Angie Bisa Dijerat Pasal Pencucian Uang
Berita

Angie Bisa Dijerat Pasal Pencucian Uang

Bila menerima penempatan harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil kejahatan, Angelina Sondakh dapat dikenakan Pasal 5 UU TPPU.

NOV
Bacaan 2 Menit
Angelina Sondakh usai diperiksa KPK. Foto: Sgp
Angelina Sondakh usai diperiksa KPK. Foto: Sgp

Sejak UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) diundangkan, baru Wa Ode Nurhayati yang dikenakan pasal TPPU oleh KPK. Sementara dalam kasus korupsi pembangunan wisma atlet Jakabaring yang menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, KPK tidak menggunakan UU TPPU. Nazaruddin baru dijerat UU TPPU kemudian oleh KPK, terkait pembelian saham Garuda.


Begitu pula dengan Angelina Sondakh. KPK hanya mengenakan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR ini dengan Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun, sejumlah pihak mendorong agar KPK melengkapi dugaan korupsi Angie –sapaan akrab Angelina- dengan tindak pidana pencucian uang.


Angie diduga menerima suap sejumlah Rp5 miliar terkait pembangunan wisma atlet. Selain dugaan menerima suap, ada sejumlah transaksi keluar masuk rekening mantan Putri Indonesia ini. Meski demikian, Kepala PPATK M Yusuf enggan mengungkapkan berapa aliran dana yang keluar masuk rekening Angie. Dia mendukung KPK untuk mulai menerapkan UU TPPU.


“Sekarang ini, kami menginginkan ada semangat KPK. Ambil contoh, kasus AS (Angelina Sondakh). Kami melihat bisa kena Pasal 5 UU TPPU, bisa kena Pasal 2 UU Tipikor. Mau dari sisi mana dipakai. Tapi, kalau menurut saya, hendaknya memakai TPPU supaya ada equal treatment. Kalau satu pihak penerima akan kena, yang lain juga akan kena,” katanya dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (5/5).


Yusuf meyakini Pasal 5 UU TPPU dapat dikenakan terhadap Angie apabila anggota Komisi X DPR ini menerima penempatan harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil kejahatan. Meski demikian, bukan cuma Angie yang dilaporkan PPATK memiliki transaksi mencurigakan, ada sejumlah anggota Banggar yang transaksinya sudah dilaporkan PPATK ke KPK.


Sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU, setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana akan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.


Pengenaan UU TPPU ini juga didukung oleh Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada, Oce Madril. Menurutnya, penerapan UU TPPU akan mempermudah KPK untuk menelusuri kemana saja aliran uang itu. Apalagi jika nantinya Angie menjadi justice collaborator, akan banyak penerima dana yang terungkap.


“Angelina misalnya buka suara dan mengungkap ada pejabat penyelenggara negara di Kemenpora, Kemendikbud atau Komisi X DPR, Banggar, atau partai politik menikmati dana itu. Dana itu mengalir kemana saja, bisa dikejar KPK dengan UU TPPU. Selama ini kekhawatirannya, aktor yang terlibat lolos dan tidak bisa dijerat. Itu mungkin bisa diminimalisir,” ujarnya.


Lalu bagaimana teknik penerapannya? Oce menuturkan KPK harus menggabung penyidikan korupsi dengan TPPU sekaligus. Bagi setiap orang yang menerima, menyimpan, dan lain sebagainya harta kekayaan yang patut diduga hasil tindak pidana dapat dijerat dengan UU TPPU. Jika KPK telah menemukan cukup bukti, KPK diminta tidak ragu menjerat Angie dengan UU TPPU.


Terpisah, Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan sampai saat ini KPK belum mengenakan pasal TPPU kepada Angie. “Namun, tidak tertutup kemungkinan pasal tersebut dikenakan jika memang ada unsur-unsur atau bukti-bukti yang mengarah ke sana,” tuturnya dalam pesan blackberry.


Pegajar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Ganjar L Bondan, menerangkan pada dasarnya pendekatan pencucian uang itu semacam mengadopsi nilai-nilai dalam hukum Islam. Sesuatu yang haram, mau dipakai untuk apapun tetap akan haram. Siapapun yang menikmatinya juga juga akan ikut berdosa. “Yang menarik adalah ada orang yang melakukan pencucian uang secara aktif dan pasif”.


Ganjar menjelaskan, pelaku TPPU aktif belum tentu pelaku tindak pidana asal (predicat crime) pencucian uang. Misalnya saja, koruptor memberikan uang hasil korupsi kepada istrinya. Istrinya lalu membelanjakan, melakukan transaksi, atau menitipkan uang itu ke saudaranya, adiknya, dan keponakan. Si istri dapat dikategorikan sebagai pelaku TPPU aktif karena menyembunyikan uang hasil korupsi dengan menitipkan ke keluarganya.


Sementara, yang disebut pelaku TPPU pasif adalah mereka yang menampung uang hasil tindak pidana. Ganjar mencontohkan, jika seseorang yang menitipkan uang hasil kejahatannya ke orang lain. Orang lain ini juga dapat dikenakan TPPU. Karenanya, masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan dalam menerima penitipan uang, bertransaksi, atau melakukan penjualan.


Ganjar melanjutkan, modus pencucian uang yang sering dilakukan adalah memecah-mecah lewat transaksi-transaksi dengan tujuan menyamarkan asal usul harta kekayaan yang didapat dari tindak pidana. Harta tersebut biasanya dibelikan barang, rumah, saham, yang kemudian dijual kembali. Untuk menelusurinya, biasanya dilakukan prinsip follow the money.


TPPU Miskinkan Koruptor
Sejak UU TPPU pertama disahkan, aparat penegak hukum jarang sekali menggunakannya untuk menjerat pelaku kejahatan. Oce mengatakan, kasus korupsi menonjol yang menggunakan TPPU adalah kasus Bahasyim Assifie. Harta kekayaan mantan pegawai pajak ini terbukti sebagai TPPU. Kejaksaan telah mengeksekusi dan menyetorkan harta sejumlah Rp60,8 miliar dan AS$681 ribu ke kas negara.


Menurut Oce, TPPU ini dapat dijadikan sarana untuk memiskinkan koruptor. Setidaknya, ada empat manfaat penggunaan UU TPPU. Pertama, dari sisi aktor tindak pidana, akan sangat banyak yang bisa dijerat, termasuk korporasi. Kedua, dari sisi hukuman jelas akan lebih menjerakan karena ancaman hukumannya tidak main-main. Bahkan untuk korporasi pidana dendanya mencapai Rp100 miliar.


“Ketiga, TPPU ini efektif untuk mengembalikan aset negara yang dicuri oleh koruptor. Dimanapun dia menyimpan aset itu, dalam bentuk apapun, properti, mobil, saham, surat berharga bisa disita dengan sangat cepat. Keempat, yang paling penting adalah untuk memiskinkan koruptor. Tidak hanya orang per orang, tapi juga korporasi,” ujarnya.


Pendapat Oce ini juga diamini anggota Komisi III DPR Indra. Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menuturkan TPPU tidak hanya memberikan hukuman badan. Selain memudahkan penyidik, jaksa, dan hakim dalam menangani perkara, penerapan TPPU dapat memiskinkan koruptor. Sebab, jika pelaku tidak dapat melakukan pembuktian terbalik, harta dan asetnya dapat disita.


Berbeda dengan tindak pidana korupsi yang pembuktiannya cukup sulit. Indra merasa miris dengan hukuman dan denda ringan yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi. Kondisi ini mencederai rasa keadilan di masyarakat. “Bayangkan saja, mereka dijatuhi hukuman 2 atau 3 tahun penjara dengan dana korupsi yang begitu besar.  Mereka masih bisa membeli fasilitas di lapas. Ini sudah menjadi rahasia umum lah”.


Indra melanjutkan, uang hasil korupsi para terpidana masih dapat mereka nikmati setelah keluar dari penjara. Keluarganya pun masih dapat menikmati uang hasil korupsi ketika si terpidana menjalani masa hukuman. Untuk itu, Indra mengajak semua pihak untuk mendorong implementasi UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU


“Harusnya proses pemiskinan itu harus diberikan. Karena kalau tidak dimiskinkan, tidak ada penyitaan aset dari hasil tindak pidana korupsi atau tindak pidana lainnya, mereka akan tenang-tenang saja. UU TPPU ini memberi ruang lebih lebar setiap hasil tindak pidana korupsi dapat disita oleh negara. Saya yakin kalau dilakukan secara konsekuen, efek jera itu akan terlihat,” tuturnya.

Tags: