Anna Maria Tri Anggraini: Srikandi Penjaga Persaingan Usaha
Edsus Akhir Tahun 2010:

Anna Maria Tri Anggraini: Srikandi Penjaga Persaingan Usaha

Banyak akademisi berubah sikap ketika diangkat menjadi pejabat publik. Mereka menarik diri dari ruang perdebatan ilmiah karena takut slip of tongue. Tidak demikian halnya dengan Tri Anggraini.

Mvt
Bacaan 2 Menit
Anna Maria Tri Anggraini, srikandi penjaga <br>persaingan usaha. Foto: Sgp
Anna Maria Tri Anggraini, srikandi penjaga <br>persaingan usaha. Foto: Sgp

Setelah diangkat menjadi komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), melalui Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2006, perempuan bernama lengkap Anna Maria Tri Anggraini ini tetap tak merasa risih hadir di acara-acara seminar dan diskusi. Terakhir, ia jadi pembicara dalam seminar Arah Kebijakan KPPU Berkaitan dengan Regulasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi yang diselenggarakan hukumonline, 16 Desember lalu.

 

Isu persaingan usaha bukan sesuatu yang baru bagi Tri, begitu ia biasa disapa. Latar belakang akademisnya banyak berkutat pada isu-isu persaingan usaha. Setelah menjadi komisioner KPPU gelombang kedua (2006-2011), keilmuannya ditantang ke dalam kasus riil.

 

Nama peraih doktor ilmu hukum dari Universitas Indonesia ini mencuat dan mendapat sorotan para pelaku usaha pada saat memimpin majelis yang memutuskan kasus fuel surcharge maskapai penerbangan di Indonesia. Dalam putusan, majelis komisioner yang dipimpin Tri menghukum sepuluh maskapai penerbangan Indonesia akibat menetapkan fuel surcharge sebagai komponen tarif pengganti biaya kenaikan harga avtur. Meski kemudian kasusnya masih berlanjut hingga kasasi hingga saat ini, ‘gebrakan’ yang dilakukan majelis KPPU tersebut cukup menyita perhatian masyarakat. “Itu salah satu kasus paling saya ingat sepanjang karir saya sebagai komisioner. Salah satu masa berat saya di KPPU,” kenang Tri ketika berbincang hukumonline di ruang kerjanya, Senin sore (20/12) lalu.

 

Kasus ini berat, ungkap Tri, karena majelis harus meyakinkan publik bahwa proses persidangan yang dijalankan KPPU murni sesuai koridor hukum. Tidak ada intervensi pihak lain yang mempengaruhi majelis. “Hal itu tidak gampang,” ujarnya.

 

Tri memulai karirnya di KPPU sejak 4 Januari 2007. Sebelumnya, ia adalah dosen mata kuliah persaingan usaha di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, profesi yang tetap dijalaninya hingga saat ini. Tahun 2003, ia menyelesaikan studi doktoral di Universitas Indonesia, dengan disertasi yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha.

 

“Disertasi saya memang tentang hukum persaingan usaha, khususnya bagaimana melakukan pendekatan dalam mengungkap perkara persaingan. Salah satu pembimbing waktu itu adalah Prof. Erman Rajagukguk,” ujarnya. Prof. Erman adalah pakar hukum bisnis Unversitas Indonesia.

 

Dalam disertasinya, Tri berfokus pada masalah pendekatan hukum dalam mengungkap perkara persaingan usaha. Ia melakukan studi literatur untuk sebagai bahan perbandingan praktik dari empat negara, yaitu Jerman, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat.

 

Sejak bergelar doktor, Tri makin aktif terlibat dalam kajian akademis di bidang persaingan usaha. Ia sering diundang dalam seminar-seminar KPPU sebagai pembicara. Ditambah lagi, ia kemudian bekerja sama dengan Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ), salah satu lembaga penelitian dari Jerman, mengenai persaingan usaha di Indonesia. Tugasnya saat itu membuat matriks dan ringkasan setiap putusan KPPU dari tahun 2003 hingga 2005.  “Saya jadi paham bentuk putusan KPPU. Ibaratnya sudah di luar kepala,” katanya.

 

Kegiatan akademis seperti itu juga membuat Tri memahami praktik kerja KPPU lebih dalam. Selama ini, akunya, ia hanya berkutat pada teori, dalam kedudukan sebagai mahasiswa doktoral dan dosen. “Dari situ, saya mulai memahami seluk beluk persaingan usaha secara praktek,” ujarnya.

 

Awal 2006, KPPU membuka lowongan untuk posisi komisioner. Tri mendapat info dari rekannya dan disemangati untuk mendaftar. Awalnya ia mengaku tidak tertarik. “Kalau di dalam, saya jadi tidak bisa mengkritisi dan memberi masukan secara bebas,” tepisnya.

 

Namun, ternyata banyak kalangan yang mendorongnya ikut proses seleksi. Dorongan terutama datang dari rekan dan gurunya sesama akademisi. Akhirnya, setelah melalui pertimbangan matang, Tri memutuskan ikut seleksi komisioner KPPU. “Saya kemudian berpikir, kalau memang saya berkesempatan memberi kontribusi perbaikan dan perubahan dari dalam, terutama dari sisi hukum, mengapa tidak”.

 

Tri menceritakan, ada empat tahap seleksi yang harus dilaluinya sebelum terpilih sebagai komisioner KPPU. Pertama, tahap umum yang berisikan tes pemahaman substansi UU, teori persaingan usaha, dan beberapa jenis lainnya. Lolos dari tahap ini, psikotes sudah menunggu. Kemudian, tahap selanjutnya adalah wawancara oleh komisioner KPPU. Tri menyebut, ketiga tahap awal ini tidak begitu sulit ia lewati. “Mungkin karena sudah keseharian saya,” katanya.

 

Tahap terakhir diakui Tri paling mendebarkan dan menarik. Ia harus berhadapan dengan empat puluhan anggota Komisi VI DPR untuk menjalani fit and proper test. “Saya cukup deg-degan waktu itu. Ada enam belas orang yang memberikan pertanyaan selama sekitar 1,5 jam,” kenangnya.

 

Duduk dan ‘disidang’ puluhan anggota DPR jadi pengalaman baru bagi Tri. Memang, sebelum uji kelayakan itu, ia sudah terbiasa datang ke Senayan, biasanya ke komisi VI pada saat proses pembahasan RUU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Tentunya beda, saat itu saya duduk di balkon sebagai pengunjung umum. Juga tidak terlibat langsung dengan proses yang sedang terjadi di sidang DPR. Sementara, pada FPT saya justru sendirian berhadapan dengan para anggota DPR,” lanjutnya.

 

Keempat tahapan seleksi ini ternyata dijalani Tri dengan baik. Hasilnya, ia salah satu calon yang dinyatakan lolos dan ditetapkan sebagai Komisioner KPPU. “Surat Keputusan pengangkatan saya keluar pada akhir tahun 2006, meski saya resmi bertugas awal tahun 2007,” jelasnya.

 

Intervensi

Sebagai komisioner, banyak pengalaman menarik yang ditemuinya. Ia berhasrat bisa mengungkap banyak perkara persaingan usaha seperti kartel yang merugikan mayoritas masyarakat Indonesia. Itu juga salah satu alasan yang mendorongnya memutuskan mendaftar proses seleksi.

 

Namun, hampir tiga tahun bekerja, kebanyakan perkara yang disidangkan KPPU hanya berkaitan dengan proses lelang pengadaan barang dan jasa. Jumlahnya hampir 80 persen dari total perkara yang masuk ke KPPU. Meski demikian, Tri tidak kecewa.

 

“Buat saya bekerja di tempat yang baru ini tantangan. Waktu saya masuk, lalu tahu bahwa mayoritas perkara lelang, saya tidak boleh kecewa. Memang, ada ketidakpuasan. Tapi saya justru tertantang untuk membantu kPPU mengungkap perkara lainnya,” tandasnya.

 

Menurut Tri, salah satu penyebab minimnya perkara selain lelang karena fokus KPPU hanya berdasarkan laporan yang masuk. Artinya, KPPU bersifat pasif menunggu perkara. “Masalahnya, lebih dari 80persen laporan yang masuk ke sini hanya perosalan lelang itu tadi, jadi wajar yang diurus memang kebanyakan hanya berkutat dengan lelang,” ungkapnya.

 

Karena itu, ia ikut mendorong KPPU lebih berani mengambil perkara inisiatif, tidak hanya menunggu laporan yang masuk. Lembaga ini kemudian aktif melakukan pengawasan yang berujung pada perkara inisiatif. “Ini bukan hal yang mudah. Tidak gampang mengubah paradigma di KPPU untuk berani memonitoring, butuh keberanian, ketekunan, dan komitmen dari setiap anggota,” tegasnya.

 

Sebagai hakim, Tri juga mengaku tidak bebas dari intervensi. “Pasti ada saja yang mau intervensi perkara,” katanya. Intervensi ini, ungkapnya, bisa datang dari pihak yang berperkara maupun pihak lain.

 

Untuk mengatasinya, Tri selalu berusaha berpegang pada norma dan aturan yang ada. Itu juga yang menjadi jawabannya terhadap pihak yang berupaya mengintervensi. “Saya katakan, saya bekerja berdasarkan norma dan aturan yang ada. Silakan mau diklaim itu saudaranya atau bahkan perusahaannya. Saya juga ingatkan, putusan KPPU pasti dibaca oleh publik. Kalau ada putusan yang aneh, pasti diperhatikan. Ini taruhannya profesi dan amanah,” tegasnya.

 

Selain itu, Tri mengatakan antar komisioner saling mendukung. Setiap perkara yang masuk, biasanya dibahas dalam rapat komisi. Semua komisioner terlibat. Sementara, jika sudah masuk sidang majelis, memang kewenangan tim majelis. Namun, tetap selalu dilaporkan ke komisi. Sekretariat punya catatan tim majelis dan perkara yang dipegangnya. “Untungnya, para pihak yang mencoba mengintervensi selalu mundur sendiri,” ujarnya.

 

Selain bertugas sebagai 'hakim' KPPU, Tri juga merupakan ketua Tim Interdepartemen penyusunan rancangan pemerintah mengenai merger dan akuisisi. RPP ini sudah lama ditunggu keberadaannya sejak pengundangan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Akhirnya, setelah sepuluh tahun menunggu, Presiden menandatangani RPP ini pada tanggal 20 Juli 2010.

 

“Saya bersyukur akhirnya tugas itu terlaksana dengan baik. Tentu saja, keberhasilan ini tidak lepas dari kerjasama yang solid dengan rekan-rekan lain di Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perdagangan, Bapepam, BI, BKPM, serta dukungan dari rekan-rekan di KPPU,” ujarnya merendah.

 

Dukungan Keluarga

Sebagai perempuan, Tri merupakan salah satu panutan keberhasilan peran profesional dan rumah tangga. Ia mengungkapkan, dukungan keluarga sangat menguatkannya menjalankan tugas. Baginya, tugas sebagai ibu dan istri harus dapat diseimbangkan sesuai porsi masing-masing.

 

“Sejauh ini saya rasa seimbang antara tugas di rumah dengan di kantor. Tidak ada masalah dengan hal itu. Karena keluarga saya baik suami dan anak-anak sangat mendukung untuk saya menjalankan tugas,” ujar perempuan kelahiran Kudus, 16 Januari 1963 ini.

 

Tugas kantor acapkali ‘memakan waktu keluarga. Namun, Tri cukup beruntung kedua anaknya sudah dewasa dan punya kesibukan sendiri. Anak pertamanya sedang menjalani ko-ass sebagai calon dokter lulusan Universitas Trisakti. Sementara, si bungsu telah lulus dari jurusan akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. “Kondisi ini juga yang menjadi kemudahan saya menjalankan tugas,” katanya.

 

Dukungan suami pun dirasakan Tri sangat besar. Ia mengatakan, suaminyalah yang mendorong untuk tetap meneruskan pendidikan hingga ia dapat menyelesaikan studi doktoral. “Suami juga yang mendukung saya untuk sekolah terus, karena saya dosen. Dia bilang, dosen itu yang dilihat ilmunya, semakin kamu berilmu akan semakin dihargai,” ungkapnya.

 

Selain itu, Tri mengaku cukup beruntung suaminya tidak bekerja pada sektor yang berkaitan dengan dunia usaha. “Suami saya bergerak di sektor sosial, salah satu aktivis lembaga non pemerintah Keanekaragaman Hayati. Jadi, untungnya tidak ada konflik kepentingan dengan tugas saya sebagai KPPU,” ujarnya sambil tersenyum.

 

Tri mengatakan, kehidupan keluarganya sangat harmonis. “Secara kuantitas pertemuan kami memang berkurang karena kesibukan, apalagi saya juga mengajar di kampus. Di KPPU sendiri, kalau ada kasus besar, memang sangat menyita waktu. Saya sering harus pulang hampir tengah malam. Namun, secara kualitas komunikasi keluarga kami sangat baik”.

 

Ditanya pandangannya tentang peran perempuan di sektor publik, Tri menegaskan setiap perempuan punya potensi untuk berhasil menjalankan peran profesional dan rumah tangga dengan seimbang. “Perempuan itu punya kelebihan. Biasanya lebih sabar, lebih akomodatif, lebih teliti, lebih komunikatif. Saya kira itu kekuatan perempuan untuk memimpin,” tandasnya.

 

Tri berharap, setiap perempuan bisa menggali potensi dan talenta masing-masing. “Jangan ragu-ragu dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai profesi. Dengan demikian, amanah itu dapat dijalankan dengan baik,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait