Anggota DPR Ingatkan Pentingnya RUU PPRT untuk Melindungi PRT
Terbaru

Anggota DPR Ingatkan Pentingnya RUU PPRT untuk Melindungi PRT

RUU PPRT sangat penting karena UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengatur pekerja rumah tangga (PRT).

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kalangan organisasi masyarakat sipil telah lama mendorong pemerintah dan DPR untuk segera membahas dan menerbitkan RUU Perlindungan PRT. Beberapa kali RUU PPRT masuk dalam program legislasi nasional, tapi pembahasannya tak kunjung tuntas. Wakil Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya, menjelaskan urgensi UU PPRT antara lain sebagai payung hukum untuk melindungi PRT dari eksploitasi, diskriminasi, penindasan, dan ketidakadilan.

Politisi partai Nasional Demokrat (NasDem) itu mendorong RUU PPRT untuk segera menjadi usul inisiatif DPR agar bisa segera dibahas DPR bersama pemerintah dan disetujui menjadi UU. Willy menjelaskan selama ini pekerja di ranah sosial dan domestik tidak pernah mendapat statusnya, namun hanya diatur keberadaannya di level Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker).

"Artinya pekerja rumah tangga membantu kesuksesan dan keberlangsungan proses produksi bagi pemberi kerja. Tidak ada karier majikan sukses tanpa ada peran pekerja rumah tangga," kata Willy sebagaimana dikutip laman dpr.go.id, Kamis (3/11/2022).

Ia menegaskan RUU PPRT sangat urgen karena pekerja rumah tangga adalah orang yang berkontribusi pada proses produksi dalam sebuah rumah tangga pemberi kerja. Menurutnya, RUU PPRT sangat penting karena UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengatur terkait pekerja rumah tangga dan yang mendapatkan hak hanya pekerja di sektor formal, barang, dan jasa.

Willy mengatakan dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja yang mendapatkan hak dan perlindungan adalah yang bekerja di sektor formal. Sementara PRT bekerja di sektor informal, belum ada payung hukum setingkat UU untuk melindunginya.

"Karena itu perlu diatur tersendiri, posisinya memberi perlindungan bagi warga negara. Perbedaan pekerja formal dengan 'domestic labour' adalah fleksibilitas terkait jam kerja, jenis kerja, hubungan kerja, dan upah kerja," ujar Willy.

Ia menegaskan RUU PPRT sudah disusun sejak lama dengan melibatkan banyak pihak antara lain para sosiolog, ahli hukum, dan aktivis buruh. Dia menjelaskan fleksibilitas menjadi kekuatan bagi pekerja rumah tangga karena tidak terserap di lapangan kerja formal.

Lebih lanjut Willy menekankan dalam RUU PPRT terdiri dari dua klaster. Pertama, PRT yang direkrut berdasarkan asas kekeluargaan yaitu tanpa jasa penyalur, sehingga basisnya adalah sosio kultural. Kedua,rekrutmen PRT melalui penyalur dengan disertakan kontrak kerja yang dijelaskan secara rinci, dan sudah diatur dalam RUU PPRT agar tidak terjadi perdagangan orang.

"Tidak boleh penyalur PRT berbentuk Yayasan, namun harus berbadan hukum dan izinnya diterbitkan pemerintah kabupaten/kota agar pengawasannya lebih rinci. Selama ini izin diterbitkan pemerintah provinsi,” ujar Willy.

Sampai saat ini kalangan organisasi masyarakat terus mendesak RUU PPRT segera disahkan. Hal itu tercantum sebagai salah satu poin yang diusung kalangan serikat pekerja yang menggelar demonstrasi di gedung Kementerian Ketenagakerjaan RI, Jum’at (4/11/2022) lalu.

Setidaknya, ada 4 tuntutan yang diusung serikat buruh dalam demonstrasi tersebut yakni kenaikan UMK/UMP Tahun 2023 sebesar 13 persen; menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah isu resesi global karena Indonesia tidak mengalami resesi; menolak UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; dan segera sahkan RUU PPRT.

Tags:

Berita Terkait