Anggaran 2013 Rawan Ditunggangi Kepentingan Parpol
Berita

Anggaran 2013 Rawan Ditunggangi Kepentingan Parpol

Fitra menduga dana Bansos di sejumlah kementerian akan digunakan untuk menghimpun dana Parpol sebagai persiapan Pemilu 2014.

ADY
Bacaan 2 Menit
Anggaran 2013 Rawan Ditunggangi Kepentingan Parpol
Hukumonline

Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memprediksi anggaran negara tahun 2013 rawan ditunggangi kepentingan partai politik (Parpol). Menurut Sekjen FITRA, Yuna Farhan, hal itu dapat dilihat dari meningkatnya anggaran untuk Bansos di sejumlah kementerian yang dipimpin oleh petinggi Parpol. Menurutnya, dana Bansos itu kerap digunakan untuk meraih simpati dari masyarakat dalam rangka pemenangan Pemilu.

Terkadang, dana Bansos itu tidak digunakan oleh pejabat terkait di kementerian bersangkutan, namun dari lembaga negara lain. Misalnya, ada anggota DPR yang menggunakan dana Bansos dari sebuah Kementerian untuk membagi-bagikan pulsa ke sebuah lembaga pendidikan berbasis keagamaan di sebuah daerah. Yuna menilai kegiatan itu dilakukan dalam rangka pencitraan.

“Untuk pemenangan Pemilu,” kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (4/1).

Dari berbagai kementerian yang disorot FITRA ada beberapa yang anggaran Bansosnya menurun dibanding tahun lalu. Tapi tak sedikit kementerian yang anggaran Bansosnya naik tahun ini. Kementerian Agama, misalnya. Tahun 2012, anggaran Bansos di kementerian ini hanya Rp5,5 miliar, tapi sekarang naik menjadi Rp11,2 miliar.

Kementerian Sosial, anggaran Bansos tahun lalu Rp2,7 miliar menjadi Rp3,3 miliar. Kemudian, Kementerian Kehutanan dari Rp100 juta menjadi Rp200 Juta. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi meningkat dari Rp7,6 Juta menjadi Rp70,4 juta.

Yuna menilai rentannya penggunaan anggaran negara untuk kepentingan Parpol tak lepas dari proses pembahasan APBN di DPR. Badan Anggaran (Banggar) punya kewenangan yang luas untuk menentukan postur anggaran di tiap kementerian lewat APBN. Alhasil, praktik kongkalikong kemungkinan besar terjadi. Menurut Yuna, hal itu bukan tak beralasan karena sudah cukup banyak kasus korpusi yang berkaitan dengan anggota DPR dan pejabat kementerian seperti kasus pengadaan Al-Quran dan Hambalang.

Untuk meminimalisir potensi kongkalikong itu, Yuna mengusulkan agar DPR memperketat dokumentasi dalam setiap rapat terutama membahas soal anggaran. Hal ini penting agar masyarakat mengetahui rekam jejak partai tertentu yang mengusulkan sesuatu dalam APBN.

“Misalnya, apa usulan partai itu, perubahan apa yang diusulkan dan apa alasan keberatan atau tidaknya partai yang bersangkutan atas disahkannya anggaran,” katanya.

Yuna menambahkan, berulangnya praktik penggunaan anggaran untuk pemenangan Pemilu bukan hanya terjadi di tahun ini. Menjelang Pemilu 2009 lalu, hal serupa juga terjadi. Banyak pejabat pemerintah yang memasang iklan atas nama lembaga negara yang dinaunginya.

Belanja Pegawai

Selain itu, FITRA menyoroti anggaran negara yang digunakan untuk menggaji aparat pemerintah. Yuna mengingatkan, pidato Presiden beberapa waktu lalu mengenai kebijakan APBN 2013 yang bertema meningkatkan kualitas belanja negara yang kurang produktif dan meningkatkan belanja infrastruktur untuk memacu pertumbuhan. Yuna menilai pernyataan kepala negara berbeda dengan praktik di lapangan. Pasalnya, sebagian besar anggaran dipakai untuk menggaji aparat pemerintahan. Hal itu terjadi di tingkat pusat ataupun daerah.

Dalam catatan FITRA, sambung Yuna, pertumbuhan belanja pemerintah pusat dari anggaran 2013 hanya 8 persen, sedangkan belanja pegawai 14 persen. "Dibandingkan anggaran untuk belanja barang sebesar Rp200,7 triliun dan belanja modal Rp184 triliun. Belanja pegawai porsinya lebih besar dengan jumlah Rp241 triliun," ujarnya.

Padahal, kata Yuna, untuk membangun infrastruktur yang ada dibutuhkan lebih banyak anggaran untuk belanja modal. Sejalan dengan itu, penyerapan anggaran di sejumlah kementerian kurang baik sehingga uang negara terhambat untuk direalisasikan sesuai kebutuhan masyarakat. Menurutnya, di beberapa kementerian penyerapan anggaran tak lebih dari 70 persen.

Sejauh ini, pemerintah berdalih lemahnya penyerapan disebabkan oleh berbelitnya proses tender. Padahal, lanjut Yuna, peraturan terkait tender sudah berulang kali diubah untuk mempermudah proses tersebut, seperti Perpres Pengadaan Barang dan Jasa. MenurutYuna, hal itu terjadi karena minimnya kemampuan aparat negara dalam mengelola anggaran.

Tags: