Amnesty International: KUHP Baru Membuat Masa Depan HAM di Indonesia Makin Suram
Terbaru

Amnesty International: KUHP Baru Membuat Masa Depan HAM di Indonesia Makin Suram

Tak sedikit pasal KUHP yang mengancam kebebasan sipil, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya terutama kaum marjinal dan minoritas. KUHP juga meniadakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, merendahkan martabat manusia, serta membahayakan HAM secara umum.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Foto: Istimewa
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Foto: Istimewa

Catatan Amnesty International dalam kurun waktu 3 tahun terakhir menunjukkan ruang kebebasan sipil semakin sempit. Persoalan itu bertambah buruk setelah pemerintah dan DPR sepakat menyetujui RUU KUHP menjadi UU. Secara umum kalangan masyarakat sipil menilai banyak pasal KUHP yang bermasalah dalam koteks demokrasi dan HAM.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pengesahan KUHP tak hanya membuktikan negara tidak serius melindungi HAM, tapi juga mencoreng wajah Indonesia di ranah internasional dalam bidang pemajuan dan penghormatan HAM.

Usman menjelaskan sebelum RUU KUHP disahkan kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu pilar kebebasan sipil mengalami penurunan. Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE sering digunakan untuk menjerat, mengadili, dan menghukum beragam pihak seperti akademisim jurnalis, dan konsumen.

“Meskipun ketentuan pencemaran nama baik dinyatakan akan dihapus dari UU ITE, namun ketentuan tersebut tetap tercantum dalam KUHP,” kata Usman Hamid saat dikonfirmasi, Senin (12/12/2022).

Baca Juga:

Sepanjang tahun 2022, Usman mencatat UU ITE sudah digunakan terhadap 37 kasus pelanggaran atas kebebasan berekspresi dengan 46 korban. Tercatat 11 kasus diantaranya merupakan hasil patroli polisi virtual.

Pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUU KUHP di tengah protes berbagai pihak. Usman menghitung tak sedikit pasal yang mengancam kebebasan sipil, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya terutama kaum marjinal dan minoritas. KUHP juga meniadakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, merendahkan martabat manusia serta membahayakan HAM secara umum.

“Pasal-pasal yang bertentangan dengan prinsip HAM internasional, diantaranya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah, penyiaran berita bohong, pasal penyelenggaraan aksi tanpa izin, penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara, dan pencemaran nama baik,” beber Usman.

Usman juga mencatat KUHP baru berpotensi menghilangkan kekhususan asas retroaktif yang terdapat dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang berat sebagai tindak pidana khusus dalam UU Pengadilan HAM yang mengenal pemberlakuan retroaktif berpotensi diubah. Artinya, segala pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya aturan ini, tidak dapat diproses hukum. Hal ini jelas mengancam hak korban atas keadilan.

“Ini pukulan telak bagi korban dan keluarga korban yang telah memperjuangkan keadilan selama puluhan tahun. Pukulan telak bagi mereka yang setiap hari Kamis menggugah nurani pemimpin negara di depan Istana. Apakah empati sudah sedemikian langka di hati anggota Dewan dan Pemerintah?”

Usman menilai Indonesia memiliki kedudukan internasional yang masih baik. Tapi KUHP baru mencederai sikap Indonesia yang telah meratifikasi 9 perjanjian internasional HAM utama. Ke depan semua pihak perlu mendorong perbaikan terhadap KUHP baru.

Tags:

Berita Terkait