Anggota DPR Usulkan Pelaksanaan PP Pengupahan Ditunda
Berita

Anggota DPR Usulkan Pelaksanaan PP Pengupahan Ditunda

Komisi IX DPR akan panggil Menteri Ketenagakerjaan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Aksi unjuk rasa buruh menolak PP Pengupahan. Foto: RES
Aksi unjuk rasa buruh menolak PP Pengupahan. Foto: RES
Polemik PP Pengupahan belum berakhir. Selain mendapat kecaman keras dari kalangan buruh, DPR juga bereaksi. Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, mengatakan dalam waktu dekat Komisi IX melayangkan surat kepada Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri.

Intinya, dikatakan Irma, surat itu mendesak Menaker untuk menunda pelaksanaan PP Pengupahan. Penundaan itu dilakukan sampai Menaker memberi penjelasan tentang alasan penerbitan PP Pengupahan kepada DPR. "Pemerintah harus mempertanggungjawabkan PP Pengupahan ini kepada Komisi IX. Kami akan memanggil Menaker," kata Irma dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Kamis (05/11).

Irma mengatakan Pemerintah tidak boleh menerbitkan kebijakan tanpa melibatkan pemangku kepentingan. Ia menduga proses pembahasan PP Pengupahan tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan, seperti seluruh serikat pekerja. Padahal, materi yang dibahas sangat penting bagi kesejahteraan pekerja.

Ia menilai kebijakan pengupahan selama ini belum berjalan baik. Misalnya, dalam menerapkan UMP, masih ada perusahaan skala menengah-kecil belum mengimplementasikan UMP secara optimal. Sementara untuk perusahaan skala menengah-besar walau sebagian besar sudah menerapkan UMP sebagai upah terendah tapi belum cukup baik menerapkan upah layak. Padahal, upah layak itu mendorong agar buruh dan keluarganya dapat hidup sejahtera.

Irma mengusulkan agar kebijakan pengupahan jangan hanya terpaku pada penetapan UMP, tapi juga mengatur upah layak. Jika perusahaan mencapai target produksi dan keuntungan, misalnya,  upah yang diberikan kepada buruh jangan lagi mengacu upah minimum, tapi pada upah layak. Itu bisa dilakukan dengan memberi tunjangan tambahan untuk buruh.

"Itu harus dipikirkan pemerintah untuk membentuk regulasinya. Sehingga bagi perusahaan yang mampu maka upah yang diberikan jangan sekedar upah agar buruh mampu bertahan hidup, tapi hidup layak," ujarnya.

Anggota Komite Aksi Upah (KAU) dari KP-KPBI, Ilhamsyah, mengatakan sejak awal serikat pekerja berkomitmen untuk melawan PP Pengupahan sampai regulasi itu dicabut atau direvisi. Buruh sudah merancang kegiatan dalam bentuk demonstrasi sampai mogok kerja nasional dari 24 Oktober sampai 18 November 2015.

Pemerintah diharapkan peka atas kegiatan yang dilakukan buruh di berbagai kota itu dan segera merevisi PP Pengupahan. Ilhamsyah mengatakan pembahasan PP Pengupahan mestinya melibatkan pemangku kepentingan. "Kami menuntut pemerintah segera mencabut PP Pengupahan dan berunding dengan serikat buruh sebelum menerbitkan regulasi itu," paparnya.

Sekjen KSPI, Muhammad Rusdi, mengatakan buruh menolak PP Pengupahan karena memuat ketentuan yang merugikan buruh. Diantaranya, kenaikan UMP setiap tahun menggunakan formula yang variabelnya terdiri dari UMP tahun berjalan, inflasi dan pertumbuhan nasional. Formula itu dinilai bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan UMP diterbitkan oleh gubernur mengacu survei KHL dan mempertimbangkan inflasi serta pertumbuhan ekonomi.

Kemudian, PP Pengupahan membuat penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) tidak jelas. Sebab, PP Pengupahan menyebut gubernur bisa menetapkan UMSP jika ada kesepakatan antara asosiasi pengusaha sektoral dengan serikat pekerja. Padahal, tidak semua daerah memiliki asosiasi pengusaha sektoral. "Kami sudah menyiapkan tim untuk melakukan Judicial Review terhadap PP Pengupahan ke Mahkamah Agung," tegasnya.

Sebelumnya, staf ILO Jakarta, Soerharjono, mengatakan kantor ILO Jakarta siap memfasilitasi para pemangku kepentingan untuk berunding guna mencari solusi atas diterapkannya PP Pengupahan. Secara pribadi ia menilai tidak sedikit ketentuan dalam PP Pengupahan yang relatif baik mengatur pengupahan. Namun, karena proses pembentukannya tidak melibatkan pemangku kepentingan, diantaranya buruh, maka terjadi penolakan yang masif.

"Banyak serikat buruh yang laporan ke kami mengatakan pembentukan PP Pengupahan tidak melalui kaidah-kaidah konsultasi tripartit," kata Soerharjono.

Soerharjono mengingatkan pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO seperti Konvensi No. 144 tentang Konsultasi Tripartit. Konvensi itu mengamanatkan semua pembahasan kebijakan berkenaan dengan hubungan industrial wajib dikonsultasikan dengan baik. Mengingat PP Pengupahan terkait kebijakan yang bersinggungan dengan hubungan industrial maka mengacu konvensi itu pembahasannya wajib melibatkan pemangku kepentingan baik buruh dan pengusaha. Ia meminta Pemerintah mendorong konsultasi tripartit yang lebih baik.
Tags:

Berita Terkait