Anak Jadi Pelaku Pengeroyokan, Begini Ketentuan UU SPPA
Berita

Anak Jadi Pelaku Pengeroyokan, Begini Ketentuan UU SPPA

​​​​​​​Mulai definisi usia anak, penjatuhan sanksi hingga konsep diversi dalam pengadilan pidana anak.

RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Beberapa waktu lalu terjadi kasus pengeroyokan oleh 12 siswi SMA kepada siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat. Terjadinya kekerasan tersebut berawal dari saling sindir di media sosial karena hubungan asmara salah satu pelaku dengan saudara korban. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise prihatin atas kasus tersebut. Ia berharap, semua pihak tidak gegabah dalam menangani dan menyikapi kasus tersebut.



Yohana mendukung seluruh proses hukum dalam penanganan kasus tersebut asalkan sejalan dengan sistem peradilan pidana anak. Penanganan anak sebagai pelaku kekerasan harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.



"Saya sangat mengecam tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Mirisnya, korban dan pelaku masih sama-sama berusia anak," kata Yohana sebagaimana dikutip dari Antara, Rabu (10/4).



Menurut dia, semua pihak harus benar-benar memahami penyebab anak melakukan penganiayaan. Yohana menduga kasus penganiayaan terhadap siswi di Pontianak terjadi karena pengawasan yang kurang dari orang dewasa. Bila ada sikap yang keliru dari anak-anak berarti juga ada yang keliru dari orang dewasa di sekitarnya yang merupakan contoh bagi mereka.



Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak telah menurunkan tim ke Pontianak untuk menangani masalah tersebut. Kementerian juga akan melakukan rapat koordinasi untuk penanganan lintas sektor dalam upaya menemukan solusi terbaik untuk anak dan memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak.

 

Hal senada juga diutarakan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati. "KPAI menyesalkan adanya kasus pengeroyokan terhadap anak dengan pelaku anak juga," kata Rita. Menurut dia, proses penyelesaian kasus tersebut harus dilandaskan pada UU SPPA yang menyebutkan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah anak pelaku, korban dan saksi.



Komisioner KPAI bidang Pengasuhan ini mengatakan, SPPA lahir dengan prinsip restorative justice atau pemulihan situasi anak pada kondisi semula. "Kepada korban, proses perlindungan dan rehabilitasinya harus dipastikan dan ini yang dilakukan saat ini oleh Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar," kata dia.



Bagi pelaku, kata Rita, proses yang dilakukan dilandaskan pada SPPA. KPAD bertugas memastikan proses yang menyangkut korban dan pelaku sesuai dengan regulasi berlaku. Sementara itu, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, pihaknya meminta kepolisian mengusut tuntas dan mendorong penyelesaian kasus ini menggunakan ketentuan UU SPPA.

 

Baca:

 

Catatan Klinik Hukumonline, UU SPPA merupakan pengganti dari UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setidaknya, terdapat hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA. Pertama mengenai anak definisi anak di bawah umur, yakni anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Dalam UU SPPA terdapat tiga kategori anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, yakni anak yang menjadi pelaku tindak pidana, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

 

Kedua, berkaitan pejatuhan sanksi. Dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA disebutkan, pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yakni tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

 

Dalam Pasal 82 UU SPPA disebutkan bahwa yang dimaksud sanksi tindakan adalah dikembalikan kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan yang diadakan pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi dan perbaikan akibat tindak pidana.

 

Sedangkan sanksi pidana dijelaskan dalam Pasal 71 UU SPPA yang terdiri dari pidana pokok yakni pidana peringatan, pidana dengan syarat seperti pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakan atau pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga hingga penjara. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

 

Hal lain yang diatur dalam UU SPPA adalah hak-hak anak dalam proses peradilan pidana, hak saat menjalani masa pidana dan hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Terkait penahanan, anak yang melakukan tindak pidana dapat ditahan dengan syarat anak tersebut telah berumur 14 tahun atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara 7 tahun atau lebih.

 

Keberadaan UU SPPA ini bertujuan agar terwujudnya peradilan yang menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu substansi yang mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang bertujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

 

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. (ANT)

Tags:

Berita Terkait