Anggaran Minim, Advokat Jangan Berharap Pada Program Bantuan Hukum Pemerintah
Pro Bono Champions 2019

Anggaran Minim, Advokat Jangan Berharap Pada Program Bantuan Hukum Pemerintah

Advokat tidak boleh terlena dengan program bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerintah dengan harapan dapat mengakses anggaran bantuan hukum.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto, dalam pembukaan Konferensi Nasional Pro Bono dan Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions, Rabu (11/12), di Jakarta. Foto: RES
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto, dalam pembukaan Konferensi Nasional Pro Bono dan Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions, Rabu (11/12), di Jakarta. Foto: RES

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto, berpesan kepada organisasi advokat agar mengingatkan kembali anggotanya tentang kewajiban advokat menjalankan tugas-tugas Pro Bono sebagaimana yang telah di amanahkah oleh Undang-Undang tentang Advokat dan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Perlu diingat, advokat memiliki kewajiban memberi pelayanan hukum secara gratis kepada masyarakat minimal 50 jam tiap tahunnya.

 

Menurut Benny, advokat tidak boleh terlena dengan program bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerintah dengan harapan dapat mengakses anggaran bantuan hukum, baik yang disediakan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

 

Anggaran dalam APBN (Pemerintah Pusat) dan APBD (Pemerintah Daerah) pastinya memiliki keterbatasan,” ujar Benny dalam pembukaan Konferensi Nasional Pro Bono dan Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions, Rabu (11/12), di Jakarta.

 

Benny menjelaskan hingga saat ini APBD yang diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Bantuan Hukum, baru sebatas 17 Peraturan Daerah Provinsi dari 34 Provinsi dan 107 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dari 514 Kabupaten/Kota se-Indonesia. Tidak hanya itu, dari 17 Perda Provinsi pun, baru 9 Provinsi yang terimplementasi dengan Peraturan Gubernur. Sementara dari 107 Kabupaten/Kota, baru 22 Kabupaten/Kota yang terimplementasi dengan Peraturan Walikota/Bupati.  

 

Oleh karena itu, untuk memperluas jangkauan bantuan hukum kepada seluruh masyarakat Indonesia, Benny mengingatkan agar prinsip Pro Bono harus tetap dikedepankan. Menurut Benny, jika dikaitkan dengan peran dan fungsi organisasi induk advokat dalam melakukan pengawasan Pro Bono, praktik di lapangan juga menunjukan lemahnya peran Dewan Pimpinan Cabang (DPC) masing-masing organisasi induk advokat.

 

Hal ini menurut Benny berkaitan erat dengan kewenangan DPC yang hanya terbatas pada urusan administratif seperti pengurusan PKPA, pengangakatan sumpah, hingga perpanjangan kartu anggota. Kewenangan untuk menegakan sanksi kepada anggota yang tidak melakukan Pro Bono tidak dimiliki oleh DPC. “Padahal keberadaan DPC merupakan garda terdepan dalam pengawasan advokat dalam hal Pro Bono di wilayahnya,” ujar Benny.

 

Untuk itu, Benny berpesan dalam rangka memperluas akses mewujudkan keadilan melalui Pro Bono perlu beberapa langkah yang harus dilakukan secara bersamaan. Pertama, perlu adanya pedoman tunggal pelaksanaan Pro Bono yang dibuat oleh Organisasi Induk Advokat (Bar Associates) yang disepakati dari semua induk organisasi advokat.

 

(Baca: Begini Sebaran Organisasi Pemberi Bantuan Hukum di Indonesia 2019-2021)

 

Kedua, Perlu adanya ketegasan sanksi dari setiap Organisasi Induk Advokat dalam melakukan evaluasi kepada masing-masing advokat untuk wajib melaksanakan Pro Bono pada setiap perpanjangan Kartu Advokat. Ketiga, Benny berpesan agar perlu dimasukannya materi Pro Bono dalam kurikulum Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

 

Terkahir, Benny mengajak semua pihak untuk menyikapi secara serius amanah Peraturan Pemerintah (PP) No.83 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Dalam Pasal 15 ayat (2) mengamanahkan pembentukan unit kerja yang secara khusus menangani pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma, yaitu kepada masing-masing induk organisasi advokat.

 

Bersamaan dengan langkah-langkah tersebut, Benny mengatakan pihaknya tengah berupaya memberikan ruang pelaporan terhadap setiap perkara yang ditangani secara Pro Bono, khususnya oleh advokat-advokat yang terdaftar dalam 524 PBH terakreditasi. Pelaporan tersebut melalui fitur Pro Bono dalam Aplikasi Sistem Database Bantuan Hukum (Sidbankum) dan dapat digunakan sebagai pertimbangan kenaikan akreditasi OBH.

 

Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) di Indonesia, Betty Chung, menyampaikan apresiasinya terhadap organisasi advokat di Indonesia yang telah menekankan dan mensyaratkan pelayanan Pro Bono selama ini.

 

Fokus pada peningkatan pelayanan Pro Bono akan memperluas akses bantuan hukum dan juga meningkatkan kesejahteraan individu maupun masyarakat serta martabat manusia,” ungkapnya.

 


Menurut Betty, acara semacam Konferensi Pro Bono ini akan membantu menjawab tantangan bagi advokat untuk melakukan pekerjaan Pro Bono dan solusi yang mungkin relevan untuk menjawab tantangan-tantangan terkait Pro Bono.

 

“Anda akan memiliki kesempatan untuk mengambil bagian aktif dalam diskusi yang mengevaluasi pengarusutamaan budaya Pro Bono pada advokat swasta. Anda juga akan mempelajari praktik terbaik untuk menerapkan, menelusuri, dan memberi insentif untuk persyaratan Pro Bono yang efektif yang akan memperluas pelayanan bantuan hukum,” ujar Betty.

 

Sebaran OBH

Di kesempatan yang sama, Benny menyampaikan bahwa BPHN telah melakukan verifikasi dan akreditasi pada periode ketiga untuk tahun 2019 sampai 2021. Verifikasi tersebut menjaring 192 Pusat Bantuan Hukum (PBH) yang baru dari 864 organisasi yang telah mendaftar. Selain itu, juga dilakukan akreditasi ulang terhadap 405 PBH lama yang dipandang layak lanjut sebagai pemberi bantuan hukum periode selanjutnya. Hasil akreditasi tersebut, terdapat 332 organisasi yang dipandang layak lanjut.

 

Jadi, total organisasi yang layak sebagai Pemberi Bantuan Hukum dan dapat mengakses anggaran bantuan hukum periode tahun 2019 - 2021 sebanyak 524 organisasi. Jumlah tersebut meningkat 30% lebih banyak dibandingkan periode akreditasi sebelumnya tahun 2016 - 2018 yang hanya 405 organisasi,” terang Benny.

 

Berdasarakan hasil verifikasi dan akreditasi tersebut, ditemukan juga sebaran PBH yang masih terdapat Provinsi yang sangat minim jumlah PBH nya karena hanya memiliki 2 PBH. Organisasi yang terakreditasi pun banyak terkonsentrasi di Ibukota Provinsi, sehingga banyak kabupaten/kota yang tidak memiliki PBH. Saat ini hanya terdapat 215 Kabupaten/Kota yang memiliki PBH dari 514 keseluruhan Kabupaten/Kota se-Indonesia. Hal ini berarti masih terdapat 299 kabupaten/kota yang memiliki PBH.

 

Benny berharap permasalahan sebaran ini dapat diurai dan tidak menjadi hambatan dalam peningkatan akses terhadap keadilan masyarakat, khususnya orang miskin atau marjinal. Salah satu cara guna menyelesaikan hambatan sebaran PBH tersebut, perlu bersinergi antara program bantuan hukum dengan Pro Bono atau bantuan hukum cuma-cuma. Walaupun Pro Bono dengan bantuan hukum memiliki perbedaan, namun antara Pro Bono dengan Bantuan Hukum memiliki kesamaan, yakni sama-sama bertujuan untuk membantu setiap orang yang tidak mampu/miskin/marjinal yang berhadapan dengan hukum secara cuma-cuma.

 

Tags:

Berita Terkait