Anggaran Penurunan Stunting Rp34,1 Triliun, Titik Rawan Korupsi
Terbaru

Anggaran Penurunan Stunting Rp34,1 Triliun, Titik Rawan Korupsi

Pengalokasian dana yang cukup besar perlu diikuti pengelolaan dana yang baik.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Niken Ariati selaku Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK).
Niken Ariati selaku Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK).

Peringatan Hari Gizi Nasional jatuh pada 25 Januari. Salah satu persoalan gizi nasional saat ini yaitu fenomena stunting pada masyarakat. Anggaran belanja nasional sudah mencapai Rp34,1 triliun, di mana rincian terbesar berada di Kementerian Sosial sebesar Rp23,3 trilun, Kemenkes Rp8,2 triliun, Kemen PUPR Rp1,3 Triliun, BKKBN Rp810 miliar (sebagai koordinator pelaksana) serta tersebar di 17 Kementerian/Lembaga lainnya.

Dalam kondisi tersebut, KPK mengingatkan pentingnya pengelolaan anggaran yang diperuntukkan untuk program peningkatan gizi masyarakat secara transparan, akuntabel, dan tepat sasaran. Salah satunya pada program penurunan prevalensi stunting.

“Pengalokasian dana yang cukup besar perlu diikuti pengelolaan dana yang baik. Hal ini yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Sehingga perlu upaya lebih lanjut untuk dapat menciptakan penanganan stunting dan pengelolaannya yang bebas dari risiko korupsi,” kata Niken Ariati Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) di Gedung Merah Putih KPK.

Baca juga:

KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi juga mendapatkan informasi adanya laporan inspektorat pemerintah daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal. Selain itu, penganggaran program ini juga bukan menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah. Meskipun program ini menjadi prioritas nasional.

“Kemudian dari identifikasi yang KPK lakukan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi. Praktik tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu anggaran, pengadaan, dan pengawasan,” ujar Niken.

Pada aspek penganggaran, Niken menuturkan temuan lapangan menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya pada aspek pengadaan, adanya pengadaan yang bersumber dari DAK non fisik masih belum berjalan optimal.

Pada aspek pengadaan juga terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan sebagai contoh untuk program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek. Hal ini membuat pengadaan barang yang tidak berguna bagi masyarakat.

Pengadaan alat peraga (pendukung kampanye) juga bersifat sentralistis yang menyebutkan bahwa terdapat keterbatasan peran vendor. Vendor yang menyediakan alat tersebut harus mendapat lisensi dari BKKBN.

Pada aspek pengawasan, belum ada pedoman teknis untuk APIP dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.

“Praktik-praktik dalam aspek tersebut sangat berisiko menimbulkan penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Hal ini tidak bisa disepelekan karena akan berdampak pada pelayanan kesehatan gizi yang masyarakat dapatkan,” tegas Niken.

Dari berbagai temuan tersebut, KPK kemudian menyampaikan beberapa rekomendasinya.

Pada aspek penganggaran, KPK merekomendasikan adanya integrasi perencanaan dan penganggaran antara pusat dan pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih alokasi anggaran. Kedepannya juga dibutuhkan peran Kementerian Dalam Negeri dalam menyusun Pedoman Penyusunan APBDnya.

“Tim Stranas PK akan mendorong integrasi perencanaan dan penganggaran melalui format digital mulai dari level desa hingga pusat, termasuk monitoring proses penyusunan RKP, Renja, RKA dan DIPA, sehingga ke depan tagging anggaran untuk stunting benar-benar mendukung penurunan prevalensi stunting.” jelas Niken.

Selanjutnya pada aspek pengadaan, perlu adanya kajian efektivitas dari barang yang dihasilkan dan beban administrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan objek sehingga dapat bermanfaat. K/L juga perlu mempersiapkan dengan baik juknis dan koordinasi dengan LKPP terkait kesesuaian barang yang tampil di e-katalog.

“Selain itu, diperlukan pedoman teknis yang akan digunakan Inspektorat untuk melakukan pengawasan program percepatan penurunan prevalensi stunting ini. Rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat mencegah adanya penyimpangan dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting,” pesan Niken.

Permasalahan Stunting di Indonesia

Masalah gizi pada bayi usia di bawah lima tahun (Balita) masih menjadi masalah kesehatan yang tergolong tinggi di Indonesia. Salah satunya masalah stunting. Menurut data survei Kementerian Kesehatan RI, kasus stunting di Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 21.6%.     

Pada Oktober 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menggelar audiensi dan koordinasi terkait upaya pencegahan korupsi pada penurunan stunting Balita. Upaya penurunan stunting ini menjadi program prioritas nasional untuk mencapai target yang diharapkan pada tahun 2024.

Program ini termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Target nasional pada 2024, prevalensi stunting ditargetkan turun hingga 14 persen, dengan penurunan stunting di atas 3,3 persen per tahun.

Tags:

Berita Terkait