Ancam Kebebasan Berekspresi, 2 Aturan Ini Diusulkan Direvisi
Terbaru

Ancam Kebebasan Berekspresi, 2 Aturan Ini Diusulkan Direvisi

Muatan UU ITE dan KUHP Nasional mengatur sejumlah ketentuan yang dinilai mengancam kebebasan sipil seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi yang disampaikan secara damai.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya dalam diskusi bertema ‘Kebebasan, Keadilan, Kesetaraan:Agenda HAM untuk Pemerintahan Terpilih’, Sabtu (2/12/2023)  pekan kemarin. Foto: ADY
Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya dalam diskusi bertema ‘Kebebasan, Keadilan, Kesetaraan:Agenda HAM untuk Pemerintahan Terpilih’, Sabtu (2/12/2023) pekan kemarin. Foto: ADY

Jelang hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yang diperingati 10 Desember 2023, Amnesty International Indonesia melansir sejumlah catatan berkaitan dengan penegakan hukum, HAM, dan demokrasi. Apalagi sejumlah catatan penting itu mengingat Indonesia sedang melaksanakan hajatan besar Pemilu 2024.

Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya, mengatakan ada sejumlah catatan dalam 2 periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Seperti prestasi di bidang demokrasi, hukum, dan HAM dirasa jauh panggang dari api. Dengan kata lain, soal penegakan hukum, HAM dan demokrasi masih jauh dari harapan publik.

“Gagal melindungi kebebasan penyampaian pendapat dan ekspresi masyarakat sipil secara damai dan gagal memberikan akses keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat. Negara masih gagal menghormati HAM,” ujar Ari dalam diskusi bertema ‘Kebebasan, Keadilan, Kesetaraan:Agenda HAM untuk Pemerintahan Terpilih’, Sabtu (2/12/2023)  akhir pekan kemarin.

Ari mengingatkan, Amnesty International Indonesia sudah menyerahkan rekomendasi sektor demokrasi dan HAM kepada Presiden Joko Widodo di tahun 2019. Tapi faktanya sejak rekomendasi itu diserahkan sampai sekarang kualitas demokrasi dan HAM di Indonesia semakin turun. Salah satu isu yang menjadi sorotan dalam hal penurunan itu, antara lain terkait perlindungan terhadap kebebasan masyarkat sipil.

Baca juga:

Khususnya kebebasan penyampaian pendapat dan ekspresi secara damai. Tercatat sedikitnya ada 2 aturan yang kerap digunakan untuk mengancam kebebasan sipil. Yakni UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UU 1/2023 dikenal dengan KUHP Nasional menggantikan wetboek van strafrecht alias KUHP yang digunakan selama ini.

Ari mencatat ketentuan UU ITE acapkali digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil dengan dalih pencemaran nama baik dan penyebaran informasi yang memicu kebencian. Periode Januari 2019 sampai Mei 2023 tercatat 504 orang didakwa dengan pasal bernasalah seperti Pasal 27 ayat (1) dan (3) serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Beberapa korban yakni aktivis di Nusa Tenggara Barat yang dikriminalisasi karena mengkritik keterlibatan anggota DPRD dalam kasus penyalahgunaan narkotika. Baiq Nuril yang melaporkan pelecehan seksual atasannya kemudian dikenakan pasal pencemaran nama baik. Kalangan akvitis juga tak luput dikriminalisasi menggunakan UU ITE seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty.

Begitu juga ketentuan dalam KUHP Nasional seperti menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, di mana tahun 2006 ketentuan itu dibatalkan melalui putusan MK. Memuat juga ketentuan yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga negara, dan melarang demonstrasi tanpa izin yang dianggap mengganggu kepentingan umum.

“Ketentuan yang bersifat umum ini dapat disalahgunakan untuk menekan kritik yang sah dan kegiatan berkumpul secara damai,” ujar Ari.

Amnesty International Indonesia merekomendasikan ketentuan bermasalah dalam UU ITE dan KUHP Nasional untuk dicabut atau direvisi. Memastikan ancaman, serangan, intimidasi, dan pelecehan terhadap pembela HAM serta jurnalis segera diselidiki secara menyeluruh, tidak memihak, independen, transparan, dan efektif. Pihak yang dicurigai bertanggungjawab harus diadili dalam peradilan yang adil, sesuai standar peradilan internasional melalui pengesahan RUU Perlindungan Pembela HAM.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengapresiasi temuan dan rekomendasi yang disampaikan Amnesty International Indonesia. Menurutnya kebijakan yang berpotensi melanggar HAM seperti sebagian ketentuan dalam UU ITE dan KUHP Nasional menjadi titik penting yang harus disorot. Aparat penegak hukum harus punya pandangan dan pendapat yang sama soal kritik karena praktiknya hal itu sering dianggap sebagai pencemaran nama baik.

“Negara harus menjamin kebebasan sipil terutama kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik,” tegasnya.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, juga mengapresiasi laporan yang disampaikan Amnesty International Indonesia. Mengingat beberapa bulan ke depan masyarakat sebagai pemilih akan memilih para kandidat yang maju dalam kontestasi pemilu 2024, maka penting untuk mencermati komitmen para kandidat dalam mengusung isu hukum, demokrasi dan HAM.

“Perlu dicek bagaimana rekam jejak para kandidat selama ini,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait