Anggota DPR Minta Penanganan Korupsi di BUMN Jangan Terlalu Terbuka
Berita

Anggota DPR Minta Penanganan Korupsi di BUMN Jangan Terlalu Terbuka

Di tengah tuntutan keterbukaan akhir-akhir ini, penanganan korupsi di sejumlah BUMN justru disarankan harus dilakukan dengan lebih tertutup. Apa alasannya?

Zae
Bacaan 2 Menit
Anggota DPR Minta Penanganan Korupsi di BUMN Jangan Terlalu Terbuka
Hukumonline

Saran penanganan dugaan korupsi di sejumlah BUMN itu dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi VI, Irmadi Lubis, saat ditemui di sela-sela rapat dengar pendapat dengan sejumlah Dirut BUMN di Jakarta (26/5).

 

Irmadi mengatakan, pemerintah khususnya Menteri Negara BUMN harus hati-hati dalam menangani dugaan korupsi di BUMN. Seharusnya, ujar Irmadi, pemerintah tidak menyamakan penanganan korupsi di BUMN biasa dengan BUMN yang sudah berstatus Tbk (terbuka).

 

"Penanganannya justru harus lebih tertutup, jangan terlalu terbuka," ujar Irmadi. Alasannya, ada resiko anjloknya harga saham jika penangan secara terbuka dilakukan pada BUMN yang sudah go publik. Akibatnya, ujar Irmadi, kerugian negara bisa lebih besar dari nilai korupsinya sendiri.

 

Komentar Irmadi tersebut terkait dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara BUMN, Sugiharto, berkaitan dengan dugaan korupsi di sejumlah BUMN beberapa waktu yang lalu.

 

Sugiharto saat itu mengemukakan sekitar 15 BUMN terindikasi korupsi di dalamnya. BPK sebagai pihak yang melakukan audit juga menyerahkan laporannya kepada pihak kejaksaan yang langsung ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan memeriksa sejumlah pejabat BUMN yang terindikasi melakukan korupsi.

 

Irmadi Lubis juga mengkritik laporan menteri baru dilakukan setelah adanya audit dari BPK. "Sebelum BPK menemukan satu kecurangan, seharusnya menteri sebagai wakil pemerintah pemilik BUMN yang lebih dulu menemukan. Kalau dia tidak menemukan, berarti selama ini ada pembohongan atau dibohongi," ujar Irmadi.

 

Diganti dulu

Langkah lebih tertutup itu, menurutnya, bukan berarti mengingkari prinsip keterbukaan dan transparansi seperti yang dituntut selama ini. Lagipula yang dimaksudnya bukan tertutup sama sekali, namun pemerintah baru menindak secara terbuka setelah tersangka korupsi dilepas dari jabatannya di BUMN itu.

 

Jadi harus ada koordinasi antara Meneg BUMN, BPK, dan aparat penegak hukum. "Kalau sudah pasti pelakunya, diganti dulu baru mereka di-uyek-uyek. Jangan selagi dia menjabat. Justru akan berpengaruh negatif," sarannya.

 

Satu hal lagi yang diingatkan Irmadi, bahwa langkah pemberantasan korupsi sekarang sepertinya yang sudah keluar dari sistem ketatanegaraan. Hal ini terkait langkah BPK masih berpegang pada UU No. 5 Tahun 1973, dimana BPK menyampaikan hasil temuan pidana pada pemerintah.

 

Padahal, dengan adanya amandemen UUD 1945 khususnya pasal yang mengatur mengenai  BPK, menurut Irmadi, lembaga itu kewajibannya menyerahkan hasil penilaian sementara (hapsem)-nya kepada tiga pihak saja. Yakni kepada DPR, DPD, dan DPRD.

Tags: