Anda Menyumbang ke Daerah Bencana? Pahami Masalah Pajaknya
Berita

Anda Menyumbang ke Daerah Bencana? Pahami Masalah Pajaknya

Pengumpulan dana sumbangan harus ada izin.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi bencana gempat dan tsunami. Ilustrator: HGW
Ilustrasi bencana gempat dan tsunami. Ilustrator: HGW

Warga negara Indonesia memiliki kepedulian sosial dan kepekaan yang tinggi terhadap korban bencana alam. Setiap ada bencana alam, masyarakat berlomba-lomba memberikan sumbangan yang didonasikan baik secara langsung maupun melalui perantaraan lembaga lain. Jumlah sumbangan yang terkumpul pun relatif besar.

 

Sekadar contoh, sumbangan masyarakat terhadap korban bencana gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan Sigi di Sulawesi Tengah. Hingga 1 Oktober lalu, jumlah dana yang sudah dikumpulkan dari donasi masyarakat, oleh salah satu lembaga penyalur sumbangan bencana yakni Dana Kemanusiaan Kompas sudah terkumpul sebesar Rp1.112.489.592. Ini baru satu lembaga pengumpul dana. Masih banyak lembaga lain yang turut membuka donasi untuk para korban bencana alam, baik berbasis media massa maupun lembaga-lembaga sosial keagamaan.

 

Lantaran sifatnya bantuan dan sukarela, Pemerintah memberikan perlakuan khusus atas sumbangan-sumbangan yang diperuntukkan bagi korban bencana alam. Perlakuan khusus dimaksud adalah memasukkan sumbangan sebagai beban untuk mengurangi Pendapatan Kena Pajak (PKP). Ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

 

Tidak semua sumbangan bisa menikmati fasilitas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Fasilitas tersebut bisa digunakan jika pemerintah menetapkan suatu bencana alam sebagai bencana nasional. PP No. 93 Tahun 2010 mengatur sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dapr penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak. Pasal 1 huruf a PP memberi contoh, yakni sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana.

 

(Baca juga: Jerat Hukum Menjarah Makanan di Minimarket Saat Bencana).

 

Untuk mendapatkan fasilitas tersebut, DJP menetapkan syarat-syarat tertentu. Pasal 2 PP No. 93 Tahun 2010 menyebutkan sumbangan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan empat syarat. Pertama, Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya. Kedua,  pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan. Ketiga, didukung oleh bukti yang sah. Keempat, lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

 

Selanjutnya, Pasal 3 mengatur besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya. Fasilitas tersebut juga tidak berlaku bila sumbangan diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud UU PPh.

 

Pengamat Pajak dan Finansial Yustinus Prastowo berpendapat, seharusnya pemerintah memberikan kelonggaran persyaratan terkait sumbangan untuk bencana alam. Misalnya tentang syarat tidak adanya kerugian pada tahun pajak bagi perusahaan yang ingin memberikan sumbangan. “Harusnya syaratnya diperlonggar. Ada syarat perusahaan tidak rugi pada tahun pajak saat melakukan sumbangan. Koq mau menyumbang harus begitu. Bisa saja perusahaan memiliki uang cash yang bisa disumbangkan,” kata Yustinus kepada hukumonline, Kamis (4/10).

 

(Baca juga: Begini Peta Persoalan Insentif Pajak Filantropi di Indonesia).

 

Prastowo juga menilai bahwa pemerintah perlu memberikan insentif lain dalam rangka mengoptimalkan penyaluran sumbangan untuk bencana alam. Salah satunya melalui penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan sebesar 10 persen dari total pembelian. Barang-barang yang dibeli dan diperuntukkan bagi korban bencana alam, lanjut Yustinus, sudah selayaknya dibebaskan PPN. Namun dalam penerapannya DJP harus berhati-hati. “Harus ada surat keterangan dari DJP terkait pengurangan PPN ini, kalau tidak nanti bisa kacau,” imbuhnya.

 

Selanjutnya Yustinus menilai, adanya konteks bencana nasional dalam penggunaan fasilitas ini harusnya juga diperlonggar. Artinya pemerintah bisa mengeluarkan aturan khusus untuk menangani kasus-kasus bencana alam yang tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Kebijakan tersebut dapat berupa Perpres atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Misalnya pemerintah pernah menerbitkan peraturan terkait bencana alam yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 silam.

 

Jika dana berasal dari luar negeri, Yustinus mengatakan bantuan yang masuk harus mendapatkan izin dari pemerintah. Misalnya saja saat ini, Menteri Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjelaskan bahwa pemerintah membuka bantuan dari asing untuk bencana alam Sulteng yang saat ini mekanisme dan prosedurnya tengah disiapkan oleh BNPB dan Kementerian Luar Negeri.

 

Pejabat Public Relations Aksi Cepat Tanggap (ACT), Lydia Khaerani Hestya mengatakan ACT sudah bergerak cepat dengan mengirimkan relawan-relawan bencana ke Sulawesi Tengah  terkait evakuasi korban. Selain mengirimkan relawan-relawan, ACT turut mendistribusikan bantuan logistik seperti makanan, obat-obatan dan keperluan lain ke daerah bencana alam. Donasi yang diterima oleh ACT adalah berupa barang dan uang. Donasi yang diterima bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sayangnya, Lydia belum bisa menjelaskan mekanisme dan prosedur saat menerima dana dari luar negeri.

 

“Kami membuka donasi tidak hanya untuk masyarakat Indonesia, tapi juga dunia internasional. Kami membuka kantong rekening Kitabisa.com, paypal juga untuk luar negeri, atau kolaborasi beberapa perusahaan atau lembaga yang menggalang dana kemudian diamanahkan ke ACT yang kemudian disalurkan ke daerah bencana alam. Kalau dari luar negeri ke dalam, kayaknya tidak ada. Langsung donasi saja. Kayaknya begitu, tapi nanti aku cek lagi,” katanya.

 

(Baca juga: MPR Salurkan Kebutuhan Darurat dan Uang Bagi Korban Gempa-Tsunami Sulteng).

 

Terkait pajak PPh 21, Lydia mengaku bahwa sejauh ini tidak ada pajak yang dipungut dari aktivitas kemanusiaan yang dilakukan ACT. Hanya saja, ACT tetap harus melaporkan hasil donasi kepada DJP. ‘Sumbangan dilaporkan ke DJP dan selalu diaudit, audit sekali setahun. Di organisasi ACT kelembagaan kemanusiaan, bebas pajak,” pungkasnya.

 

Jika merujuk kepada UU PPh dan PP No. 93 Tahun 2010, tidak diatur mengenai mekanisme penerimaan sumbangan dari luar negeri. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 245/PMK.03/2008 tentang Badan-Badan dan Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan Kecil yang Menerima Harta Hibah, Bantuan, atau Sumbangan yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan juga tidak mengatur mekanisme penerimaan sumbangan dari luar negeri. Pasal 1 huruf d menyebutkan badan sosial termasuk yayasan dan koperasi dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan.

 

Adapun aturan pengumpulan dana untuk bencana alam diatur dalam Keputusan Menteri Sosial No. 01/HUK/1995 tentang Pengumpulan Dana untuk Korban Bencana. Beleid ini mengatur bahwa pengumpulan dana hanya dapat dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang, oleh organisasi/kepanitiaan, bersifat sukarela dan maksimal tiga bulan. Penyaluran sumbangan diserahkan kepada korban bencana (melalui BNPB/Kemensos/Gubernur/Walikota), langsung kepada korban bencana alam sesuai dengan petunjuk pejabat berwenang, dan sumbangan diserahkan selambatnya satu bulan sejak dana dikumpulkan. Lalu kegiatan donasi harus dilaporkan kepada pejabat berwenang dan pejabat berwenang memerintahkan melakukan pemeriksaan keuangan oleh akuntan publik. Jika syarat tidak dipenuhi maka akan dikenai sanksi.

Tags:

Berita Terkait