Anggaran Penanganan Bencana Rawan Dikorupsi di Lima Bidang Ini
Berita

Anggaran Penanganan Bencana Rawan Dikorupsi di Lima Bidang Ini

Pemerintah diminta untuk transparan dalam penggunaan dana penanganan Covid-19. Situasi darurat tak layak dijadikan alasan untuk lengah melalakukan pengawasan. 

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Anggaran penanganan bencana non-alam Corona Virus Disease Tahun 2019 (Covid-19) terus mengalami kenaikan. Dari angka Rp405,1 triliun pada 31 Maret, sudah mengalami kenaikan ke angka Rp695,2 triliun pada 16 Juni 2020. Terakhir, angkanya sudah mencapai Rp905 triliun. Jumlah anggaran ini tidak sedikit dan rawan diselewengkan jika tidak diawasi dengan baik.

Dalam kaitan itu, Freedom of Information Network Indonesia (FoINI), jaringan masyarakat sipil yang mengadvokasi isu keterbukaan informasi, meminta para pemangku kepentingan yang bersinggungan dengan penggunaan anggaran untuk transparan. Informasi penggunaan anggaran Covid-19 seharusnya dapat diakses publik. Koordinator FoINI, Ahmad Hanafi, menyatakan penggunaan anggaran yang tidak transparan sangat berbahaya. Meskipun sudah ada sejumlah perangkat regulasi yang dikeluarkan, bukan berarti anggaran besar itu tidak rawan disalahgunakan. Apalagi, hingga kini, pemerintah belum mengumumkan secara rinci penggunaan dana tersebut.

Hanafi merujuk pada Pasal 9 ayat (2) huruf c UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Berdasarkan rujukan ini, setiap badan publik wajib mengumumkan secara berkala laporan keuangan. FoINI juga mengkhawatirkan ketertutupan penggunaan anggaran membuka peluang terjadinya penyimpangan, termasuk korupsi.

Kekhawatiran itu pula yang disampaikan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Oce Madril, dan pengajar ekonomi Universitas Airlangga Surabaya Wisnu Wibowo, dalam diskusi webinar ‘Ekonomi dan Antikorupsi’, Sabtu (27/6) kemarin. “Selalu muncul kekhawatiran anggaran penanganan bencana rawan dikorupsi,” ujar Oce dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Negeri Surabaya itu. Ia menggambarkan ‘korupsi’ sebagai gelombang kedua bencana yang harus dihadapi. (Baca juga: Waspadai 4 Potensi Penyimpangan Anggaran Covid-19 di Desa)

Dalam konteks penanganan bencana terutama Covid-19, Oce Madril menyebutkan lima potensi korupsi yang perlu diwaspadai. Pertama, potensi korupsi pada perencanaan keuangan. Pergeseran anggaran dilakukan secara massif dari pusat hingga daerah dan nilainya sangat besar. Anggaran masing-masing lembaga dialihkan ke penanganan bencana. Realokasi dilakukan dalam waktu cepat dan minim pengawasan, misalnya realokasi anggaran tanpa pembahasan bersama legislatif. Realokasi anggaran ini, menurut Oce sangat rawan. Problem utamanya, siapa yang bisa memastikan anggaran digeser untuk pos yang dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.

Kedua, potensi korupsi dalam pengadaan barang/jasa selama masa bencana. Tanpa keadaan darurat pun, pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan belum bersih dari korupsi. Apalagi dalam keadaan bencana, pasti banyak pembelian barang untuk kebutuhan penanggulangan. Dalam penanganan Covid-19 misalnya ada pembelian alat rapid test, swap test, masker dan alat kesehatan lainnya. Bahkan Pemerintah membangun satu rumah sakit baru di pulau Galang. Pengadaan barang-barang tersebut di masa bencana rawan dikorupsi jika tidak dilakukan pengawasan dengan dengan baik.

Ketiga, potensi korupsi lainnya terjadi pada pengadaan dan penyaluran dana bantuan sosial (bansos). Faktanya sudah terjadi beberapa kali aksi masyarakat yang mempersoalkan bansos. Salah satu penyebabnya adalah penyaluran dana bantuan beralaskan data calon penerima yang amburadul dan tidak dimutakhirkan. Data Pemda dan data Kementerian Sosial tidak sama. Data yang dimiliki dan dijadikan dasar tidak legitimated dan tidal reliable sehingga banyak yang salah sasaran.

Bentuk lain korupsi di sini adalah pemotongan dana bansos; bansos fiktif, dan penyalahgunaan anggaran bansos untuk tujuan lain. “Bansos selalu menjadi temuan dan persoalan,” tukas Oce. (Baca juga: Penyaluran Dana Bansos Selama Covid-19 Dominasi Laporan ke Ombudsman)

Keempat, potensi korupsi saat pemberian fasilitas bagi pelaku usaha. Menurut Wisnu Wibowo, program pemulihan ekonomi harus tetap dilakukan. Optimisme harus terus dibangun agar Indonesia tidak masuk ke dalam jurang krisis ekonomi seperti 1997-1998. Pemberian fasilitas bagi pelaku usaha adalah salah satu program yang dijalankan Pemerintah. Covid-19 telah menyebabkan pembatasan sosial berskala besar, sehingga banyak perusahaan menghentikan kegiatan usaha, mengakibatkan jutaan pekerja dirumahkan dan diputuskan hubungan kerjanya (PHK).

Dunia usaha, bagaimanapun, sangat terdampak Covid-19 sehingga Pemerintah melakukan ‘intervensi’ bantuan. Oce menilai pemberian fasilitas tak ubahnya bansos, cuma jumlahnya lebih besar, dan modus penyimpangannya lebih canggih (shopisticated). Kasus bail out Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dijadikan contoh untuk mencegah penyimpangan dana bantuan bagi pelaku usaha di masa Covid-19.

Kelima, potensi korupsi fasilitas ekonomi lainnya semisal relaksasi impor. Ada kelompok tertentu yang mendapatkan fasilitas kemudahan usaha dan bantuan keuangan. Oce berpandangan perlu ada sistem pengawasan yang dibangun agar fasilitas ekonomi tersebut tidak disalahgunakan. Jika tidak dibangun, bakal ada ‘pembonceng’ untuk mendapatkan keuntungan saat pandemi.

Pelaku korupsi dalam keadaan bencana sebenarnya terancam sanksi berat dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sudah mengeluarkan ultimatum agar anggaran bencana tidak dikorupsi. Tantangan justru berasal dari pasal-pasal imunitas yang diberikan kepada para pejabat yang menggunakan dana penanggulangan Covid-19. (Baca juga: KPK Minta APIP Bantu Cegah Korupsi Dana Covid-19 di Daerah)

Dalam diskusi yang sama, Wisnu Wibowo mengatakan dalam situasi bencana, perlu kecepatan dan ketepatan penggunaan anggaran. Jangan sampai timbul ‘luka’ baru akibat anggaran tidak tepat sasaran dan terjadi penyimpangan. Indonesia berada di ambang krisis jika tak dilakukan pemulihan dan para pemangku kepentingan menjalankan tugas pemulihan dengan baik.

‘Luka’ perekonomian akibat Covid-19 dapat menimbulkan penyakit yang tidak mudah disembuhkan jika anggarannya dikorupsi atau disalahgunakan. Jika krisis ekonomi terjadi, imbasnya akan ke mana-mana.

Tags:

Berita Terkait