Anomali Putusan MK Tentang Pemilu Serentak?
Kolom

Anomali Putusan MK Tentang Pemilu Serentak?

Terdapat masalah putusan MK ini terhadap sinkronisasi putusan MK sebelumnya.

Bacaan 2 Menit
Munandar Nugraha. Foto: Istimewa
Munandar Nugraha. Foto: Istimewa

Pada 26 Februari 2020 lalu, majelis hakim MK menetapkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan ini menegaskan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD secara serentak tak bisa dipisahkan satu sama lain.

 

Dalam putusannya itu, MK juga memberikan enam alternatif model pemilu serentak yang dinilai MK konstitusional, yaitu:

  1. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD.
  2. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/wali kota.
  3. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota.
  4. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kab/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.
  5. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih DPRD kab/kota dan memilih bupati/wali kota.
  6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.

 

Pertanyaanya, apa dasar putusan ini? Ya, putusan ini bermula dari permohonan judicial review (JR) dari Perludem yang dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 24 September 2019 dengan Nomor 55/PUU-XVII/2019, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Oktober 2019. Perludem dalam argumentasi permohonannya, mempermasalahkan tentang desain pemilu serentak lima kotak, yang tidak memberikan penguatan terhadap sistem presidensial.

 

Singkatnya, jawaban dari permohonan ini, MK kemudian mengabulkan penekanan sistem presidensial dapat dilaksanakan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD secara serentak. Ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

 

Lalu, apa masalahnya? Di mana anomalinya? Ada dua hal dari putusan ini yang penting kita pahami lebih dalam. Pertama, terkait dengan dasar konstitusi dari putusan itu. Kedua, terkait dengan sinkronisasi dan harmonisasi putusan MK sebelumnya. Seperti apa penjelasannya? Dalam konstitusi khusus tentang pemilu diatur dalam pasal 22E.

 

Untuk penjelasan poin pertama, UUD hasil amandeman Perubahan ke-III, 9 November 2001disebutkan bahwa Pasal 22E bab tentang pemilu, terdapat 6 ayat, di antaranya adalah:

  1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
  2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
  4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
  5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
  6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

 

Dari ayat (2) jelas bahwa konstitusi mengatur tentang pelaksanaan pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Sehingga putusan MK di atas tentu janggal. Lalu, terkait dengan pilihan alternatif model pemilihan serentak yang disediakan oleh MK kepada pembuat UU, dalam hal ini adalah DPR, hanya pada poin pertama yang sesuai dengan UUD. Selebihnya bermasalah. Terhadap apa? Terhadap UUD tentunya. Karena pemilihan gubernur, bupati dan walikota jelas-jelas bukan bagian dari bab tentang pemilu sesuai Pasal 22E UUD 1945.

 

Pada poin kedua, bahwa terdapat masalah putusan MK ini terhadap sinkronisasi putusan MK sebelumnya. Pertama, MK pernah memutus untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial harus dilaksanakan pemilu serentak pilpres dan pileg (DPR, DPD dan DPRD), putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan itu atas permohonan Effendi Gazali terkait uji materi UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam UU ini, pada pemilu dilaksanakan dua tahap, pileg dan pilpres. Pencalonan pilpres oleh partai dan gabungan partai berdasarkan hasil pileg.

 

Dasar pertimbangan MK dari putusan ini adalah, Pertama, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pileg akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.

 

Kedua, hak warga negara untuk memilih, mempertimbangkan sendiri hak pilihnya untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan capres/cawapres. Hanya dengan pemilu serentak warga negara dapat menggunakan haknya secara cerdas dan efisien. Sehingga pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang tidak serentak, tidak sejalan dengan prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

 

Ketiga, dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah pileg, ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

 

Tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensil. Artinya, pada putusan MK (sebelumnya) ini, MK secara institusional telah memutuskan pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD.

 

Kedua, MK pernah memutuskan bahwa pilkada bukan bagian dari pemilu, putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013. Apa jadinya kalau bagian dari tawaran alternatif MK itu justru menggabungkan pemilu dengan pilkada? Tentu sinkronisasi ini perlu diperhatikan.

 

Belum banyak publik yang paham wacana pilkada serentak di 2024, yang memang sudah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 akan dilaksanakan di bulan November tahun 2024. Pengalaman pemilu 2019 lalu, tanggal 20 Oktober 2019 Presiden/Wakil Presiden dilantik. Jadi, sebelum pilkada serentak itu DPR dan MPR sudah definitif. Begitu juga DPRD di setiap daerah.

 

Artinya, jika pilkada serentak dilaksanakan di November 2024, dapat meminimalisir kemungkinan chaos yang mengancam keamanan bahkan persatuan nasional. Tentu kita tidak mau membayangkan, jika pemilu dan pilkada serentak dilaksanakan, kemudian ada sengketa hasil, semua kandidat yang kalah menggugat, apalagi sampai chaos. Sementara belum ada pemimpin yang definitif, yang memiliki otoritas, bisa kacau negeri ini.

 

Dari kedua poin tersebut (pertama, dasar konstitusi dari putusan MK dan kedua, sinkronisasi dan harmonisasi putusan MK sebelumnya), dapat dengan jelas kita temui kejanggalan putusan MK ini. Terlebih jika kemudian kita ulas poin-poin tawaran alternatif pemilu serentak dari putusan MK tersebut (selain poin pertama), tentunya dapat disimpulkan, selain bertentangan dengan UUD juga tidak sinkron dengan putusannya terdahulu.

 

Terlepas dari polemik putusan MK itu, realitasnya kita pahami banyak masalah yang terjadi pada pemilu serentak 2019 yang lalu perlu dicarikan solusinya. Tidak hanya masalah teknis yang semrawut, hingga diduga banyaknya penyelenggara yang meninggal dunia karena kelelahan, juga masalah yang sangat substansial, terkait ditemukannya banyak suara yang diberikan dalam pemilu itu dinyatakan tidak sah.

 

Mengapa? Karena salah coblos, karena dicoblos sebelum dibuka lipatan kertas suara secara utuh, hingga coblosan mengenai bagian dari beberapa partai. Belum lagi logistik tertukar, terlambat, dan lain sebagainya. Banyak permasalahan yang memang perlu kita carikan solusinya.

 

Last but not least, jika memang kita sepakat bahwa perlu ada upaya membenahi tata kelola pemilu dan pilkada, agar permasalahan yang pernah terjadi dapat diminimalisir sebagai solusi pelaksanaan pemilu yang efektif dan efisien, dan pelaksanaannya legal sesuai konstitusi, maka perlu didorong amandemen UUD terbatas.

 

Ini penting. Tanpa amandemen UUD, jikapun kemudian DPR menjadikan tawaran alternatif itu dalam membuat/merevisi UU Pemilu sebagai draf UU dan disahkan. UU itu rawan di uji materi kembali. Bukan?

 

*)Munandar Nugraha adalah adalah pegiat pemilu.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait