep smart contract, otomatisation of contract, digital signature, digital contract, dan lain sebagainya.

 

“Het recht hink achter de feiten aan”

Ungkapan ini menyatakan bahwa hukum selalu berada tertinggal di belakang peristiwa yang terjadi di masyarakat. Tuntutan globalisasi yang ditunjang dengan Internet of Things (IoTs) menciptakan lompatan jauh dalam perilaku bertransaksi di dunia dan menciptakan lahirnya dunia tanpa batas (borderless world).

 

Kecepatan perubahan yang terjadi dalam dunia bisnis secara tergopoh-gopoh harus diikuti pula dengan kecepatan perubahan terhadap aturan main, hukum dan hubungan hukum antara para subjek hukum, sehingga melahirkan istilah “Agile” (tangkas) dalam segala hal. Notaris dan para ahli hukum dituntut untuk bersikap Agile, di mana notaris harus Agile, tangkas dan mudah untuk beradaptasi dengan perubahan zaman selaras dengan adanya tuntutan cepatnya perkembangan teknologi yang terkait dengan tugas dan jabatan yang diembannya dalam masyarakat.

 

Saat ini kita berhadapan dengan “musuh-musuh” yang tidak kelihatan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rheinald Kasali bahwa yang menginovasi lemari es bukanlah sesama produsen es batu, seperti halnya yang menginovasi teknologi kamera digital bukanlah para ahli kimia yang dahulu menciptakan Fuji Film roll maupun Kodak Film roll. Ke depan, yang menciptakan teknologi hukum dan mendisrupsi hukum bukan sesama para ahli hukum atau notaris melainkan ahli IT atau profesi lain yang terkait.

 

Fenomena disrupsi ini sudah terlihat sejak beberapa tahun terakhir di mana para notaris di Indonesia mulai dibebani dengan berbagai tugas baru yang semula menjadi tugas-tugas administrasi instansi lain. Seperti, kewajiban mengenal beneficial owner dari perusahaan yang didirikannya, dianggap sebagai gateaway sehingga dibebani kewajiban melakukan pelaporan transaksi mencurigakan melalui aplikasi GRIPS, melakukan berbagai verifikasi materiil terhadap pendaftaran hak tanggungan secara elektronik, fidusia online, pendaftaran badan hukum dan badan usaha secara online, sampai dengan memahami konsep maksud dan tujuan perusahaan yang akan dibuatkan akta pendiriannya agar selaras pada saat pendaftaran perijinannya nanti melalui system One Single Submission (OSS).

 

Dunia tanpa batas melahirkan kecepatan transaksi-transaksi internasional yang terjadi antar negara yang menganut sistem hukum yang berbeda menjadi suatu keniscayaan. Adanya teknologi block chain, digital contract atau smart contract, digital signature dan berbagai sistem digital teknologi lainnya mengandung ancaman tersembunyi untuk terjadinya shifting (perubahan tatanan dan prilaku) yang mendasar dalam menterjemahkan fungsi dan peran notaris di Indonesia sebagai Pejabat Umum sebagaimana ditetapkan dalam civil law legal system yang perlahan namun pasti mulai bergeser dan cenderung dipaksakan untuk bertindak sebagaimana layaknya Public Notary atau Solicitor yang dikenal dalam common law legal system. (penjelasan tentang perbedaan system common law dan civil law bisa di baca di sini).

 

Cybernotary dan Perbandingannya dengan Notaris Jepang

Tantangan terjadinya disrupsi dan digitalisasi tersebut menggaungkan kembali gagasan sejak tahun 2004 tentang keberadaan Cybernotary. Gagasan cybernotary pada saat itu masih terkendala dengan tidak adanya aturan dasar yang menjadi rujukan. Lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik No. 11 Tahun 2008 disusul dengan perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 memberikan peluang bagi notaris untuk bekerja secara siber (cybernotary).

 

Kewenangan mana sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 15 ayat 3 yang berbunyi: “….kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain: kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik, membuat akta ikrar wakaf dan hipotik pesawat terbang.” Dengan demikian, terbuka peluang bagi notaris untuk secara legal melaksanakan tugasnya secara elektronik.

