Anggoro Widjojo Divonis 5 Tahun Penjara
Utama

Anggoro Widjojo Divonis 5 Tahun Penjara

Ia langsung menerima putusan itu.

NOV
Bacaan 2 Menit
Bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo divonis 5 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsidair 2 bulan kurungan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (2/7). Foto: RES.
Bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo divonis 5 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsidair 2 bulan kurungan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (2/7). Foto: RES.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Nani Indrawati menghukum bos PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp250 juta subsidair dua bulan kurungan.

Pidana lima tahun penjara merupakan ancaman pidana maksimal dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor. "Terdakwa terbukti melakukan perbarengan perbuatan korupsi sebagaimana dakwaan primair, Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor," kata Nani saat membacakan amar putusan, Rabu (2/7). 

Namun, sebelum menjatuhkan putusan, Nani mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Beberapa hal yang memberatkan Anggoro adalah perbuatan Anggoro yang melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari proses hukum, serta Anggoro yang berbelit-belit selama di persidangan.

Nani menjelaskan berdasarkan fakta-fakta dan alat bukti di persidangan, Anggoro terbukti melakukan penyuapan kepada mantan Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban, Sekretaris Jenderal Dephut Boen Mochtar Purnama, Kabiro Perencanaan dan Keuangan Dephut Wandojo Siswanto, serta sejumlah anggota Komisi IV DPR periode 2004-2009.

Dalam pertimbangannya, Nani menguraikan, peristiwa penyuapan yang dilakukan Anggoro ini bermula ketika Departemen Kehutanan (Dephut) mengajukan usulan persetujuan Rancangan Pagu Bagian Anggaran 69 Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) tahun 2007 senilai Rp4,2 triliun.

Salah satu kegiatan yang akan dilakukan dalam program tersebut adalah Revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) senilai Rp180 miliar yang akan dikerjakan PT Masaro. Demi memuluskan persetujuan anggaran SKRT, Anggoro memberikan sejumlah uang kepada sejumlah anggota Komisi IV DPR.

Setelah mengetahui dokumen anggaran 69 telah dikirimkan ke Departemen Keuangan, Anggoro meminta anaknya, David Angkawidjaya memberikan sejumlah uang kepada Ketua Komisi IV DPR Yusuf Erwin Faishal. Untuk menindaklanjuti permintaan Anggoro, David menghubungi Yusuf Erwin.

Yusuf Erwin meminta David menitipkan uang kepada Sekretariat Komisi IV Tri Budi Utami. Setelah uang diterima, Yusuf Erwin mengaku membagi-bagikan uang kepada sejumlah anggota Komisi IV, antara lain Suswono Rp50 juta, Muhtarudin Rp50 juta, dan Nurhadi M Musawir Rp50 juta. Masih ada uang lain yang diberikan Anggoro kepada Yusuf Erwin.

Hakim Anggota Ibnu Basuki Widodo melanjutkan, uang diserahkan kepada Muhtarudin di restaurant Din Tai Fung Pasific Place, Jakarta. Uang dibagi-bagikan kepada anggota Komisi IV, seperti Fachri Andi Leluasa Sing$30 ribu, Azwar Chesputra Sing$5000, Hilman Indra Sing$20 ribu, Muhtarudin Sing$30 ribu, dan Sujud Sirajudin Sing$20 ribu.

Anggoro juga memberikan sejumlah uang kepada Kaban yang ketika itu menjabat Menhut. Pemberian uang tersebut dilakukan setelah Dephut mengajukan dokumen pengesahan anggaran 69 ke Menteri Keuangan. Sepanjang Agustus 2007-Februari 2008, Kaban melalui telepon dan SMS meminta Anggoro memberikan uang.

Pada 6 Agustus 2007, Anggoro menerima SMS dari Kaban yang meminta uang AS$15 ribu. Anggoro menukarkan valuta asing (valas) senilai AS$15 ribu untuk diberikan kepada Kaban di rumah dinasnya. Pada 16 Agustus 2007, Kaban kembali menelepon Anggoro meminta uang AS$10 ribu. Anggoro lalu memberikan melalui David.

Ibnu mengungkapkan, pada 13 Februari 2008, Anggoro menghubungi sopir Kaban, M Yusuf untuk mengantarkan uang AS$20 ribu kepada Kaban. Setelah uang dititipkan kepada M Yusuf, Anggoro menelepon Kaban untuk menyampaikan informasi bahwa pesanan uang sudah dititipkan ke Yusuf, yang dijawab Kaban, “oke, oke, oke”.

Pada 25 Februari 2008, Anggoro kembali menerima SMS MS Kaban yang intinya meminta Anggoro menyediakan traveller cheque (TC) senilai Rp50 juta. Anggoro lalu memerintahkan Isdriatmoko mengantarkan TC tersebut ke Kaban di Dephut. Selang sebulan, MS Kaban kembali meminta Sing$40 ribu untuk dikirim melalui Yusuf.

Kemudian, Kaban meminta Anggoro menyumbang lift untuk Dewan Dakwah. Anggoro membeli dua unit lift dari PT Pilar Multi Sarana Utama. Gedung Dewan Dakwah tersebut biasa digunakan sebagai pusat kegiatan Partai Bulan Bintang (PBB), dimana Kaban menjabat selaku Ketua Umum PBB.

Ibnu menambahkan, setelah DIPA 69 diterbitkan, Anggoro menemui Sekretaris Jenderal Dephut Boen Mochtar Purnama untuk memperkenalkan diri sambil memberikan amplop berisi uang AS$20 ribu. Anggoro juga memberikan uang AS$10 ribu kepada Kabiro Perencanaan dan Keuangan Dephut Wandojo Siswanto pada Oktober 2007.

Hakim anggota Sinung Hermawan menjelaskan, walau Anggoro dan Kaban membantah pemberian dan penerimaan uang, rekaman percakapan telepon dan SMS menjadi fakta yang menunjukan suatu rangkaian proses permintaan uang dari Kaban yang kemudian dipenuhi Anggoro.

Rekaman telepon dan SMS itu dikuatkan pula dengan adanya keterangan ahli suara Joko Sugeng Sarwono dan alat bukti surat berupa pengambilan sample suara yang menyatakan bahwa suara dalam percakapan telepon identik dengan suara Anggoro dan Kaban.

Fakta ini didukung oleh keterangan saksi Isdriatmoko dan barang bukti catatan pengeluaran dari rekening Anggoro. “Oleh karena itu, majelis menilai sangkalan terdakwa dan Kaban hanyalah upaya untuk menghindari tanggung jawab hukum atas perbuatannya tanpa didukung alat bukti apapun,” ujar Sinung.

Sinung menyatakan penyangkalan Anggoro dan Kaban sudah sepatutnya dikesampingkan. Terlebih lagi, sangkalan Anggoro tidak konsisten karena di sisi lain, Anggoro mengakui percakapan telepon dengan Yusuf Erwin, di mana percakapan telepon tersebut menggunakan nomor telepon yang sama.

Sinung juga menganggap sangkalan Anggoro mengenai pemberian uang kepada Boen dan Wandojo sudah sepatutnya dikesampingkan. Ia beralasan meski Anggoro menyangkal, Boen dan Wandojo telah mengakui menerima uang dari Anggoro. Hal itu diperkuat dengan rekaman telepon antara Anggoro dan Wandojo yang telah diakui Wandojo.

Lebih dari itu, Boen dan Wandojo pun telah mengembalikan uang masing-masing AS$10 ribu ke KPK yang telah disetorkan ke kas negra. Dengan mempertimbangkan semua fakta dan alat bukti tersebut, majelis berkesimpulan semua unsur dalam dakwaan primair, Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor telah terpenuhi.

Copy Paste
Atas putusan majelis, Anggoro langsung menerima. Namun, menurut pengacara Anggoro, walau Anggoro menerima putusan majelis, bukan berarti Anggoro menerima kebenaran fakta yang diungkapkan majelis. Ia menilai majelis tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Tomson berpendapat, majelis meng-copy paste semua tuntutan penuntut umum. "Putusan tadi, kata demi kata, sama persis dengan surat tuntutan. Kecuali, ada hal-hal tertentu, seperti pendapat ahli yang tidak dimasukan. Bahkan, saking emosinya majelis hakim mengutip fakta hukum dua kali," tuturnya.

Ia sudah menduga majelis akan meng-copy paste surat tuntutan. Hal ini terbukti dengan uraian fakta yang sama persis dengan uraian fakta dalam surat tuntutan. Majelis ikut-ikutan mengutip adanya pemberian uang dari Anggoro ke Kaban melalui David. Padahal, tidak satu pun saksi yang menyebutkan keterlibatan David.

Majelis juga mengutip bahwa Anggoro memberikan uang kepada Kaban melalui M Yusuf. Sementara, M Yusuf sendiri tidak pernah dihadirkan sebagai saksi di persidangan. "Untuk itu, kami menganggap majelis tidak lebih dari sekedar tukang stempel. Kami akan berdiskusi lagi dengan Pak Anggoro, kan masih ada waktu tujuh hari," tandas Tomson.
Tags:

Berita Terkait