Anggota DPR Ajak Muhammadiyah Berjihad di Parlemen
Utama

Anggota DPR Ajak Muhammadiyah Berjihad di Parlemen

Muhammadiyah sedang mengincar tiga UU yang akan dimohonkan untuk dibatalkan ke MK.

ALI
Bacaan 2 Menit

Sebelumnya, Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah Syaiful Bakhri mengutarakan bahwa judicial review ke MK adalah jalan terakhir. Ia mengatakan Muhammadiyah kerap menyampaikan kritik pada saat perdebatan di parlemen seperti saat perumusan UU Ormas.

“Tapi pembuat UU masih saja tidak memperhatikan catatan-catatan kecil yang kami sampaikan. Ini karena mereka ada akselerasi politik, jadi tidak mendapatkan respon. Akhirnya, perjuangan terakhirnya di MK,” ujarnya ketika diwawancarai pada awal Mei lalu.

Incar Tiga UU
Dalam diskusi Talks! Hukumonline, Ibnu Sina yang mewakili Muhammadiyah menceritakan ihwal awalnya gerakan ‘jihad konstitusi’ ini. Awalnya, pada Muktamar 1 Abad Muhammadiyah di Yogyakarta pada 2010, ada amanat untuk majelis hukum Muhammadiyah untuk melakukan serangkaian pembelaan terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang kerap diacuhkan dalam pembuatan UU, khususnya di bidang ekonomi.

“Lalu, dilakukan riset, bahkan ada yang menulis disertasi bahwa ada 115 undang-undang yang dianggap melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 33. Muhammadiyah lalu menyusun gerakan pencerahan ini. Kemudian, mengajukan judicial review UU Migas pada 2012,” ujarnya.

Singkat cerita gerakan ini mendapat dukungan dari organisasi masyarakat dan tokoh-tokoh bangsa, sehingga akhirnya permohonan dikabulkan MK. “Nah, setelah putusan UU Migas ini terlontar istilah jihad konsitusi oleh Pak Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah,-red),” ujarnya.

Lalu, berturut-turut ada UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Ormas, dan UU Sumber Daya Air yang dibawa ke MK dan akhirnya permohonan itu dikabulkan.

Ibnu Sina mengutarakan bahwa dari 115 undang-undang yang dinilai menabrak konstitusi, Muhammadiyah sudah menyaringnya beberapa UU jantung yang dinilai sangat signifikan. “Ada tiga yang sekarang kami sasar, UU Penanaman Modal, UU Ketenagalistrikan dan UU Lalu Lintas Devisa,” ujarnya.

Kepala Pusat Bantuan Hukum Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Riyatno menilai perlunya adanya kesepahaman bersama pentingnya investasi bagi Indonesia. “Daripada beli barang jadi, mending undang investornya ke Indonesia. Itu juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan,” tuturnya.

Riyatno mengatakan bahwa semua negara di dunia membutuhkan investasi dari luar negeri. “Bahkan, Amerika Serikat sekalipun juga butuh investasi asing,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dalam investasi, ada prinsip non diskriminasi yang dianut oleh negara-negara di dunia. “Pemerintah nggak boleh melakukan diskriminasi baik terhadap perusahaan nasional maupun asing,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait