Ancaman bagi Sang Penjaga Hutan
Berita

Ancaman bagi Sang Penjaga Hutan

Masyarakat hukum adat akan kembali dikriminalisasikan

HRS
Bacaan 2 Menit

Pengakuan
Adalah Rosidi. Lelaki yang hidup di desa Wonosari Kabupaten Kendal ini telah hidup di sekitar hutan berpuluh tahun. Dia dan keluarganya hidup dari hasil hutan. Untuk makan keluarga, Rosidi menggali umbi-umbian yang berasal dari hutan. Namun, Rosidi pernah dipenjara selama 5 bulan 15 hari. Rosidi dihukum karena didakwa telah memungut hasil hutan tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Padahal, dirinya hanya memungut sebuah kayu yang berdiameter 10 cm dengan panjang 3 m ketika dalam perjalanan pulang dari hutan ke rumah. Rumah Rosidi terletak tak jauh dari hutan. Malang nasib Rosidi, ketika memungut, Rosidi bertemu dengan petugas Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani). Singkat cerita Rosidi dijatuhkan pidana penjara.

“Padahal, kayu yang dipungut Rosidi berasal dari lahan negara,” tutur pengacara publik LBH Semarang Jaynal Arifin pada kesempatan yang sama ketika menerjemahkan kisah Rosidi yang dituturkan dalam bahasa Jawa.

Jaynal pun melanjutkan sebagai lahan negara, Perhutani dan masyarakat punya posisi seimbang untuk mengelola kawasan hutan. Faktanya, masyarakat banyak dikriminalisasikan Perhutani jika mengambil dan mengelola hasil hutan tersebut.   

Selain merasa dikriminalisasikan, Jaynal juga mengisahkan kepedihan masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Masyarakat desa itu sangat miskin. Mereka hidup dengan cara bertani. Malangnya, sebagai petani, masyarakatnya tidak memiliki lahan untuk bertani. Sehingga, masyarakat tersebut menumpang bekerja pada Perhutani.

Perhutani pun memanfaatkan jasa para petani. Ketika musim panen jati tiba, Perhutani meminta masyarakat untuk memanen, tetapi tidak dibayar. Namun, Perhutani membolehkan masyarakat untuk menanam bibit Jati di lahan Perhutani. Akan tetapi, bibit yang ditanam tersebut menjadi milik Perhutani. Alhasil, masyarakat desa tersebut memilih bekerja ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia atau tenaga kerja wanita.

Lain desa, lain pula kisahnya. Tokoh Masyarakat Adat Pandumaan, Pendeta Haposan Sinambela menuturkan tragedi yang terjadi di Sumatera Utara. Di sana masyarakat lokal yang hidup berbatasan dengan hutan juga bersengketa dengan perusahaan besar, PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Sengketa terjadi karena TPL melarang masyarakat setempat untuk memanfaatkan hasil hutan. Hanya TPL yang berhak memanfaatkan hasil hutan karena telah memperoleh izin dari pemerintah. Padahal, masyarakat lokal telah bermukim di hutan tersebut selama 3 generasi sebelum penjajahan Belanda. Masyarakat tersebut selama ratusan tahun hidup dengan bertani kemenyan. Dalam mengelola kawasan hutan sejak ratusan tahun, masyarakat memperhatikan kelestarian hutan dan menjaga hutan-hutannya agar tidak rusak karena masyarakat hidup dari hutan.

Tak terima dengan larangan tersebut, masyarakat melawan. Masyarakat menolak perusahan tersebut masuk ke desa mereka. Namun, perusahaan memanfaatkan oknum kepolisian dan Brigadir Mobil (Brimob) untuk menghadang masyarakat, seyogyanya aparat pemerintah bersikap netral. Oleh oknum aparat pemerintah ini, masyarakat yang memberontak ditangkap dan ditahan. Beberapa petani masih dalam tahap pengejaran aparat.

“Pemerintah telah bersekongkol dengan perusahaan untuk melawan masyarakat. Saat ini, masyarakat trauma dan tidak dapat bekerja dengan tenang,” tutur Haposan.

Tags: