Ambang Batas Permohonan Sengketa Pilkada Tak Lagi Mutlak Diputus dalam Proses Dismissal
Terbaru

Ambang Batas Permohonan Sengketa Pilkada Tak Lagi Mutlak Diputus dalam Proses Dismissal

Kemampuan pemohon dalam meyakinkan Mahkamah membuka kemungkinan permohonan yang tidak memenuhi ambang batas ketentuan Pasal 158 UU Pilkada bisa dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara hingga diputuskan.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 3 Menit
Gedung MK Jakarta. Foto: RES
Gedung MK Jakarta. Foto: RES

Dalam memutus permohonan pemohon dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada), Mahkamah Konstitusi (MK) berpedoman pada dua hal. Pertama, permohonan tersebut diajukan oleh pasangan calon kepala daerah. Kedua,memenuhi syarat formil ambang batas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada)

Pasal 158 UU Pilkada mengatur pasangan calon kepala daerah dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota dengan ketentuan bila memenuhi syarat selisih suara mulai 2 persen hingga 0,5 persen tergantung dari jumlah penduduk di provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan.

Baca Juga:

Dengan begitu, secara normatif jika permohonan pemohon dalam perselisihan hasil (sengketa) pilkada tidak memenuhi syarat ambang batas sebagai mana yang diatur Pasal 158 UU Pilkada itu, MK berhak menolak permohonan pemohon dalam proses dismissal (proses pendaftaran perkara).   

Namun dalam perkembangannya, MK telah mengubah sikap saat memberlakukan ketentuan ambang batas sebagai syarat formil permohonan perselisihan hasil pilkada. Ketua Mahkamah Konsitusi Suhartoyo mengatakan perubahan sikap ini telah ditunjukkan MK dalam beberapa putusan pada sengketa hasil pilkada terakhir.

Lantas, apa yang mendasari perubahan sikap MK dalam memberlakukan syarat formil permohonan perselisihan hasil Pilkada? Suhartoyo menjelaskan hal semacam ini bisa terjadi jika pemohon dapat meyakinkan Mahkamah tentang alasan-alasan permohonan yang lebih spesifik.

“Misalnya, pemohon bisa meyakinkan kepada Mahkamah bahwa dalam proses penetapan hasil pilkada yang dilakukan oleh termohon (KPUD) ada kesalaha atau kelalaian termasuk ada peristiwa pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),” ujar Suhartoyo saat berbicara dalam acara Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada di Pusdik Pancasila dan Konstitusi, Puncak, Bogor, Senin (26/8/2024) malam.

Menurut Suhartoyo, kemampuan pemohon dalam meyakinkan Mahkamah membuka kemungkinan permohonan yang tidak memenuhi ambang batas ketentuan Pasal 158 UU Pilkada bisa dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara hingga diputuskan.  

“Ketika diputus bersama-sama dengan pokok permohonan kalau memang pemohon bisa membuktikan (dalil-dalilnya), maka permohonan pemohon akan lolos (dikabulkan, red) dan itu akan memenuhi syarat formil kedudukan hukum,” terang Suhartoyo.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan dalam Pilkada Serentak Tahun 2020, terdapat salah satu contoh kasus di mana Mahkamah Konstitusi mengabaikan syarat formil ambang batas ketika melihat substansi pokok permohonan yang spesifik. 

Saldi menyebutkan perkara sengketa Pilkada di Kabupaten Sabu Raijua yang kala itu diperiksa oleh MK, Dalam perkara ini, Mahkamah mengabaikan jangka waktu proses dan syarat formil ambang batas. Tidak tanggung-tanggung, dalam perkara ini Mahkamah, bahkan mengabulkan permohonan pemohon dan mendiiskualifikasi pasangan calon kepala daerah yang ditetapkan KPU sebagai calon terpilih.

Alasan Mahkamah, Pihak Terkait yang ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih oleh KPUD diindikasikan memiliki kewarganegaraan ganda. Dalam proses pemeriksaan, hal ini kemudian terbukti. “Karena spesifik kita periksa dan terbukti bahwa calon ini di luar pegang KTP Indonesia, juga pegang paspor asing,” ungkap Saldi.

Untuk itu, Saldi mengingatkan, bagi pihak yang akan menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pilkada tidak lagi melihat ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang menjadi syarat formil permohonan sebagai sesuatu yang menakutkan. “Sepanjang ia mampu memberi keyakinan pada Mahkamah tentang ada tidaknya kesalahan, kekeliruan, atau pelanggaran serius dalam pilkada.”  

Tags:

Berita Terkait