 

Konsep cybernotary ini sudah diantisipasi oleh beberapa negara yang juga menganut sistem Eropa Kontinental atau civil law legal system; salah satunya adalah Jepang. Sebagai negara maju dan juga menganut civil law legal system, Jepang sudah memulai era Sistem Notaris Elektronik sejak tahun 2000. Hal mana seperti yang dijelaskan oleh Indra Pranajaya, SH dalam tesisnya yang berjudul “Studi Komparatif Terhadap Jabatan dan Kode Etik Notaris di Indonesia dan di Jepang” pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2012.

 

Sejak tahun 2000 tersebut Notaris Jepang yang dalam bahasa Jepangnya disebut kooshoonin (公証人) melaksanakan tugas dan jabatannya dengan menggunakan sistem elektronik. Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, kooshoonin tunduk pada Undang-undang jabatan Notaris Jepang No. 53 Tahun 2011 yang mana salah satunya berwenang untuk mengesahkan Dokumen Digital. Di samping kewenangan untuk membuat akta dalam bentuk relaas dan partij akta seperti halnya notaris Indonesia, dengan metode dan tata cara sebagaimana halnya yang diwajibkan kepada profesi notaris di Indonesia, kooshoonin Jepang juga berwenang untuk membuat akta secara digital. Akta Digital ini dibuat dengan Sistem Notaris Elektronik dan disimpan serta dikelola oleh Japan National Notary Association (JNNA), sebuah organisasi profesi notaris resmi di Jepang seperti halnya Ikatan Notaris Indonesia (INI). (selanjutnya bisa di baca di sini).

 

Kongres Notaris Internasional (UINL)

Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang pada tahun 1997 telah bergabung dalam International Union of Notaries Latin (UINL) dalam waktu dekat akan menyelenggarakan perhelatan akbar sebagai tuan rumah dari Kongres Notaris Internasional ke 29 pada tanggal 27-30 November 2019 mendatang di Jakarta Convention Center (JCC). Menjadi istimewa ketika untuk pertama kalinya sejak UINL dibentuk, kongres notaris Internasional tersebut akan diadakan di kawasan Asia setelah sebelumnya selalu diselenggarakan di Eropa dan Amerika, dan terakhir kali diadakan di Paris.

 

Arti penting kongres tersebut bagi anggota INI adalah untuk membuka wawasan notaris Indonesia dan mempersiapkan para notaries di Indonesia dalam mengerti serta mengantisipasi terjadinya fenomena perubahan besar di dunia dalam pola bertransaksi dan pembuatan akta-akta otentik yang menjadi produknya yang akan mendisrupsi peran dan tugas notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Terbukanya wawasan dan pemikiran tersebut diharapkan agar notaris Indonesia dapat menjadi notaries yang agile dan dapat menyesuaikan diri dengan fenomena shifting dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

 

Melalui kongres Internasional UINL tersebut, notaris Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkan sistem elektronik dan digitalisasi dalam pembuatan akta-akta di negaranya masing-masing. Kongres UINL tersebut juga penting untuk menyatukan pemikiran antara para notaris dari negara-negara yang juga menganut civil law legal system dalam mengantisipasi adanya pergeseran fungsi, tugas dan jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum dalam membuat akta-akta otentik sebagaimana diatur dalam undang-undang.

 

Semuanya agar tidak terjadi sebuah silent occupation atau pemaksaan kehendak untuk mengubah kedudukan akta notaris sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna menjadi dokumen perjanjian biasa menurut konsep common law legal system demi memenuhi tuntutan jaman.

 

*)Irma Devita Purnamasari, SH, MKn adalah anggota Tim Materi Panitia Pelaksana Kongres Internasional Notaris ke-29 dan anggota tim pakar pengurus pusat Ikatan Notaris Indonesia.

 

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Ikatan Notaris Indonesia, dan bukan pula pandangan dari Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam penyelenggaraan Kongres Internasional Notaris ke-29 di Jakarta.

Tags:

Berita Terkait