Anak dalam Pusaran Penegakan Hukum Pidana
Kolom

Anak dalam Pusaran Penegakan Hukum Pidana

Kepentingan anak penting untuk tetap dilindungi, meski orang-orang terdekat mereka diduga terlibat dalam suatu kejahatan serius.

Bacaan 2 Menit

Dalam kasus pencucian uang terbaru yang melibatkan Tersangka AF, ada pertanyaan penting tentang bagaimana negara melindungi kepentingan anak dari pasangan AF dan Sefti Sanustika. Jika seluruh asetnya disita, lalu bagaimana si anak dapat melanjutkan kehidupannya. Dalam kasus ini, AF –saat artikel ini dipublikasikan- masih dalam posisi tersangka, namun seluruh aspek ekonomi yang dapat menunjang dan mempertahankan kepentingan si anak justru telah dicabut melalui penyitaan oleh negara.

Masih terkait kasus yang sama, DM, seorang pelajar SMK yang hendak dijadikan saksi untuk tersangka LHI, juga telah menjadi “korban”. Hukum Indonesia–Pasal 64 ayat (2) UU No 23 Tahun 2002- telah melarang anak–anak yang “terlibat” dalam suatu peristiwa pidana untuk ditampilkan secara jelas identitasnya. Penegakan hukum pidana pada dasarnya tidak boleh menciderai aspek paling penting dari perlindungan kepentingan anak. 

Dalam kasus AF dan LHI, penting untuk dipelajari sejauh mana negara dapat melindungi kepentingan anak-anak yang terlibat secara tidak langsung dalam pusaran penegakan hukum pidana. Kepentingan anak penting untuk tetap dilindungi, meski orang-orang terdekat mereka diduga terlibat dalam suatu kejahatan serius.

Anak-anak tidak dapat dianggap secara hukum memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup mengenai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Oleh karena itu, melindungi kepentingan anak harus mendapatkan prioritas dalam penanganan kasus tindak pidana.

Sulit dibayangkan bagaimana anak dari Sefti Sanustika dapat mempertahankan kehidupannya di saat seluruh aspek ekonomi yang semestinya dapat mendukung kehidupan dan kepentingannya justru disita oleh negara. Harus ada mekanisme lain sebagai jalan keluar agar kepentingan mendasar anak tidak terganggu.

Harus diakui instrumen hukum HAM internasional dan nasional juga masih belum mencakup pengaturan mengenai anak-anak dalam peristiwa seperti ini. Namun bukan berarti dengan ketiadaan instrumen lalu dapat begitu saja mengabaikan perlindungan anak. Negara wajib memikirkan bagaimana penegakan hukum pidana yang dilakukan tidak serta merta mengabaikan kepentingan anak.

Begitu juga dalam kasus DM, seharusnya negara memperhatikan secara serius kepentingan anak yang telah dilindungi oleh hukum. Ada dampak psikologis yang diterima oleh DM, dan harus juga diperhitungkan saat negara hendak menegakkan hukum. Dan dalam konteks itu, negara wajib berperan aktif untuk melindungi kepentingannya. Terlepas dari persoalan ikatan perkawinan yang terjadi, namun DM tetaplah anak-anak yang masih dalam pengampuan kedua orang tuanya. DM juga memiliki hak yang sama seperti anak-anak Indonesia yang lainnya.

Jangan sampai upaya negara untuk mencari dan menegakkan keadilan malah menciptakan ketidakadilan yang baru.

*) Blogger

Tags: