Anggota DPR Menduga Kejaksaan Sengaja Membiarkan Samadikun Kabur
Berita

Anggota DPR Menduga Kejaksaan Sengaja Membiarkan Samadikun Kabur

Ternyata, ada tiga surat 'jaminan' yang meluluhkan hati petinggi Kejaksaan Agung untuk memberi izin berobat kepada Samadikun. Bahkan ia sudah sempat booking pesawat SQ161 untuk penerbangan Jakarta-Tokyo pada 5 April 2003.

Mys
Bacaan 2 Menit
Anggota DPR Menduga Kejaksaan Sengaja Membiarkan Samadikun Kabur
Hukumonline
Fakta itu diungkapkan sendiri oleh Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) Kejaksaan Agung Basrief Arief di depan anggota Komisi II DPR di Jakarta, Senin (8/09). Sayangnya, fakta tadi belum memberi petunjuk nyata bagi Kejaksaan untuk mengungkap tabir keberadaan terpidana empat tahun kasus korupsi BLBI Bank Modern tersebut.

Itu sebabnya anggota Komisi II Mutammimul 'Ula menengarai ada kesan bahwa aparat Kejaksaan Agung sengaja membiarkan Samadikun kabur dari jerat hukum. Anggota Dewan dari Partai Keadilan itu curiga ada trik yang disengaja untuk membiarkan Samadikun lolos.

Kejaksaan Agung sendiri sudah berkali-kali memberi penjelasan, yang memberi kesan bahwa tidak ada permainan di balik lolosnya Samadikun. Terakhir, penjelasan dari JAM Intel di depan Komisi II tadi. Bagi yang mencermati kronologis kasusnya secara rinci, barangkali akan menemukan sejumlah tanda tanya besar. Simak saja penjelasan Basrief Arief yang dipadu dengan catatan-catatan hukumonline berikut ini. 

Pada dasarnya jaksa penuntut umum telah melakukan penuntutan terhadap Samadikun Hartono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa menuntut hukuman satu tahun penjara, tetapi kemudian pengadilan berpendapat lain. PN Jakarta Pusat malah membebaskannya. Bahkan dalam salah satu diktumnya, majelis hakim pimpinan Rusydi As'ad menyatakan agar hak-hak terdakwa dipulihkan.  

Dalam menangani kasus ini. Kejaksaan telah melakukan pencegahan terhadap Samadikun sebanyak tiga kali. Pertama pada tahun 2000, lalu diperpanjang tahun berikutnya. Terakhir, ia dicegah bepergian ke luar negeri pada 2003.

Di satu sisi,  memang putusan PN Jakarta Pusat memerintahkan untuk memulihkan hak-hak terdakwa. Bisa jadi terdakwa menganggap putusan tingkat pertama itu berarti terdakwa berlaku bebas. Akan tetapi, jaksa Yan W. Mere menyatakan kasasi.

Tiga surat jaminan

Seiring dengan pengajuan memori kasasi, Kejaksaan juga membuat surat pencegahan bepergian ke luar negeri terhitung mulai  21 Maret 2003. Alasannya, jika nanti permohonan kasasi diterima, akan lebih mudah dieksekusi.

Belakangan terungkap bahwa sebulan sebelum cekal ketiga itu, tepatnya pada Februari 2003, Kejaksaan sudah menerima tiga surat 'jaminan'. Pertama, surat jaminan yang dibuat Ny. Nelly  Chandra, yang tidak lain adalah isteri Samadikun sendiri. Kedua, surat dari R. Awamoto, Sekretaris Bagian Kardiologi dan Katarisasi Kamamura General Hospital, Tokyo. Dan ketiga, surat dari dr Yamin dan dr Kunardi Budiharjo dari Rumah Sakit Honoris Tangerang.

Atas dasar jaminan itulah Jampidsus mengeluarkan izin berobat, meskipun Samadikun masih dalam status cekal. Kejaksaan bersandar pada dua hal. Pertama, kewenangan memberi izin itu ditolerir dalam pasal 33 Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Kedua, putusan PN Jakarta Pusat yang membebaskan Samadikun. Surat izin untuk berobat ke Jepang diterbitkan pada 27 Maret 2003, tetapi hanya berlaku untuk 14 hari.

Pada awal Juni 2003, majelis hakim agung pimpinan Toton Suprapto mengumumkan secara terbuka bahwa putusan PN Jakarta Pusat sudah dianulir. MA menyatakan Samadikun terbukti korupsi dan menjatuhkan vonis 4 tahun penjara.

Walaupun sudah diumumkan secara terbuka dan langsung oleh ketua majelis hakim agung kasasi, Kejaksaan tidak langsung melakukan eksekusi. Alasannya selalu klise, kejaksaan belum menerima salinan putusan. Memang, salinan putusan itu baru diterima Kejari Jakarta Pusat pada Juli 2003.

Meski sudah menerima salinan putusan kasasi, Kejaksaan tidak langsung eksekusi. Dengan alasan formalitas, Kejaksaan terlebih dahulu mengirimi Samadikun surat panggilan untuk memenuhi eksekusi. Setelah surat-suratnya tidak digubris barulah Kejaksaan mendatangai rumah Samadikun di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Begitu didatangi, Samadikun sudah raib.

Atas laporan dari Kajari Jakarta Pusat, Kejagung mencoba koordinasi dengan Ditjen Imigrasi. Apakah memang izin berobat itu sudah digunakan atau belum. Setelah dilakukan koordinasi, Kedubes Jepang mengakui sudah menerbitkan visa tertanggal 31 Maret 2003.

Kemudian pada 1 April, Ditjen Imigrasi menulis surat ke Bandara Soekarno-Hatta hanya ada satu pintu keluar bagi Samadikun melakukan pengobatan di Jepang. Pelacakan berikutnya berhasil menemukan fakta bahwa pada permohonan visa tersebut tercantum bahwa Samadikun sudah booking pesawat SQ161 untuk berangkat ke Tokyo pada 5 April 2003. Setelah dilacak berdasarkan print out penerbangan pesawat dimaksud, ternyata pada tanggal tersebut tidak ada penumpang bernama Samadikun Hartono berangkat ke Jepang.

Oleh karena hanya satu pintu keluar yang diterbitkan Ditjen Imigrasi bagi Samadikun, Kejaksaan menarik asumsi-asumsi  apakah yang bersangkutan berada di wilayah yurisdiksi Indonesia atau tidak. Atas dasar itu, Kejagung berkoordinasi lagi dengan Imigrasi Jepang. Dari sini, diperoleh informasi bahwa memang tidak ada  nama Samadikun  masuk di Jepang.

Basrief mengakui Kejagung belum cukup puas dengan penjelasan demikian. Lagi-lagi Kejagung meminta bantuan Ditjen Imigrasi untuk melakukan pelacakan terhadap semua pintu keluar yang ada di wilayah RI. Ternyata, sampai sekarang belum didapatkan. Pelacakan itu sendiri terhalang oleh sistem manual yang ternyata masih diterapkan Imigrasi terhadap WNI.

Kejaksaan terus mengupayakan. Pada 30 Juli 2003 JAM Intel menerbitkan surat perintah untuk memback-up proses eksekusi. Surat itu memerintahkan beberapa personil jaksa untuk melakukan pencarian dan penangkapan Samadikun. Disusul pula oleh langkah JAM Pidsus yang membuat surat kepada Kabareskrim Mabes Polri untuk melacak keberadaan Samadikun. Toh, hingga sekarang batang hidung Samadikun belum kelihatan. Ataukah ia akan bernasib seperti Edy Tansil?

Tags: